1. Pengertian unsur “menyalahgunakan kewenangan” dalam
pasal 3 undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo undang-undang no. 20 Tahun 2001,
Mahkamah Agung adalah berpedoman pada putusannya tertanggal 17 februari 1992,
No. 1340 K/Pid/1992, yang telah mengambil alih pengertian “menyalahgunakan
kewenangan” yang pada pasal 52 ayat (2) huruf b undang-undang No. 5 Tahun 1986,
yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan
wewenang tersebut atau yang dikenal dengan “detourment de pouvoir” Pendapat-pendapat
Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan
Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian
“menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana
korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak
adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan
pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen
tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum
pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni
antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata
dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan
diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum
pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni
dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum
Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang
hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan
hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai
perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian
yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya,
akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan
pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila
pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan eksplisitasnya dalam
hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang
sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya ; Ajaran tentang
“Autonomie van het Materiele Strafrecht” diterima oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No.
1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana
korupsi yang dikenal dengan perkara “Sertifikat Ekspor” dimana Drs. Menyok
Wijono didakwa melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971
sebagai Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea &
Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Oleh Mahkamah Agung R.I. dilakukan penghalusan
hukum (rechtsvervijning) pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub
b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian
“menyalahgunakan kewenangan” yang ada pada Pasal 52 ayat (2) huruf b
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu
telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang tersebut atau yang dikenal dengan detournement de pouvoir.
Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies
Ermessen ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis
yang menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan
kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu :
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan ;
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan
pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang
atau peraturan-peraturan lain ;
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan
prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana ;
2. Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri
sebagai berikut:
a) Menyimpang dari
tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan……Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada pejabat
administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” atas
diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan kewenangan tersebut harus
sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya kewenangan tersebut. Dalam hal
penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau pejabat administrasi negara
tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” dari pemberian kewenangan,
maka pejabat administrasi Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan
kewenangan (detournement de power).
b) Menyimpang dari
tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas……Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara demokrasi
tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal
tertuang dalam undang-undang.
c) Menyimpang dari
tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik……Asas-asas hukum yang dipakai untuk menilai kekuasaan
bebas atau kekuasaan diskresi tersebut masih dalam koridor “rechtmatigheid” atau dengan berpedoman pada “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur” (ABBB), dalam kepustakaan
Indonesia diartikan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik” (AAUPB).
3. Hakekat Penyalahgunaan Kewenangan……Indriyanto Seno Adji, dengan
mengutip pendapat Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “freis ermessen”, memberikan pengertian
mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan
dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
a. penyalahgunaan
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau
golongan;
b. penyalahgunaan
kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
c. penyalahgunaan
kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan
untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.
4. Pada
hakekatnya penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya
ketidaksahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan dan atau tindakan
pemerintah/penyelenggara negara. Sadjijono,
dengan menyitir pendapat Phlipus M.
Hadjon mengemukakan bahwa cacat yuridis keputusan dan atau tindakan
pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu
unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat
yuridis tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam,
yakni : cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat
timbulnya penyalahgunaan kewenangan.
5. Pembuktian
Unsur Penyalahgunaan Kewenangan Dalam Tindak Pidana Korupsi. Delik penyalahgunaan kewenangan dalam tindak pidana
korupsi diatur dalam Pasal 3 UUPTPK, yang dirumuskan secara formil dan
materiil. Istilah “melanggar hukum” (onrechtmatigedaad)
biasanya dipergunakan dalam ranah hukum perdata, sedangkan “melawan hukum” (wederrechtelijkheid) dipergunakan dalam ranah hukum pidana. Pada
hukum pidana, unsur “melawan hukum” (wederrechtelijkheid)
dibatasi oleh asas legalitas, sedangkan “melanggar hukum” (onrechtmatigedaad) mempunyai cakupan
yang lebih luas, tidak terbatas pada “written
law” tetapi juga “unwritten law” atau“the living law”. Pada UUPTPK, pengertian
unsur melawan hukum meliputi melawan hukum formil dan melawan hukum materiil.
Penyalahgunaan kewenangan merupakan salah satu bentuk onrechtmatigedaad. Penyalahgunaan kewenangan merupakan “species” dari “genus”-nya (onrechtmatigedaad).
Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan” dan unsur “dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri, orang lain atau suatu korporasi” adalah bagian inti delik (bestanddelen delict) karena tertulis
dalam rumusan delik, oleh karenanya menjadi elemen delik. Berbeda halnya dengan
unsur “melawan hukum” (wederrechtelijk),
tidak secara ekplisit ditentukan sebagai unsur delik dalam Pasal 3 UUPTPK,
namun meskipun tidak secara ekplisit ditentukan dalam rumusan delik, unsur “melawan
hukum”, tersebut tetap ada secara diam-diam, sebab terhadap suatu delik pasti
selalu terdapat unsur “melawan hukum”.
6. Unsur Perbuatan
Menyalahgunakan Kewenangan karena Jabatan atau Kedudukan. Delik inti dari Pasal 3 UUPTPK adalah “menyalahgunakan
kewenangan”. Suatu dakwaan tindak pidana yang dikaitkan
dengan unsur/elemen “kewenangan” atau “jabatan” atau “kedudukan”, maka dalam mempertimbangkannya
tidak dapat dilepaskan dari aspek hukum administrasi negara yang memberlakukan
prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), yang harus
dipisahkan dari prinsip pertanggungjawaban pribadi (liability pribadi)
dalam hukum pidana. Pengertian
“menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana (khususnya dalam tindak pidana
korupsi) tidak memiliki pengertian yang bersifat eksplisitas, oleh karena itu diperlukan pendekatan ekstensif. Berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie ven het Materieele Strafrecht”
(Otonomi dari Hukum Pidana Materiil),
yang intinya adalah mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara
pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan hukum perdata dan
hukum tata usaha negara sebagai suatu cabang hukum lainnya. Indriyanto Seno Adji menguraikan
pengertian “penyalahgunaan kewenangan” dalam hukum administrasi
(mengadopsi uraian Jean Rivero dan Waline)
ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu :
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan pribadi, kelompok atau golongan;
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan
pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan diberikannya kewenangan tersebut oleh undang-undang atau
peraturan-peraturan lain;
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan
prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
7. Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan ini
adalah peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar
belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu keputusan,
artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur “menyalahgunakan
kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan dasar (legalitas) mengenai tugas,
kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja. Perbedaan antara
penyalahgunaan wewenang, bertentangan dengan undang-undang dan tindakan
sewenang-wenang adalah sebagai berikut:
a. Penyalahgunaan wewenang parameter atau tolok ukur
pengujiannya bertumpu pada asas spesialiteieit atau menurut Prof. Tatiek
Djatmiati menggunakan istilah legalitas substansi yang lebih dikenal dengan
asas doelmatigeheid;
b. Bertentangan dengan perundang-undangan, terbagi menjadi
tiga, yaitu bertentangan dengan perundangan-undangan yang bersifat
prosedural/formal; bertentangan dengan perundangan-undangan yang bersifat
materiel/substansial; peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang;
c. Tindakan sewenang-wenang merupakan tindakan yang
mengesampingkan fakta-fakta yang relevan yang telah diverikasi olehnya dalam
melaksanakan wewenangnya serta tidak mencocokan fakta tersebut dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur wewenang yang dimilikinya tersebut.
8. Menurut
Hukum Administrasi penyalahgunaan wewenang adalah segala tindakan
pemerintah yang meliputi :
1.
Bertentangan dengan kepentingan umum
2.
Menyimpang dari
tujuan kewenangan yang diberikan oleh UU atau peraturan lainnya
3.
Menyalahgunakan suatu prosedur
Lanjut
Sjachran Basah menyatakan bahwa Perbuatan administrasi negara yang
menyalahgunakan wewenang (detournment de pouvoir) adalah perbuatan yang
menggunakan wewenang yang mencapai kepentingan umum yang lain dari pada
kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan, yang menjadi dasar kewenangannya
itu dan merugikan pihak yang terkena atau perbuatan untuk kepentingan diri
sendiri atau untuk kepentingan orang lain atau golongan lain.
Penyalahgunaan wewenang meliputi :
1. Tindakan
melampaui wewenang
2. Tindakan
mencampuradukkan wewenang
3. Tindakan
bertindak sewenang-wenang, artinya menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan
untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan
dimaksud bertentangan dengan ketentuan /UU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar