SISTEM PEMBUKTIAN
DAN HAMBATAN DALAM PEMBERANTASAN PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana Indonesia yang dikenal dengan KUHAP, tidak saja
memuat tentang hak dan kewajiban yang terkait dalam suatu proses pidana, tetapi
juga memuat tentang tata cara proses pidana yang menjadi tugas dan kewenangan
masing-masing institusi penegak hukum, begitu juga halnya dengan Hukum Acara
Pidana yang diatur secara khusus di dalam UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KUHAP menganut sistem spesialisasi,
diferensiasi dan kompartemenisasi, memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan
putusan dan penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem
peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system), tetapi di dalam praktek belum memunculkan sinergi
antar institusi terkait. Memang bila dibandingkan dengan HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) ada
perbedaan yang fundamental, terutama pengaturan hak azasi manusia, seperti
penghormatan terhadap azas praduga tak bersalah, bantuan hukum, dasar hukum
penangkapan dan penahanan, pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi,
penggabungan perkara perdata dan pidana dalam hal ganti kerugian, upaya hukum,
penanganan perkara koneksitas, pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dan
pra peradilan.
Differensiasi, artinya membedakan
tugas dan wewenang tingkatan pemeriksaan sejak dari penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di persidangan, sedangkan kompartemenisasi, artinya memberikan
sekat terhadap tugas dan wewenang penyidik dan penuntut umum, tetapi tidak
boleh mengganggu usaha adanya satu kebijakan penyidikan dan penuntutan yang
merupakan pedoman kerja bersama dalam proses peradilan pidana.
Pembagian kewenangan tersebut
dimaksudkan agar pelaksanaan tugas penegakan hukum dapat menjadi focus, sehingga tidak terjadi duplikasi
kewenangan, namun tetap terintegrasi karena antara institusi penegak hukum yang
satu dengan lainnya secara fungsional ada hubungan sedemikian rupa di dalam
proses penyelesaian perkara pidana. Pola ini dikenal dengan integrated criminal justice system
(sistem peradilan pidana terpadu).
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP menganut sistem penuntut umum tunggal (single prosecution system)
yang dilakukan oleh Jaksa (pasal 13 dan 15 KUHAP). Meskipun KUHAP sendiri
memberikan diskresi Penyidik untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dalam
perkara tipiring, tetapi tidak menghilangkan eksistensi Jaksa sebagai penuntut
umum tunggal (een en ondeelbaar). Apa
yang dilakukan oleh penyidik melakukan penuntutan suatu perkara tindak pidana
ringan adalah atas kuasa penuntut umum (pasal 205 ayat (2) KUHAP).
Di dalam
pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, dinyatakan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan penuntutan serta
melaksanakan penetapan Hakim dan menurut pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, Jaksa
adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sedangkan penuntutan menurut pasal
1 angka 7 KUHAP adalah tindakan Penuntut Umum melimpahkan perkara pidana ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan.
Tugas dan kewenangan Penuntut Umum
dalam suatu perkara pidana secara fungsional terkait dengan tugas dan
kewenangan Penyidik di dalam penanganan suatu perkara pidana lazim disebut
dengan prapenuntutan.
Prapenuntutan diatur di dalam pasal 14
huruf b yang menyatakan wewenang penuntut umum untuk mengadakan prapenuntutan,
yaitu apabila ada kekurangan pada hasil penyidikan maka berdasarkan ketentuan
pasal 110 ayat 3 dan 4, penuntut umum memberikan petunjuk kepada penyidik untuk
menyempurnakan hasil penyidikannya.
Dalam KUHAP tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan pengertian prapenuntutan. Oleh karena pengertian otentiknya
tidak diatur dalam KUHAP, maka berdasarkan uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengertian prapenuntutan adalah proses penyempurnaan berkas
perkara berdasarkan petunjuk penuntut umum kepada penyidik
Koordinasi fungsional antara Penyidik
dan Penuntut Umum dalam suatu penanganan perkara pidana (proses pra penuntutan)
menyangkut 6 (enam) permasalahan mendasar, meliputi :
1. Pemberitahuan dimulainya penyidikan
(pasal 109 ayat 1 KUHAP).
2. Perpanjangan penahanan untuk
kepentingan penyidikan (pasal 24 ayat 2 KUHAP).
3. Penghentian penyidikan (pasal 109 ayat
2 KUHAP), sebaliknya Penuntut Umum jika menghentikan penuntutan (pasal 140 ayat
2 huruf c KUHAP).
4. Penyerahan berkas perkara hasil
penyidikan kepada Penuntut Umum (pasal 110 ayat 1 KUHAP).
5. Penyidikan lanjutan berdasarkan
petunjuk Penuntut Umum dalam berkas dinyatakan kurang lengkap (pasal 110 ayat 2
dan 3 KUHAP).
6. Penuntut
umum memberitahukan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada
penyidik (pasal 143 ayat 4, demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah
surat dakwaan ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada Penyidik
(pasal 144 ayat 3).
Adapun yang dimaksud dengan berkas
perkara, yaitu hasil penyidikan yang diserahkan oleh Penyidik kepada Penuntut
Umum yang merupakan penyerahan tahap pertama (pasal 8 ayat 3 sub a dan pasal
110 ayat 1). Dalam perkara tindak
pidana tertentu lainnya seperti tindak pidana perikanan sesuai dengan ketentuan
pasal 73 ayat 1, 4 dan 5 UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan, Penyidik, baik
Penyidik PPNS Perikanan, Perwira TNI Angkatan Laut mupun Penyidik Polri dapat
menyampaikan langsung hasil penyidikan kepada Penuntut Umum, berbeda dengan
perkara tindak pidana yang dilakukan Penyidik PPNS tertentu lainnya seperti
Balai POM atau Kehutanan.
Pengertian
berkas perkara, tidak diatur di dalam KUHAP (pasal 8, pasal 12, dan pasal 138
KUHAP). Sinonim berkas perkara secara singkat menurut pasal 107 ayat 3 dan
pasal 139 KUHAP, adalah “hasil penyidikan”.
Berkas perkara atau hasil penyidikan baru dapat dilimpahkan ke pengadilan,
apabila memenuhi kelengkapan formil dan materiil dari suatu berkas perkara atau
hasil penyidikan. Kelengkapan
formil secara umum antara lain meliputi :
a. Setiap
tindakan yang dituangkan dalam berita acara, harus selalu dibuat oleh pejabat
yang berwenang (penyidik/penyidik pembantu) atas kekuatan sumpah jabatan, dan
ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat tindakan dimaksud dan diberi
tanggal (pasal 75 jo 121 KUHAP).
b. Syarat
kepangkatan untuk penyidik/penyidik pembantu (pasal 2 dan 3 PP No. 27/tahun
1983; dan Keputusan Menteri Kehakiman No : M. 05.PW.07.04 tahun 1984)
c. Keabsahan
tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam hal tertentu harus berdasarkan izin
yang berwenang dan izin tersebut dilampirkan dalam berkas beserta Surat
Perintah Penyidikan, seperti surat persetujuan permintaan keterangan sebagai
saksi/tersangka bagi Pejabat Negara tertentu dari pejabat yang berwenang (pasal
106 ayat 1 UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk serta pasal 53 ayat 1 dan pasal
36 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), bagi KPK hal tersebut
tidak berlaku berdasarkan pasal 46 ayat 1 UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK,
penggeledahan berupa izin ketua pengadilan negeri (pasal 33 KUHAP) dan berita
acara penyitaan harus ditanda tangani dari siapa barang tersebut disita dan 2
orang saksi (pasal 129 ayat 2 KUHAP). Bagi daerah-daerah yang kondisi geografi,
dan transportasinya menimbulkan hambatan dalam permintaan izin penyitaan kepada
Ketua Pengadilan Negeri setempat, maka Penyidik dapat menerapkan ketentuan
pasal 34 dan pasal 38 ayat 2 KUHAP.
Dalam berkas perkara hendaklah dilampirkan
tembusan Laporan penyitaan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat guna memperoleh persetujuan.
Bila barang sitaan
dipinjamkan, tidak diperlukan izin Ketua Pengadilan Negeri, tetapi ada
kewajiban melaporkan kepadanya, tetapi apabila merubah status benda sitaan
harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri (Pedoman Pelaksanaan KUHAP
butir 2 halaman 3).
Bila benda sitaan dijual
lelang sebelum mendapat keputusan Pengadilan maka harus dengan izin Ketua
Pengadilan Negeri (Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 7).
d.
Identitas
(143 ayat 2 sub a KUHAP) ;
Terhadap barang bukti yang
diserahkan secara sukarela oleh saksi/tersangka dibuat Berita Acara Penerimaan
dan dimintakan persetujuan Ketua Pengadilan.
e. Dalam hal delik aduan, harus
ada pengaduan dari pihak yang berkepentingan (pasal 72 KUHP dan dalam tindak
pidana korupsi tidak ada delik aduan)
f. Apabila suatu perkara
pembuktiannya memerlukan pemeriksaan laboratorium, maka hasil laboraturium
tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara .
Sedangkan
kelengkapan materiil secara umum, antara lain meliputi:
a. Adanya
perbuatan melawan hukum, sesuai dengan pengertian perbuatan dan pengertian
melawan hukum, dengan mempedomani unsur-unsur delik yang disangkakan.
b. Adanya
kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun berupa kelalaian sesuai dengan
unsur-unsur delik yang disangkakan.
c. Adanya
minimal dua alat bukti yang dapat mendukung atau membuktikan perbuatan dan
kesalahan tersangka (pasal 183 KUHAP)
d. Alat bukti yang
menunjukan tempus delicti, sehingga dapat diketahui daluarsa atau
tidaknya penuntutan dan apakah delik yang disangkakan merupakan delik yang
dikualifikasikan atau tidak serta untuk mengetahui ada tidaknya perubahan
ketentuan normatif hukum pidana positif setelah dilakukannya delik.
e. Alat bukti
yang menunjukkan locus delicti, sehingga
dapat diketahui keberlakuan hukum pidana positif dan untuk menentukan Kejaksaan
mana/Pengadilan Negeri mana yang berwenang melakukan penuntutan/mengadili
(kompetensi relatif).
f. Kejelasan
tentang peran pelaku dan atau para pelaku serta kualitasnya, begitupun
kejelasan tentang tingkat pelaksanaan/penyelesaian delik sehingga jelas
pertanggungjawaban tersangka/para tersangka. Kualitas pelaku dan atau para
pelakupun perlu jelas, sehingga dapat ditentukan pengadilan yang berwenang
mengadili (kompetensi absolut).
g.
Apakah
perbuatan/kesalahan tersangka termasuk tindak pidana khusus untuk dapat
dilakukannya penyelidikan tambahan sendiri oleh Kejaksaan (pasal 284 ayat 2
KUHAP jo. pasal 17 PP No. 27 tahun 1983).
h.
Perlu
tidaknya berkas perkara dipecah (splitsing), baik untuk mencukupi upaya
pembuktian maupun untuk mengembangkan perkara.
Menyangkut
kelengkapan formil dan materil di atas tidak mutlak secara kasuistis dapat
disesuaikan dengan delik yang disangkakan. Disamping kelengkapan formil dan
materil di atas yang perlu diperhatikan juga adalah ketentuan pasal 76 ayat 1
KUHP, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dituntut dua kali (nebis in idem) dan pasal 78 ayat 1 KUHP karena perbuatan tersebut
telah daluarsa, atau pasal 83 KUHP jika tersangka atau terdakwa telah meninggal
dunia, di samping pasal 56 jo pasal 114 KUHAP hak seorang tersangka untuk
didampingi penasihat hukum, pasal 116 KUHAP hak tersangka mengajukan saksi yang
menguntungkan baginya, pasal 117 KUHAP keterangan tersangka dan atau saksi
diberikan tanpa adanya paksaan dari siapapun dan dalam bentuk apapun, pasal 33 ayat 3, 4 dan 5, KUHAP syarat
sahnya suatu penggeledahan, pasal 45 KUHAP syarat sahnya suatu penyitaan, pasal
47 KUHAP syarat sahnya suatu penerimaan surat, pasal 48 KUHAP syarat sahnya
suatu pembukaan dan pemeriksaan surat, pasal 76 KUHAP syarat sahnya suatu
sumpah atau janji serta pasal 113 KUHAP syarat sahnya suatu permintaan
keterangan di tempat kediaman tersangka atau saksi.
Terkait dengan petunjuk penuntut umum
kepada penyidik, perlu dibedakan pengertian “penyidikan lanjutan” dan “pemeriksaan
tambahan”. Penyidikan lanjutan dilakukan oleh penyidik setelah menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum, ternyata penuntut umum berpendapat bahwa
hasil penyidikan masih kurang lengkap. Oleh karena itu, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan petunjuk (P-18 dan
P-19) untuk dilengkapi dan penyidik segera melakukan penyidikan lanjutan sesuai
dengan petunjuk penuntut umum (pasal 110 ayat 2 dan 3 KUHAP jo. pasal 138 ayat
2 KUHAP),
sedangkan pemeriksaan tambahan dilakukan oleh Penuntut Umum.
Apabila Penyidik berpendapat bahwa
hasil penyidikan sudah optimal dan tidak dapat memenuhi petunjuk Penuntut Umum,
selanjutnya berkas perkara tersebut diserahkan kepada Penuntut Umum, maka
Penuntut Umum dapat mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Penyidik atau
meminta kepada Penyidik untuk menyerahkan tersangka dan barang bukti dan
melakukan “pemeriksaan tambahan”
mengacu kepada ketentuan pasal 30 ayat 1 huruf e Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI.
Namun
demikian, melengkapi berkas perkara yang dilakukan penuntut umum dengan
melakukan pemeriksaan tambahan tersebut, secara limitatif dalam penjelasan
pasal tersebut dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Tidak dilakukan terhadap tersangka;
2. Hanya terhadap perkara-perkara yang
sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat
membahayakan keselamatan Negara;
3. Harus dapat diselesaikan dalam waktu
14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
4.
Prinsip koordinasi dan kerjasama
dengan penyidik.
Selain itu,
pemeriksaan tambahan dapat juga dilakukan dalam perkara acara pemeriksaan
singkat (pasal 203 ayat 3 KUHAP), bila hakim memandang perlu untuk melakukan
pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling
lama 14 hari dan bilamana dalam waktu tersebut Penuntut Umum belum juga dapat
menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka Hakim memerintahkan perkara itu
diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa.
Proses pemeriksaan tambahan tersebut
berbeda dengan proses penyidikan yang sudah dianggap lengkap. Dalam hal hasil
penyidikan telah dianggap lengkap maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum dan dalam hal perkara dengan
acara pemeriksaan singkat, penyidik pembantu dapat menyerahkan tersangka dan
barang bukti langsung kepada penuntut umum, jika hasil penyidikan tersebut
berasal dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu, maka penyerahan
tanggung jawab tersangka dan barang bukti dilakukan melalui penyidik Polri dan
selanjutnya penyidik Polri meneruskan penyerahan berkas perkara tersebut kepada
penuntut umum (pasal 107 ayat 3), kecuali dalam perkara-perkara tertentu
seperti kepabeanan, perikanan, penyidik PPNS dapat langsung menyerahkan hasil
penyidikan ke Penuntut Umum.
Dalam perkara tindak pidana korupsi,
tidak ada dilakukan pemeriksaan dengan acara singkat, mengingat
pembuktiannyadipandang relatif sulit.
Tidak
berbeda dengan perkara tindak pidana lainnya, maka dalam perkara tindak pidana
korupsi jika hasil penyidikan sudah dianggap lengkap, maka Penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti.
Penuntut
Umum melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan tersangka sebagai berikut :
Meneliti, mencocokan identitas tersangka dengan menghadapkan langsung tersangka
yang bersangkutan danmempertimbangkan apakah terhadap tersangka dapat dilakukan
penahanan berdasarkan pasal 21 KUHAP, dan kemudian menetapkan apakah tersangka
akan ditahan atau tidak atau mengalihkan jenis penahanan atau menangguhkan
penahanannya. Bila tersangka akan ditahan atau akan dilakukan penahanan
lanjutan agar dibuatkan surat perintah penahanan/penahanan lanjutan dengan
tembusan disampaikan kepada keluarga tersangka, penyidik, Rutan dan dilampirkan
dalam berkas perkara. Sisa Penahanan Penyidik tidak diperhitungkan, dan
perpanjangan penahanan dimulai/dihitung sejak surat perintah
penahanan/penahanan lanjutan diterbitkan (Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP
butir 21).
Bagi
tersangka orang asing yang keluarganya tidak ada di Indonesia, tembusan dimaksud
disampaikan kepada Perwakilan Negaranya sebagai pengganti keluarganya (Tambahan
Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 9).
Penuntut
Umum yang ditunjuk itu mempelajari serta mengadakan penelitian atas isi atau
materi berkas perkara, kemudian membuat telaahan apakah perkara tersebut telah
memenuhi persyaratan untuk dapat diajukan/dilimpahkan ke pengadilan atau
dikirim kepada Kejaksaan Negeri di daerah hukum Pengadilan Negeri yang akan
menyidangkan perkara (pasal 84 s/d 86 KUHAP) atau diserahkan kepada instansi lain,
atau dihentikan penuntutannya atau membuat telaahan yang berisi catatan bahwa
perkara tersebut menyangkut kepentingan umum (pasal 35 huruf c Undang-Undang
No. 16 tahun 2004 jo penjelasan pasal 77 KUHAP).
Apabila
perkara tersebut ternyata tidak termasuk dalam wewenang Kejaksaan tempat
Penuntut Umum tersebut bertugas karena locus delicti tindak pidana yang
dilakukan tersangka di luar daerah hukum Pengadilan Negeri yang seharusnya akan
menyidangkannya, atau tersangka ditahan, diperiksa atau karena sebagian besar
para saksi yang akan dipanggil lebih jauh dari daerah hukum Pengadilan Negeri
tersebut, maka perkara itu diserahkan kepada Kejaksaan Negeri dimana Pengadilan
Negeri yang menyidangkan perkara tersebut berkedudukan.
Apabila
kemudian hari diketemukan hal-hal baru yang tidak dimungkinkan perkara tersebut
diajukan/dilimpahkan ke Pengadilan, maka berdasarkan ketentuan pasal 140 (2) a
KUHAP dapat dihentikan penuntutannya karena :
- ne bis in idem (pasal 76 KUHP) ;
- tersangka meninggal dunia (pasal 77
KUHP) ;
- kadaluarsa (pasal 78 KUHP).
Dalam
perkara selain perkara tindak pidana korupsi dapat juga dilakukan penghentian
penuntutan terhadap delik aduan (pasal 75 KUHP) dan terhadap perkara yang
diancam dengan pidana denda, dimana terdakwa telah membayar denda maksimum
kepada pejabat yang berwenang atas pelanggaran yang dilakukannya sebelum
perkaranya dilimpahkan ke pengadilan (pasal 82 KUHP).
Dalam hal
perkara penting yang menarik perhatian masyarakat sebelum menghentikan
penuntutannya perlu mendapat persetujuan Jaksa Agung. Perkara yang bersifat
politis dan mempunyai aspek nasional serta yang menyangkut benda sitaan/barang
bukti yang mempunyai nilai tinggi dan akan menimbulkan perselisihan antara
pihak-pihak yang merasa berhak, penghentian penuntutannya, juga memerlukan
persetujuan Jaksa Agung. Jika sudah diterbitkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP), maka turunan surat ketetapan tersebut pada hari itu juga harus
disampaikan kepada tersangka atau keluarganya atau penasehat hukumnya, Rutan
bila ditahan, Penyidik dan Hakim serta juga disampaikan kepada saksi
pelapor/saksi korban. KPK, sesuai dengan
ketentuan pasal 40 UU No. 30 tahun 2002, tidak diberi wewenang, tidak saja untuk
menghentikan penyidikan, tetapi juga penuntutan.
SKPP dapat
dicabut kembali berdasarkan pasal 140 ayat 2 sub d KUHAP, bila dikemudian hari
diketemukan alasan baru yang diperoleh Penuntut Umum dari Penyidik berdasarkan
keterangan tersangka, saksi, benda atau petunjuk yang baru kemudian diketahui
atau di dapat, sehingga terhadap tersangka dapat dilakukan penuntutan dengan
surat ketetapan pencabutan penghentian penuntutan.
Bila
Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan berkeberatan terhadap penghentian
penuntutan dan mengajukan permintaan praperadilan sesuai dengan ketentuan pasal
80 KUHAP, atau disertai permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi, kepada
Ketua Pengadilan Negeri menurut pasal 81 KUHAP, maka jika putusan praperadilan
mengatakan bahwa penghentian penuntutan itu adalah sah, sedangkan Penyidik atau
pihak ketiga yang berkepentingan beranggapan bahwa praperadilan itu tidak
tepat, sesuai dengan ketentuan pasal 83 KUHAP, dapat dimintai putusan akhir
pada Pengadilan Tinggi.
Untuk
meminta putusan akhir atas praperadilan terhadap tidak sahnya penghentian
penuntutan dilaksanakan dalam waktu paling lama 7 hari setelah putusan
praperadilan (Tambahan pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 12 dan 13 serta Surat
Edaran Mahkamah Agung RI No. 14 tahun 1983).
Terhadap
penghentian penuntutan yang kemudian diketemukan alasan baru yang diterima dari
Penyidik yang berasal dari keterangan tersangka, saksi, benda atau petunjuk
yang baru kemudian diketahui atau didapat dan terhadap putusan praperadilan
atau putusan akhir dari Pengadilan Tinggi yang menetapkan bahwa suatu
penghentian tidak sah, maka penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan dan
dalam waktu secepatnya di buatkan surat dakwaannya.
Penyampingan
perkara untuk kepentingan umum (pedoman pelaksanaan KUHAP halaman 88 dan 89
serta penjelasan pasal 77 KUHAP), merupakan wewenang Jaksa Agung sebagai
perwujudan asas opportunitas, yaitu Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi,
berdasarkan keadaan-keadaan yang nyata berwenang untuk tidak menuntut suatu perkara
pidana dimuka persidangan Pengadilan Pidana agar kepentingan umum tidak lebih
dirugikan. Penyampingan perkara demi kepentingan umum ini tidak dapat dibuka
kembali (bersifat definitif).
Dalam hal
ada alasan-alasan untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum ini, maka
Kepala Kejaksaan Negeri mengusulkan penyampingan itu kepada Jaksa Agung .
Terhadap
perkara yang memenuhi persyaratan untuk diajukan ke Pengadilan segera dibuat
riwayat perkara dan Penuntut Umum yang ditunjuk dalam telaahannya harus memuat
pula saran :
- akan menggabungkan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan, atau ;
- mengadakan pemecahan penuntutan
(splitsing) terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana
yang dilakukan beberapa orang tersangka ;
- perkara akan diajukan dengan menggunakan
acara pemeriksaan biasa, atau pemeriksaan singkat.
Persyaratan
yang harus dipertimbangkan apakah suatu perkara akan digabungkan atau
dipisahkan ialah :
- Penggabungan perkara (pasal 141 KUHAP).
Penuntut Umum dapat melaksanakan
penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada
waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam
hal :
-- beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh
orang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadi halangan terhadap
penggabungannya,
-- beberapa tindak pidana yang bersangkut paut
satu dengan yang lain,
-- beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut
paut satu dengan yang lain, akan tetapi ada hubungannya, sehingga
penggabungannya perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
-- pemisahan perkara (pasal 142 KUHAP).
Berkas perkara tersebut memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk
dalam ketentuan pasal 141 KUHAP, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan
terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah (pasal 142 KUHAP).
Biasanya splitsing dilakukan dengan
membuat berkas perkara baru, dimana para tersangka saling menjadi saksi,
sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka,
maupun para saksi. Splitsing ini lazimnya ditemui pada saat berkas perkara
dalam tahap persiapan penuntutan, maka penyidiklah yang berwenang membuat
berkas perkara baru ini atas petunjuk dari Penuntut Umum. Untuk memahami
masalah pemecahan penuntutan perkara ini, agar diperhatikan pula pedoman
pelaksanaan KUHAP halaman 89 butir 5 s/d halaman 90, yang jelas menyebutkan
bahwa prosesnya dikaitkan dengan ketentuan dalam pasal 138 ayat (1) dan (2)
KUHAP. Karena itu keadaan/fakta yang memungkinkan splitsing ini telah dapat
diduga pada waktu prapenuntutan. Pada saat itulah hal-hal tersebut
diberitahukan kepada Penyidik.
Surat dakwaan memegang peranan yang
penting sekali dalam proses perkara pidana, malahan merupakan dasar dari
keseluruhan proses, sebab dari sanalah seorang Jaksa akan memulai tugasnya
sebagai wakil negara dan masyarakat untuk membuktikan bahwa seorang yang
dihadapkan ke sidang pengadilan memang bersalah.
Pengertian surat dakwaan tidak diatur di
dalam KUHAP, tetapi disyaratkan suatu surat dakwaan harus diberi tanggal dan
ditandatangani oleh Penuntut Umum, memuat identitas terdakwa disertai uraian
tentang perbuatan yang didakwakan kepadanya berdasarkan unsur-unsur pasal yang
tercantum di dalamnya dengan mencantumkan juga tempat dan waktu (tempus dan
locus delicti).
Surat
dakwaan dibuat dalam perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa (pasal
155ayat 2 hurf b KUHAP) dan dalam acara pemeriksaan singkat disebut dengan
catatan Penuntut Umum (pasal 203 ayat 3 huruf a KUHAP) yang berfungsi sebagai
dasar dan sekaligus pembatas ruang lingkup pemeriksaan. Bagi Penuntut Umum
fungsi surat dakwaan sebagai dasar pelimpahan perkara dan dalam perkara biasa
“meminta” atau dalam perkara singkat “menetapkan” hari, tanggal pengadilan
negeri memeriksa, disamping itu surat dakwaan tersebut oleh Penuntut Umum
dijadikan sebagai dasar pembuktian, penuntutan dan dasar melakukan upaya hukum.
Bagi terdakwa/penasehat hukum fungsi surat dakwaan tersebut dapat dijadikan
dasar untuk melakukan keberatan dan pembelaan, sedangkan bagi hakim surat dakwaan berfungsi untuk menentukan
batas-batas pemeriksaan dan analisa Hakim mengenai fakta-fakta yang didakwakan.
Selain merupakan dasar pemeriksaan yang membatasi lingkup pemeriksaan di
sidang pengadilan, surat dakwaan juga menjadi dasar pertimbangan di dalam
menjatuhkan putusan .
Surat
dakwaan harus memenuhi syarat-syarat yang dicantumkan dalam pasal 143 ayat 2
KUHAP, yaitu :
a. Syarat formil.
Dalam surat dakwaan harus menyebutkan
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Identitas tersebut dimaksudkan
agar orang yang didakwa dan diperiksa di depan sidang pengadilan adalah
benar-benar terdakwa yang sebenarnya dan bukan orang lain.
b. Syarat materiil.
Mengenai isi surat dakwaan, yang harus menyebutkan
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Yang dimaksud dengan “cermat” adalah uraian yang
didasarkan kepada ketentuan pidana terkait, tanpa adanya kekurangan atau
kekeliruan yang menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum atau dapat
dibatalkan atau dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard), dalam hal ini dituntut sikap yang jeli
terhadap keseluruhan materi dakwaan, sedang pengertian “jelas” adalah uraian
yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara menyusun redaksi yang mempertemukan
fakta-fakta perbuatan terdakwa dengan unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan, sehingga terdakwa yang mendengar atau membacanya akan mengerti dan
mendapat gambaran tentang siapa yang melakukan tindak pidana, tindak pidana
yang dilakukan, kapan dan dimana tindak pidana tersebut dilakukan, apa akibat
yang ditimbulkan dan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana itu. Uraian
komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan kronologis dengan
bahasa yang sederhana yang mudah dimengerti khususnya oleh terdakwa dan yang dimaksud
dengan “lengkap” adalah uraian yang bulat dan utuh yang menggambarkan
unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan.
Penuntut umum dapat
merubah surat dakwaan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan dimulai.
Berdasarkan pasal 144
KUHAP :
1.
Penuntut
umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang,
baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya.
2.
Pengubahan
surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambatnya-lambatnya
tujuh hari sebelum sidang dimulai.
3.
Dalam hal
penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada
tersangka atau penasehat hukum dan penyidik.
Bentuk-bentuk dakwaan :
a. Tunggal :
dalam dakwaan tunggal ini hanya didakwakan
satu tindak pidana saja karena perbuatan terdakwa tidak mempunyai kualifikasi
lain, kecuali satu-satunya kualifikasi yang dapat didakwakan, dan Penuntut Umum
berkeyakinan bahwa sepanjang fakta yang didukung oleh alat-alat bukti yang ada,
kualifikasi tunggal itulah yang dapat dibuktikan.
b. Majemuk (kumulatif)
jika didakwakan beberapa perbuatan dengan
beberapa kualifikasi/tindak pidana pula atau jika satu perbuatan yang
didakwakan dengan beberapa kualifikasi/tindak pidana yang didakwa itu
benar-benar diyakini memiliki fakta dengan didukung oleh alat-alat bukti yang cukup, sehingga setiap perbuatan
atau kualifikasi/tindak pidana itu masing-masing harus dibuktikan.
Dalam dakwaan kumulatif ini dibedakan
lagi, yaitu :
1) Dakwaan
kumulatif dalam perbarengan peraturan (concursus
idealis).
Dakwaan ini diperuntukkan jika
perbuatan tersebut melanggar lebih dari satu peraturan (pasal 63 KUHP).
2) Dakwaan
kumulatif dalam perbarengan perbuatan (concorsus
realis).
Dakwaan ini diperuntukkan jika lebih
dari satu kejahatan yang dilanggar (pasal 65 KUHP).
3) Kumulasi
dakwaan tindak pidana umum dengan tindak pidana umum atau tindak pidana umum
dengan tindak pidana tertentu.
Dalam formulasi dakwaan kumulatif
dalam perbarengan perbuatan ini, dalam praktek sering terjadi. Bentuk dakwaan
ini diterapkan apabila perbuatan tersebut melanggar ketentuan pidana berbeda
kualifikasi deliknya, dapat antar tindak pidana umum atau antar tindak pidana
umum dengan tindak pidana tertentu..
c. Pilihan (alternatif)
jika satu perbuatan yang tidak hanya
termasuk satu kualifikasi/tindak pidana, tetapi dimungkinkan pula termasuk
dalam kualifikasi/tindak pidana lain, dan masing-masing kualifikasi/tindak
pidana mempunyai fakta yang didukung oleh alat-alat bukti yang cukup.
Dalam hal ini hanya satu dakwaan saja yang
dibuktikan/dikenakan pidana.
d. Berlapis (subsidair)
jika suatu pebuatan dapat
dikualifikasir dalam beberapa tindak pidana, dan perumusan dakwaan disusun
secara bertingkat dari yang paling berat sampai yang paling ringan.
Pada hakekatnya hanya satu
dakwaan saja akan dibuktikan/dikenakan pidana.
e. Penggabungan/kombinasi (antara
bentuk kumulatif dan bentuk subsidair).
Bentuk ini merupakan perkembangan baru
dalam praktek sesuai perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif,
baik dalam atau jenisnya maupun modus operandi yang dipergunakan. Kombinasi
atau gabungan dakwaan tersebut terdiri dari dakwaan kumulatif dan dakwaan
subsidair, seperti :
Kesatu
:
Primer
: Pasal
2 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP
Subsidair
: Pasal
3 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP
.
Kedua :
Primer
: Pasal
3 ayat 1 huruf b UU No. 15 tahun 2002 jo UU No. 25 tahun 2005 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Subsidair
: Pasal
6 ayat 1 huruf a UU No. 15 tahun 2002 jo UU No. 25 tahun 2005 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Turunan
surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaannya dalam acara pemeriksaan biasa
disampaikan kepada tersangka atau penasehat hukumnya dan penyidik pada saat
yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke
Pengadilan Negeri (pasal 140 KUHAP). Meskipun tidak diatur dalam KUHAP, tetapi
seyogianya kepada saksi korban disampaikan juga tembusan surat pelimpahannya
berikut dengan dakwaannya.
Dalam acara
pemeriksaan singkat, pengiriman perkara disertai permohonan perpanjangan
penahanan, apabila tersangka ditahan. Pengiriman perkara untuk acara
pemeriksaan tingkat ini hendaklah disampaikan pada kesempatan pertama sesuai
dengan jadwal persidangan untuk perkara pemeriksaan acara singkat yang di buat pengadilan (dalam perkara Tindak
Pidana Korupsi hampir-hampir tidak ada pemeriksaan dengan acara singkat).
Untuk
pelimpahan perkara ke pengadilan ini, perhatikan kalender persidangan
pengadilan, sesuai dengan maksud Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 1, 13
dan SE. MA No. 8 th. 1983.
Apabila masa
penahanan akan berakhir, sedang pemeriksaan demi kepentingan penuntutan belum
selesai, maka Penuntut Umum dapat mengajukan permohonan perpanjangan penahanan selama
30 hari, jika ancaman pidana dari pasal yang akan didakwakan 9 tahun atau lebih
atau karena terdakwa ada gangguan fisik dan mental, maka dapat diperpanjang
lagi oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 hari sebanyak 2 kali (dalam
hal tindak pidana perikanan berdasarkan pasal 76 ayat 7 Undang-Undang No. 31
tahun 2004 dapat diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 10 hari).
Dalam hal
pelimpahan berkas perkara secara biasa, Penuntut Umum sebaiknya berkonsultasi
dengan Pengadilan supaya dapat segera ditetapkan hari sidang setelah berkas
perkara diterima oleh Penitera Pengadilan, mengingat masa persidangan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK disidangkan di Pengadilan
Tipikor relatif waktunya terbatas hanya ditetapkan selama 60 hari dengan
susunan Majelis Hakimnya terdiri dari 3 Hakim Ad Hoc 2 Hakim Karier (pasal 59
ayat 1 dan 2 UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK), bahkan dalam perkara tindak
pidana perikanan lebih singkat lagi, dibatasi hanya 30 hari dengan susunan
Majelis Hakimnya terdiri dari 2 Hakim Ad Hoc dan 1 Hakim Karier (pasal 80 ayat
1 UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan).
Penuntut
Umum dapat merubah surat dakwaan sebelum Pengadilan menetapkan hari sidang,
selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai. Walaupun KUHAP memperkenankan
untuk merubah surat dakwaan dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk
tidak dilanjutkan penuntutan, namun diharapkan agar sarana ini hanya digunakan
dalam hal yang sangat mendesak dan penting sekali. Sebab bila upaya/sarana ini
digunakan, secara tidak langsung menunjukkan ketidaksempurnaan penelitian
berkas perkara dalam tahap prapenuntutan.
Pengiriman
perkara dengan acara pemeriksaan singkat baru dilaksanakan setelah Penuntut
Umum melakukan pemanggilan terhadap tersangka, saksi-saksi atau ahli dengan
memperhatikan tenggang waktu 3 hari sebelum sidang (pasal 164 KUHAP).
Untuk ini
agar diperhatikan Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 13 dan sesuai dengan
kalender persidangan Pengadilan Negeri yang akan menyidangkan perkara tersebut
dengan acara singkat.
Walaupun
tidak ada kewajiban menurut pasal 203 (3) huruf a titik 1 dan 2 KUHAP untuk
menyertakan surat dakwaan dalam pengiriman perkara dengan acara pemeriksaan
singkat, namun Penuntut Umum tetap membuat dakwaan secara tertulis.
Pelaksanaan
pemanggilan saksi, ahli dan terdakwa sebagaimana ditentukan dalam pasal 152 (2)
jo 146 KUHAP jo 227 KUHAP dapat segera dilakukan oleh Penuntut Umum dengan
memperhatikan jangka waktu pemanggilan, sehingga pihak yang dipanggil sudah
dapat menerima panggilan 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan pemeriksaan terhadap
dirinya, baik sebagai saksi, ahli maupun terdakwa.
Untuk
pelaksanaan pemanggilan perhatikan Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 1.
- Untuk kecepatan penyampaian pemanggilan
dapat dimintakan bantuan kepada instansi lain/pamongpraja sesuai dengan
kebutuhan dimana ia/mereka bertempat tinggal.
- Surat pemanggilan kepada terdakwa yang
tidak ditahan disampaikan terlebih dahulu di alamat tinggalnya. Bagi tersangka
yang didampingi oleh penasehat hukum, agar panggilan tersebut (oleh tersangka)
diberitahukan juga kepada penasehat hukum.
- Surat pemanggilan kepada tersangka atau
saksi yang menjadi Pegawai Negeri atau Perusahaan Negara yang vital disampaikan
tembusannya kepada atasannya.
- Surat panggilan kepada tersangka yang
ditahan dilakukan melalui Kepala Rumah Tahanan/Kepala Lembaga Pemasyarakatan .
Dalam hal
alamat terdakwa tidak jelas surat panggilan dapat ditempelkan pada papan
pengumuman di Kantor Pengadilan Negeri setempat.
Dalam
perkara singkat, panggilan saksi-saksi dapat dibatasi hanya pada saksi utama
atau saksi korban, sedang jumlahnya disesuaikan dengan daya mampu pemeriksaan
persidangan.
Sehari
sebelum hari sidang, Penuntut Umum berkewajiban melakukan penelitian mengenai :
- pengiriman surat penggilan dan
penerimaan kembali surat panggilan untuk saksi/tersangka,
- penyediaan barang bukti,
- surat perintah dan berita acara
pelaksanaan penahanan dan surat perpanjangan penahanan,
- pengambilan dan pengawalan tahanan.
Untuk
pengawalan tahanan dan pengamanan persidangan agar diminta bantuan Polri dan
dalam hal ini perlu adanya kerja sama fungsional dan instansional yang baik
antara Kejaksaan dengan Polri.
Barang bukti
yang sekiranya tidak mungkin dibawa seluruhnya ke depan sidang karena wujud atau jumlahnya,
cukup diajukan contohnya saja. Sedangkan untuk barang bukti yang karena
sifat/keadaannya tidak mungkin dibawa ke persidangan, maka cukup diajukan
surat-surat barang bukti atau fotocopynya saja, namun demikian dalam kedua hal
itu, Penuntut Umum berkewajiban menyiapkan barang bukti dimaksud ditempat untuk
sewaktu-waktu dapat diperiksa oleh hakim.
Terhadap
barang bukti yang tercantum dalam daftar barang bukti berkas perkara, agar
diadakan penelitian ulang dan mencocokan dengan kenyataannya serta memeriksa
lak segelnya, sesuai dengan penegasan dalam Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP
butir 2, 3 dan 10.
Sebelum
sidang dimulai, Penuntut Umum berkewajiban menyiapkan kelengkapan yang
berhubungan dengan perkara yang akan disidangkan dan apabila dipandang perlu,
jauh sebelumnya telah dipertimbangkan perlu tidaknya dibentuk tim asistensi.
Untuk
pakaian sidang agar diperhatikan Bab III-PP No. 27 tahun 1983 jo Peraturan
Menteri Kehakiman No. M.07.UM.01.06 tahun 1983 yang isi pokoknya : Pakaian
dalam sidang pengadilan adalah toga berwarna hitam.
Mengenai
tata tertib persidangan dan tata ruang sidang perhatikan pasal 217, 218, 219
dan seterusnya dari KUHAP jo. Peraturan Menteri Kehakiman No. M.06-UM.01.06
tahun 1983 yang isi pokoknya Hakim Ketua sidang memimpin persidangan.
Untuk
penyidangan perkara yang terdakwanya anak-anak, pakaian sidang menggunakan
pakaian tidak resmi guna menimbulkan suasana kekeluargaan dan akan memberi
pengaruh baik bagi anak sebagai terdakwa (pasal 6 PP No. 27 tahun 1983 serta
penjelasannya dan pasal 6 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan
Anak).
Untuk menentukan
tuntutan ada baiknya dimintakan saran dan pendapat dari Balai Bispa (Bimbingan
Kemasyarakatan dan Pengentasan anak) mengenai sikap-sikap dan sifat
anak/terdakwa tersebut dalam :
a. Lingkungan di rumah terhadap ayah, ibu dan
saudara-saudaranya.
b. Lingkungan di sekolah terhadap para guru
dan teman sekolahnya.
c. Lingkungan di luar (dengan teman bermain).
Penuntut
Umum tidak terikat pada pendapat dan saran Balai Bispa dimaksud, namun demikian
dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam tuntutan .
Satu jam
sebelum sidang dimulai Penuntut Umum berkewajiban melakukan penelitian terakhir
mengenai :
- kehadiran terdakwa dan para saksi,
- penyediaan barang bukti,
- kehadiran petugas keamanan.
dan selanjutnya memberitahukan Majelis Hakim yang
akan memeriksa perkara bahwa sidang dapat segera dimulai.
Terhadap
terdakwa/saksi tidak mau datang memenuhi panggilan secara sah, maka untuk kedua
kalinya ia dihadirkan dengan paksa atau jika ada perintah Pengadilan
menghadapkan secara paksa, pelaksanaan menghadapkannya dapat dimintakan bantuan
Kepolisian sesuai dengan pasal 154 (6) KUHAP dan 159 (2) KUHAP .
Bila
terdakwa/penasehat hukum mengajukan keberatan (eksepsi) sebagaimana yang
digariskan oleh pasal 156 ayat 1 KUHAP dengan alasan:
1. Pengadilan tidak berwenang sehubungan
dengan kompetensinya baik yang absolut maupun relatif.
Kompetensi absolut adalah menentukan Pengadilan
yang berwenang mengadili, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara,
Pengadilan Militer atau Pengadilan Agama.
Dengan demikian keberatan berdasarkan
alasan bahwa perkara yang diperiksa adalah merupakan perkara perdara, bukanlah
merupakan pengertian Kompetensi absolut. Dapat pula ditambahkan bahwa apakah
perkara yang akan diperiksa merupakan perkara perdata, jelas tidak dapat
disimpulkan dari surat-surat dakwaan belaka atau sebelum dibahas/diperiksa oleh
pengadilan.
Pengadilan Negeri juga
tidak berwenang mengadili perkara selain karena alasan kompetensinya, dapat
juga disebabkan oleh karena hal-hal yang dimaksudkan oleh pasal 157 dan pasal
220 KUHAP.
2. Surat dakwaan tidak dapat
diterima, karena adanya kekeliruan pelaku atau karena tidak dipenuhi
syarat-syarat penuntutan seperti yang diatur oleh pasal 75, 76, 77 dan 78 KUHAP
atau karena hak-hak tersangka tidak dipenuhi dalam proses penyidikan atau ada
tindakan penyidik yang bertentangan dengan hukum acara pidana yang berlaku,
seperti misalnya saksi memberi keterangan dalam keadaan tidak bebas (ada unsur
rekayasa/pemaksaan).
3. Surat dakwaan dibatalkan
demi hukum karena tidak dipenuhinya ketentuan pasal 143 (2) huruf b KUHAP .
Khusus
menyangkut ketentuan persidangan tanpa dihadiri oleh terdakwa (in absentia), merupakan pengecualian
karena pada prinsipnya pemeriksaan suatu perkara di depan sidang pengadilan,
dihadiri oleh terdakwa dan untuk itu mengharuskan penuntut umum menghadirkan
terdakwa dalam pemeriksaan. Akan tetapi adakalanya terdakwa tidak hadir pada
persidangan yang ditentukan. Pada umumnya hal itu terjadi terhadap perkara yang
terdakwanya tidak dilakukan penahanan, baik karena tidak memenuhi ketentuan
pasal 21 ayat 4 KUHAP maupun karena penahanannya dtangguhkan. Untuk hal itu,
perlu diperhatikan apakah pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan telah
dilakukan secara sah (pasal 145 dan pasal 146 KUHAP). Jika surat panggilan
telah dilakukan dengan sah sebanyak dua kali, namun terdakwa tetap tidak hadir
pada hari sidang ditentukan, tindakan yang diambil adalah melihat faktor atau
sifat ketidak hadiran itu. Ketidak hadiran terdakwa tanpa alasan yang sah,
dapat menyebabkan ketua sidang memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan
terdakwa secara paksa (pasal 154 ayat 6 KUHAP).
Ketentuan
tersebut diatas hanya berlaku jika terdakwa hanya seorang saja tetapi jika
terdakwanya terdiri dari beberapa orang dan tidak semua terdakwa hadir pada
hari sidang, maka pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan
(pasal 154 ayat 5 KUHAP). Begitu juga halnya dalam penjatuhan putusan, dapat
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang
ada (pasal 196 ayat 2 KUHAP), bahkan berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan putusan yang diucapkan tersebut
mengikat dan berkekuatan hukum terhadap terdakwa yang tidak hadir. Hal itu,
ditegaskan di dalam penjelasan pasal 196 ayat 2 KUHAP, dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan terdakwa yang hadir dan menjamin kepastian hukum secara
keseluruhan dalam perkara yang bersangkutan.
Pemeriksaan
di luar hadirnya terdakwa, lazim disebut in
absentia. Perkataan in absentia
berasal dari bahasa latin berarti tidak hadir, dalam bahasa Perancis disebut absentia dan dalam bahasa Inggris absent atau absentie. Istilah in absentia
secara yuridis formal mulai dipergunakan dengan keluarnya Undang-Undang No.
11/PNPS/1963, tercantum di dalam pasal 11 berbunyi in absensia, namun sebelum itu dalam persidangan Tindak Pidana
Ekonomi telah lazim dipergunakan mengacu kepada pasal 16 ayat 1 dan 2
Undang-Undang No. 7 Tahun 1955 jo. Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 1962,
tetapi tuntutan dan putusan Pengadilan hanya terbatas untuk perampasan terhadap
barang-barang yang disita, tidak menghukum terdakwa.
Meskipun
ketentuan ini hanya dikenal di dalam proses penuntutan, baik di dalam pasal 23
Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
telah duganti dengan pasal 38 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
No. 20 tahun 2001, pasal 36 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 maupun pasal 35
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak
berarti tidak dapat dilakukan penyidikan secara in absentia. Penyidikan secara in
absentia dapat dilakukan sepanjang telah dipenuhi syarat pemanggilan
terhadap tersangka secara sah atau patut, mengacu kepada syarat pemanggilan
dalam proses pemeriksaan di depan persidangan.
Di dalam pasal 145 ayat 1 s/d 5 KUHAP dinyatakan panggilan tersebut sah :
1. Apabila surat panggilan
tersebut disampaikan di alamat tempat tinggal terdakwa (tersangka bilamana
dalam proses penyidikan), jika daerah tempat tinggalnya tidak diketahui
disampaikan di tempat kediamannya terakhir.
2. Jika ketentuan butir 1 tidak
dapat dipenuhi, maka disampaikan melalui Kepala Desa di kedua tempat tersebut.
3. Jika terdakwa (tersangka
bilamana dalam proses penyidikan) di dalam tahanan disampaikan melalui pejabat
Rumah Tahanan Negara.
4. Penerimaan surat panggilan
tersebut, baik oleh terdakwa (tersangka bilamana dalam proses penyidikan) sendiri
atau orang lain atau melalui orang lain dibuatkan tanda terima.
5. Apabila tempat tinggalnya
tidak dikenal untuk perkara dalam proses penuntutan ditempelkan di papan
pengumuman Pengadilan, yang berwenang mengadilinya, sedangkan dalam proses
penyidikan untuk memudahkan seyogianya pemanggilan dapat dilakukan melalui
media cetak nasional dan lokal
Sesuai dengan ketentuan pasal 146 KUHAP tenggang waktu pemanggilan 3 hari
(dalam penyidikan tenggang waktu tersebut tidak diatur), sedangkan ketentuan mengenai
jumlah pemangilan di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak diatur,
tetapi di dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun
2003 diatur minimal 3 kali.
Persidangan in absentia ini
sebenarnya mengacu kepada prinsip bahwa Pengadilan tidak boleh menolak
menyidangkan suatu perkara dan hal tersebut secara tersurat ditegaskan oleh
pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
undang-undang sebelumnya.
Tujuannya jika di dalam perkara Tindak Pidana Korupsi adalah untuk
mengembalikan kerugian negara dengan menyatakan barang bukti atau harta benda
milik tersangka dirampas untuk negara, sedangkan di dalam perkara Tindak Pidana
Pencucian uang agar pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan Pencucian uang
dapat berjalan lancar. Di dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang
Perikanan alasan persidangan in absentia tidak dijelaskan, namun hakekatnya hal
tersebut diatur terkait dengan barang bukti berupa kapal, perlengkapannya serta
hasil tangkapan ikan yang dapat dituntut dan diputus dirampas untuk negara.
Prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut KUHAP dalah melarang
pemeriksaan di luar hadirnya terdakwa, namun ketentuan ini tidak berlaku
terhadap Tindak Pidana Korupsi, begitu juga halnya terhadap tindak pidana Pencucian
Uang dan tindak pidana perikanan dengan keluarnya Undang-Undang No. 31 tahun
2004.
Putusan yang dijatuhkan diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman
pengadilan, kantor Pemerintah daerah atau diberitahukan kepada kuasanya.
Dalam
persidangan in absentia dan terhadap
putusan in absentia tidak dapat
dihadiri oleh Penasehat Hukum dan dimintakan upaya hukum, mengacu kepada Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tanggal 10 Desember 1988 yang memberi
petunjuk kepada Ketua Pengadilan Tinggi/Negeri seluruh Indonesia, untuk menolak
Penasehat Hukum atau Pengacara yang diberi kuasa oleh terdakwa dalam sidang in absentia untuk mewakili atau megurus
kepentingannya.
Pada saat
menyiapkan surat dakwaan atau setidak-tidaknya pada saat pelimpahan perkara ke
Pengadilan, Penuntut Umum telah menginventarisasikan kemungkinan adanya
keberatan (eksepsi) yang diajukan oleh terdakwa/penasehat hukum dengan
menyiapkan pendapat atas keberatan tersebut.
Penuntut
Umum wajib menyampaikan pendapat setelah keberatan (eksepsi) diajukan oleh
terdakwa/penasehat hukum, dengan berpegang kepada alasan-alasan yang menjadi
dasar keberatan (eksepsi) sesungguhnya, sebagaimana yang diatur di dalam pasal
156 ayat 1 KUHAP seperti telah dikemukakan pada bab II di atas.
Jika
Pengadilan menyatakan tidak berwenang untuk mengadili sesuatu perkara
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 148 KUHAP atau dakwaan tidak dapat diterima
atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka Penuntut Umum dapat mengajukan
perlawanan dalam waktu 7 hari setelah menerima penetapan ke Pengadilan Tinggi
(pasal 149 KUHAP)
Apabila
persidangan dilanjutkan karena Pengadilan menolak keberatan terdakwa/penasehat
hukum, maka atas perintah Ketua Majelis Hakim saksi atau ahli dapat dihadapkan
oleh Penuntut Umum.
Dalam hal
saksi atau saksi ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau
berjanji sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang, Hakim dengan surat
penetapannya dapat memerintahkan untuk menyandera yang bersangkutan di RUTAN
(pasal 161 ayat 1 KUHAP).
Penetapan
Hakim tersebut dilaksanakan oleh Penuntut Umum, bila dianggap perlu
pengawalannya diminta bantuan Polri.
Apabila
Hakim meragukan keterangan saksi dan Hakim beranggapan saksi memberikan
keterangan palsu, maka Hakim dapat memerintahkan penahanan saksi tersebut dan
memerintahkan untuk meriksanya sebagai tersangka dengan dakwaan sumpah palsu
(pasal 174 KUHAP).
Pemeriksaan
dapat dilakukan oleh penyidik, atau langsung dimuka sidang sesuai dengan
kasusnya. Tata cara dan pelaksanaannya telah dijabarkan dalam pedoman KUHAP.
Di dalam
sidang, Penuntut Umum wajib tangkas, sopan, tertib dan dapat mengendalikan
emosi dan tidak terpengaruh/terpancing oleh sikap dan ucapan pembela serta
turut memelihara wibawa sidang.
Pertanyaan
yang diajukan Penuntut Umum hendaklah berfungsi sebagai alat yang memperkokoh
kebenaran surat dakwaan atau alat penyanggah atas setiap dalil yang mengingkari
surat dakwaan.
Penuntut
Umum wajib secara aktif berusaha dalam membuktikan kebenaran surat dakwaan
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terarah kepada saksi dan terdakwa
dan secara cermat mencatat pertanyaan-pertanyaan pembela untuk persiapan/bahan
bantahan serta mencatat tanya jawab pembela dengan saksi-saksi/terdakwa guna
mengamankan keberhasilan dakwaan.
Keberhasilan
dakwaan tergantung kepada pembuktian kebenaran yang berasal dari fakta-fakta
yang terungkap dalam persidangan dan yang ada kaitannya dengan alat bukti dan
barang bukti serta persesuaian fakta dan upaya pembuktian dengan unsur-unsur
delik yang didakwakan. Karena itu Penuntut Umum harus benar-benar mampu
membuktikan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa dan harus dipertanggungjawabkan kepada terdakwa.
Dalam hal di
dapat dalam persidangan bahwa terhadap suatu barang perlu diadakan penyitaan,
maka Hakim dapat mengeluarkan surat penetapan untuk melakukan penyitaan.
Mengingat
penyitaan merupakan tindakan penyidik (pasal 1 butir 16 KUHAP), maka Penuntut
Umum harus meneruskan perintah penyitaan itu untuk dilaksanakan oleh Penyidik.
Penuntut
Umum wajib mengembalikan terdakwa ketempat tahanan semula dengan pengawalan
secukupnya oleh Polri apabila sidang ditunda, sedang barang bukti disimpan
kembali ketempatnya dengan penuh rasa tanggung jawab
Apabila
Penuntut Umum berhalangan menghadiri sidang, ia wajib melaporkannya kepada
Kepala Kepala Kejaksaan Negeri dan menyerahkan berkas perkara, barang bukti dan
memberitahukan perkembangan persidangannya.
Untuk
menghindari penundaan sidang, Kepala Kejaksaan Negeri menunjuk Penuntut Umum
lain sebagai pengganti sesuai dengan pasal 198 ayat 1 KUHAP.
Apabila
pihak yang dirugikan meminta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana
yang dalam surat dakwaan Penuntut Umum tersimpul adanya kerugian yang diderita
pemohon dan pengadilan menyatakan dirinya berwenang mengadili gugatan tersebut,
maka Penuntut Umum hendaklah sejauh mungkin mempertimbangkan dalam tuntutan
hukumnya.
Apabila
pemeriksaan/sidang dinyatakan selesai, maka Penuntut Umum mengajukan tuntutan
pidana (pasal 182 KUHAP). Sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan, hendaklah
telah diketahui keadaan/kemampuan terdakwa untuk membayar biaya perkara.
Tuntutan
pidana bentuk dan susunannya tidak diatur di dalam KUHAP, maka secara internal
sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung RI
No. KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan
Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-132/J.A/11/1994 tanggal 7 Nopember 1994
tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang menggantikan Keputusan Jaksa
Agung RI No. KEP-094/J.A/10/1985 tanggal 8 Oktober 1985 tentang Perubahan dan
Penambahan Bab II Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-023/J.A/3/1982 tanggal 24
Maret 1982 tentang Adiministrasi Perkara, yang memuat :
1. Pendahuluan.
Bagian ini merupakan pengantar secara
singkat dari tuntutan pidana yang memuat juga identitas lengkap dari terdakwa.
2. Surat Dakwaan.
Bagian ini menguraikan kembali secara
utuh surat dakwaan penuntut umum.
3. Fakta-fakta persidangan.
Bagian ini memuat berturut-turut alat
bukti berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, surat-surat, petunjuk,
keterangan terdakwa dan memuat juga barang bukti yang diajukan ke depan
persidangan.
4. Pembuktian.
Bagian ini merupakan analisa fakta dan
analisa yuridis yang menggambarkan alasan-alasan hukum dari alat bukti yang
diajukan ke depan persidangan dihubungkan dengan unsur-unsur pasal yang
didakwakan.
5. Kesimpulan.
Bagian ini memuat tentang faktor-faktor
memberatkan dan meringankan yang dijadikan pertimbangan oleh Penuntut Umum dan
memuat tentang pernyataan, permintaan dan penegasan dari Penuntut Umum tentang
kualifikasi delik yang dibuktikan, tentang hukuman, biaya perkara serta status
barang bukti dan status tahanan terdakwa.
6. Penutup.
Bagian ini memuat selain tentang
harapan dari Penuntut Umum agar Pengadilan mengabulkan tuntutan pidananya dan
ucapan terima kasih kepada berbagai pihak atas kelancaran jalannya persidangan.
Tuntutan
tentang permintaan penjatuhan pidana/hukuman hendaklah setimpal dengan
kesalahan terdakwa dan mempunyai dampak menjerakan disamping memenuhi aspirasi
serta rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian pemidanaan diharapkan akan
menyerahkan terpidana dan memiliki daya tangkal bagi masyarakat yang mempunyai
potensi untuk menjadi pelaku pidana.
Terhadap
pembelaan (pledoi) yang disampaikan oleh terdakwa dan/atau penasehat hukumnya,
Penuntut Umum harus menyampaikan jawaban (replik) dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Isi jawaban (replik) tersebut hendaklah mencerminkan dan
menjadi sarana penguat sikap terhadap surat dakwaan, tuntutan pidana serta
sekaligus digunakan menjadi penyanggah atas dalil-dalil yang dikemukakan oleh
terdakwa/ penasehat hukum.
Tuntutan
pidana, pembelaan serta jawaban Penuntut Umum atau terdakwa/penasehat hukum
disusun dalam bentuk tertulis. Setelah dibacakan, diserahkan kepada Hakim Ketua
Sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan (Penuntut
Umum/terdakwa/penasehat hukum).
Setelah
Hakim Ketua Sidang menyatakan pemeriksaan ditutup, masih ada kemungkinan Hakim
Ketua membuka kembali persidangan atas kewenangannya karena jabatan, atau atas
permintaan Penuntut Umum, atau atas permintaan terdakwa/penasehat hukumnya,
dengan maksud untuk menampung data tambahan sebagai bahan untuk musyawarah
hakim. Untuk hal ini perhatikan pedoman pelaksanaan KUHAP.
Setelah
putusan Pengadilan diucapkan dan setelah sidang selesai jika Penuntut Umum
menolak, maka hendaklah memperhatikan tenggang waktu untuk berpikir belum
terlampaui atau digunakan upaya hukum maka keputusan tersebut belum memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.
Putusan
Pengadilan baru mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila tenggang waktu untuk
berpikir telah terlampaui, yaitu 7 hari setelah putusan Pengadilan tingkat
pertama dan 14 hari setelah putusan tingkat banding.
Terdakwa
atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama dan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi, kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang
tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat (pasal 67
KUHAP), hanya dapat dimintakan kasasi jika putusan tersebut putusan bebas tidak
murni mengacu kepada Yurisprudensi tetap.
Dalam
menggunakan upaya hukum banding ini, supaya diperhatikan tenggang waktu 7 hari
untuk mengajukan banding dengan memenuhi segala syarat-syarat yang ditentukan
di dalam pasal 233 jo 240 KUHAP, sedangkan memori banding tidak ditentukan
secara limitatif batas waktu penyerahannya, berbeda dengan kasasi, tenggang
waktu berpikirnya ditentukan selama 14 hari dan penyerahan memori kasasi selama
14 hari sejak diajukannya kasasi ke Panitera Pengadilan (pasal 245 ayat 1 jo
pasal 248 ayat 1 KUHAP).
Pembuatan
kontra memori banding walaupun tidak diwajibkan oleh undang-undang, namun
karena fungsinya sebagai alat penguat sikap, dan tuntutan Penuntut Umum serta
alat penyanggah atas setiap dalil yang bertentangan dengan surat dakwaan dan
tuntutan, maka harus disiapkan sebaik mungkin, berbeda dengan kasasi, maka
memori kasasi merupakan kewajiban.
Dalam tindak pidana perikanan ada kekhususan yang belum diatur di
undang-undang lain seperti undang-undang Tindak Pidana Korupsi atau Pencucian
Uang. Dalam pasal 105 ayat 2 Undang-Undang No. 31 tahun 2004 diatur tentang
pemberian insentif terhadap aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan
tugas dengan baik serta pihak-pihak yang berjasa dalam upaya menyelamatkan
kekayaan negara, dan ketentuan lebih lanjut tentang hal itu diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Mengingat pasal 105 ayat 2 undang-undang
ini tidak menjelaskan menteri yang dimaksud, seyogianya mekanisme ini diatur
dengan peraturan pemerintah agar tidak rancu dikemudian hari karena pelaksanaan
putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tersebut adalah Jaksa,
sedangkan uang denda dan hasil pelelangan barang bukti yang dirampas untuk
negara tersebut diserahkan ke rekening Kejaksaan di bawah kewenangan Menteri
Keuangan.
Seharusnya pengaturan intensif tersebut pembuat undang-undang, tidak
hanya diberikan terhadap Tindak Pidana Perikanan saja, tetapi diberikan juga
dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi.
Dalam
praktek selama ini terhadap perkara tindak pidana korupsi dan perikanan oleh
Jaksa Agung telah digariskan agar terhadap terdakwa dilakukan tuntutan pidana tinggi,
baik berupa pidana badan maupun denda, agar tuntutan tersebut dapat menimbulkan
efek jera dan daya tangkal dan disamping itu terhadap barang bukti yang
diajukan ke persidangan dituntut dirampas untuk negara, namun tidak semua
terdakwa dapat menerima putusan pengadilan yang menjatuhkan putusan pidana
badan dan denda serta menyatakan barang bukti tersebut dirampas untuk negara,
sehingga harus menunggu cukup lama putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga membuat
pelaksanaan pelelangan terhadap barang bukti tersebut turut juga memakan waktu
yang relatif cukup lama.
Hukum Acara Pidana Indonesia mengatur
sistem pembuktian yang Negatief Wettelijk
Stelsel, artinya hakim di dalam memutus suatu perkara berdasarkan alat
bukti yang sah dan ia berkeyakinan atas alat bukti tersebut (pasal 183 jo.
pasal 184 ayat 1 KUHAP).
Keyakinan Hakim terhadap 2 alat bukti
yang sah tersebut mengandung 3 syarat, pertama, benar bahwa perbuatan terdakwa
telah memenuhi unsur delik, kedua, benar terdakwa adalah pelakunya, baik secara
individu, penyertaan maupun pembantuan, dan ketiga, tidak ada alasan yang dapat
menghapus pidana terhadap diri terdakwa.
Dalam upaya untuk dapat menjangkau
berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah
hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk
melepaskan dirinya dari jeratan hukum, maka dalam UU No. 31 tahun 1999 jo UU
No. 20 tahun 2001 telah diperbaharui metodanya dengan menetapkan tindak pidana
korupsi sebagai delkik formil dan dengan cara memperluas pengertian alat bukti
petunjuk yang lazim diberlakukan dalam KUHAP, diperoleh dari keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa. Pengertian petunjuk terhadap tindak pidana
korupsi, tidak saja berdasarkan pengertian alat bukti petunjuk dalam KUHAP,
tetapi berdasarkan pasal 26A Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, diperluas dan dapat diperoleh dari :
a. alat
bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen,
yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau
didengar yang dpat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.
Disamping itu, rezim hukum pidana
Indonesia mengenal adanya asas legalitas (azas
nullum crimen sine lege). Terkait asas legalitas pengertiannya diperluas
oleh Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak saja telah menyatakan dengan
tegas bahwa tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tetapi telah menegaskan
pengertian melawan hukum suatu tindak pidana korupsi dalam arti formil dan
materiil.
Dikatakan sebagai delik formil bahwa
suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, jika perbuatan tersebut
telah memenuhi rumusan delik, tanpa harus menimbulkan akibat, jadi meskipun
hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, tidak menghapus sifat melawan
hukum perbuatannya dan si pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
pengadilan dan dipidana.
Sedangkan
yang dimaksud dengan pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil,
perbuatan tersebut tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, tetapi juga merupakan perbuatan tercela, bertentangan dengan
perasaan keadilan masyarakat, sebagaimana telah dirumuskan dalam Penjelasan
Umum :
“Bahwa
suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, dalam pengertian formil dan materiil,
bilamana tindak pidana korupsi tersebut mencakup perbuatan-perbuatan tercela
yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”.
Lebih lanjut
di dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 dinyatakan :
“Yang dimaksud dengan
‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”
Pertimbangan
pembuat undang-undang mencantumkan unsur
melawan hukum dalam pengertian formil maupun materiil di dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tersebut, antara
lain :
Pertama, mengingat korupsi terjadi secara sistimatis dan meluas, tidak
hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas,
sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime, maka pemberantasannya
harus dilakukan dengan cara yang luar biasa.
Kedua, dampak dari tindak pidana korupsi
selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efesiensi
tinggi.
Ketiga, dalam upaya merespon perkembangan
kebutuhan hukum didalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan didalam
pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan
keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih (sophisticated)
dan rumit.
Perluasan
pengertian sifat melawan hukum materiil diatas expressisverbis merupakan
perluasan dari azas legalitas dalam Buku I KUHP.
Pertimbangan pembuat Undang-undang
tersebut di atas, nampaknya sejalan dengan perluasan perumusan asas legalitas
sebagaimana yang dianut dalam rancangan KUHP yang baru. KUHP baru yang
direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan mono-dualistik.
Pandangan mono-dualistik ini biasa dikenal dengan istilah “daad-dader strafrecht”, yaitu hukum pidana tidak saja memperhatikan
segi-segi obyektif dari “perbuatan” (daad),
tetapi juga segi-segi subyektif dari “orang/pembuat” (dader).
Konsep KUHP memperluas ajaran sifat
melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil tersebut, merupakan bentuk
pengakuan terhadap eksistensi berlakunya hukum yang hidup (hukum tidak
tertulis/hukum adat) sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang
perbuatannya itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam Undang-undang.
Konsep perluasan asas legalitas ini dirumuskan dalam pasal 11 angka 2 yang
menyatakan :
“untuk dinyatakan
sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana
oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat”,
dan
pasal
12 yang menyatakan :
“dalam
mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan
keadilan di atas kepastian hukum”
Perluasan perumusan asas legalitas ini
pun tidak dapat dilepaskan dari pokok pemikiran untuk mewujudkan dan sekaligus
menjamin asas keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat, dan antara kepastian hukum dengan keadilan.
Dengan perluasan perumusan asas
legalitas dalam konsep diatas, maka batas-batas tindak pidana juga diperluas,
yang tidak hanya didasarkan pada kriteria formal menurut undang-undang, tetapi
juga kriteria materiil menurut hukum yang hidup. Alur pemikiran yang demikian
dilanjutkan dengan menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan hukum materiil.
Dengan penegasan tersebut, maka sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak dari
tindak pidana.
Dengan berlandaskan penggolongan sifat
melawan hukum yang demikian ini, maka pembuktian tentang melawan hukum dalam
perkara tindak pidana korupsi, akan menjadi lebih mudah, karena dalam
pembuktian suatu tindak pidana, unsur melawan hukum bersifat esensial.
Menurut
Sudarto memasukan unsur melawan hukum dalam pengertian materiil, selain dalam
pengertian formil di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, maka aturan ini
ada manfaatnya, kalau tidak, arti melawan hukum adalah bertentangan dengan
Undang-Undang, sesuai dengan pandangan formil, maka sama saja tidak ada
kemajuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, adalah pendapat Indriyanto Seno
Adji yang menyatakan, bahwa penerapan unsur melawan hukum materiil dalam
Undang-Undang tersebut, akan menimbulkan rasa keadilan, justru harus dijunjung
tinggi, karena ajaran perbuatan melawan hukum materiil …… dimaksudkan untuk
menjaring pelaku-pelaku yang dipandang koruptif, tetapi tidak terjangkau atau
tidak ada pengaturannya di dalam KUHP atau Undang-Undang (kursif penulis).
Oleh karena itu memasukkan unsur
melawan hukum dalam pengertian materiil, selain di dalam pengertian formil amat
besar pengaruhnya di dalam pembuktian, karena memudahkan bagi penegak hukum
menjerat para koruptor. Penerapan unsur melawan hukum materiil dalam UU Tindak
Pidana Korupsi, akan menimbulkan rasa keadilan dan kepastian hukum.
Pandangan memperluas pengertian ajaran
sifat melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil tersebut sudah sejak
lama diterapkan oleh Mahkamah Agung, dan hal itu terlihat dalam Putusannya
Pengertian
azas kepastian hukum, azas kepentingan umum, azas keterbukaan, azas
proporsionalitas, azas profesionalitas, azas akuntabilitas, azas efesiensi dan
efektifitas yang selama ini oleh sebagian besar kalangan penegak hukum
dipandang sejalan dengan maksud melawan hukum materiil yang dianut oleh UU No.
31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jadi meskipun putusan Yudicial Review Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal
25 Juli 2006 bersifat final dan mengikat telah menyatakan pengertian melawan
hukum materiil dalam penjelasan pasal 2 sebagai perbuatan yang dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana, dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, akan tetapi tetap saja perluasan pengertian
melawan hukum tersebut kemungkinan besar diterapkan oleh Penuntut Umum,
sepanjang Mahkamah Agung RI masih mengakomodir pemahaman tersebut di dalam
berbagai putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi, seperti halnya pernah
diterapkan oleh Mahkamah Agung RI dalam putusannya tanggal 8 Januari 1966 Nomor
: 42 K /Kr/1965 dalam perkara MACHROES EFFENDI, Kasus penyalahgunaan DO Gula
(dalam fungsi yang negatif), kemudian dalam putusan Mahkamah Agung RI tanggal
15 Desember 1983 Nomor : 275/K/Pid/1982 dalam perkara ENDANG WIJAYA, Kasus
korupsi di Bank Bumi Daya dan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Desember 1983
Nomor : 275/K/Pid/1983 dalam perkara R.S. NATALEGAWA (dalam fungsi yang
positif), sebelum keluarnya UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001.
Sebenarnya
pertimbangan para pembuat undang-undang menetapkan unsur melawan hukum dalam
pengertian formil dan materiil di dalam pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 karena perbuatan
korupsi dipandang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas yang dilakukan secara sistematis, sehingga tindak pidana korupsi
digolongkan sebagai extraordinary crime.
Oleh karena itu pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa pula (extraordinary counter measure) dan
metoda pembuktian yang selama ini dianut dipandang konvensional, maka
diperlukan terobosan-terobosan, disamping memperluas pengertian melawan hukum
dalam pengertian formil dan materiil dan juga menyatakan tindak pidana korupsi
sebagai delik formil serta memperluas juga pengertian alat bukti petunjuk, tidak
hanya terbatas yang dapat diperoleh dari keterangan saksi, terdakwa dan surat
(pasal 188 KUHAP), tetapi meliputi juga pengertian alat
bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca
dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna
(pasal 26 A Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Strategi yang lain untuk memberantas
korupsi adalah berupa deskresi yang
diberikan kepada Undang-undang untuk menghukum berat para pelaku tindak pidana
korupsi dalam beberapa pasal tertentu diatur juga pidana minimal dengan ancaman
paling rendah 1 (satu) tahun, secara kasuistis terhadap pelaku tindak pidana
korupsi dapat juga dituntut hukuman mati, bilamana perbuatannya memenuhi
kriteria pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penjelasannya yang berbunyi “…apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi”.
Penanggulangan tindak pidana korupsi
tidak dapat dilepaskan dari aturan normatif, sumber daya manusia pendukungnya
dan manajemen. Rapat Koordinasi Pengawasan Tingkat
Nasional di Bali pada bulan Desember 2002 yang telah sepakat mengelompokkan
hambatan dalam penanganan tindak pidana korupsi menjadi :
a.
Hambatan
Struktural, yaitu hambatan yang telah berlangsung lama yang
bersumber dari praktek-praktek penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang
membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : rendahnya "gaji
formal" PNS; egoisme sektoral dan institusional yang menjurus pada
pengajuan dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansinya tanpa
memperhatikan kebutuhan nasional secara keseluruhan serta berupaya
menutup-nutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi
yang bersangkutan; belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif;
lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; serta
lemahnya sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi positif dengan
berbagai penyimpangan dan inefisiensi dalam pengelolaan kekayaan negara dan
rendahnya kualitas pelayanan publik.
b.
Hambatan
Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan
negatif yang berkembang di masyarakat yang membuat penanganan tindak pidana
korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini
diantaranya meliputi: masih adanya
"sikap sungkan" diantara aparatur pemerintah yang dapat menghambat
penanganan tindak pidana korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga
terkesan melindungi pelaku korupsi, campur tangan eksekutif, legislatif dan
yudikatif dalam penanganan korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani korupsi
secara tegas dan tuntas, serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar
masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi.
c.
Hambatan
Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari
kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang
membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : masih banyaknya
peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga menombulkan tindakan
koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan instansi pemerintah; belum
adanya "single identification number"
atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM,
pajak bank, dll.) yang mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap
anggota masyarakat; lemahnya penegakan hukum penanganan korupsi; belum adanya
sanksi yang tegas bagi aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; sulitnya
pembuktian terhadap tindak pidana korupsi, serta lambatnya proses penanganan
korupsi sampai dengan penjatuhan hukuman.
Berdasarkan
Kajian dan Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan yang Berpeluang KKN
periode 1999 sampai dengan 2003 oleh Kementerian PAN disimpulkan bahwa
peraturan perundang-undangan yang mengandung celah KKN adalah rumusan
pasal-pasalnya ambivalen dan multi interpretasi serta tidak adanya sanksi yang
tegas (multi interpretasi) terhadap pelanggar peraturan perundang-undangan.
d.
Hambatan
Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya
atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik yang membuat
penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang
termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : kurang komitmennya manajemen
(Pemerintah) dalam menindaklanjuti hasil pengawasan; lemahnya koordinasi baik
diantara aparat pengawasan maupun antara aparat pengawasan dan aparat penegak
hukum; kurangnya dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan; tidak independennya organisasi pengawasan; kurang profesionalnya
sebagian besar aparat pengawasan; serta kurang adanya dukungan sistem dan
prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi.
Mengacu kepada pendapat L.M. Friedman
terkait dengan sistem hukum yang tersusun dari sub-sub sistem hukum, yang terdiri dari substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum, sulitnya
memberantas korupsi, karena terkait kepada ketiga faktor tersebut, antara lain
:
a.
Substansi hukum
-
Tumpang tindih dan inkonsistensi
peraturan perundangan.
-
Implementasi undang-undang terhambat
peraturan pelaksananya.
-
Tidak adanya Perjanjian Ekstradisi dan
Mutual Legal Assistance (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik antara pemerintah
dengan negara yang berpotensi sebagai tempat pelarian khususnya pelaku tindak
pidana korupsi dan pelaku tindak pidana lainnya.
b.
Struktur hukum
-
Kurangnya independensi kelembagaan
hukum.
-
Pengaturan akuntabilitas kelembagaan
hukum dilakukan tidak dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana ia
harus bertanggung jawab.
-
Kurangnya kualitas sumber daya manusia
di bidang hukum, baik peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan
maupun penegak hukum.
-
Sistem peradilan yang tidak transparan
dan terbuka.
c.
Budaya hukum
-
Timbulnya degradasi budaya hukum di
lingkungan masyarakat.
-
Menurunnya kesadaran akan hak dan
kewajiban hukum masyarakat.
Disamping ketiga faktor tersebut,
terkait erat dengan penegakan hukum dalam praktek sering dijumpai kendala yang
tidak kecil, seperti :
1)
Modus operandinya canggih (sophisticated)
2)
Subyek hukumnya/pelaku dilindungi
korps, atasan atau teman-temannya
3)
Obyeknya rumit (complicated)
4)
Sulitnya menghimpun bukti permulaan.
5)
Sumber Daya Manusia belum profesional
dan spesialisasi.
6)
Masih terdapatnya perbedaan persepsi
dan interprestasi di dalam penerapan hukumnya.
7)
Sarana dan Prasarana yang belum
memadai.
8)
Adanya ancaman dan gangguan terhadap
aparat penegak hukum, seperti teror, pengrusakan gedung kantor dan rumah dinas,
unjuk rasa dan penembakan.
Terlepas dari pro dan kontra mengenai
penyebab dan upaya pemberantasannya, perlu dicermati pendapat Barda Nawawi Arief yang mengatakan
bahwa strategi dalam pemberantasan korupsi, bukan pada pemberantasan korupsi
itu sendiri melainkan pemberantasan “kausa dan kondisi yang menimbulkan
terjadinya korupsi”, pemberantasan korupsi lewat penegakan hukum pidana hanya
merupakan pemberantasan siptomatik, sedangkan pemberantasan kausa dan
kondisi yang menimbulkan terjadinya korupsi merupakan pemberantasan kausatif. Sejalan dengan pendapat Barda Nawawi Arief, Soedjono Dirdjosisworo yang
menyatakan bahwa pendekatan dalam mengembangkan hukum yang dikemas untuk
menanggulangi kejahatan termasuk tindak
pidana korupsi, (kursif penulis) adalah pendekatan totalitas dan
integralitas.
Yang dimaksud dengan pendekatan
totalitas dan integralitas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut,
adalah pendekatan sistem (systemic approach). Indriyanto Seno Adji
mengatakan bahwa ”Khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi, harus
dilakukan dengan pendekatan sistem itu sendiri atau dikenal dengan istilah “systemic
approach”, apalagi bila
pendekatan sistem ini dikaitkan dengan peranan institusi peradilan yang sangat
menentukan sebagai salah satu institusi penegakan hukum dalam proses akhir
pemberantasan korupsi.”
Lebih jauh dikatakan bahwa sistem
ditelaah sebagai suatu kesatuan yang meliputi tindakan re-evaluasi, reposisi
dan pembaharuan (reformasi) terhadap struktur (structure), substansi (substance) hukum dan budaya hukum (legal culture). Keterpaduan (“integrated”)
dari sistem hukum tersebut itu selayaknya dilakukan secara simultan, integral,
dan paralel. Pertama,
dari segi structure yang meliputi perbaikan segala kelembagaan atau
organ-organ yang menyelenggarakan peradilan sehingga terdapat minimalisasi
terjadinya KKN (tanpa harus mengembangkan struktur organisasi pemerintahan,
kursif penulis). Kedua,
substance yang menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat
peraturan dan ketentuan normative (legal
reform), pola dan kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem
hukum tersebut. Ketiga,
legal culture (budaya hukum) merupakan aspek signifikan yang melihat
bagaimana masyarakat menganggap ketentuan sebagai civic-minded sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar pentingnya
hukum sebagai suatu regulasi hukum. Budaya hukum ini berkaitan erat dengan soal
etika dan moral masyarakat dan pejabat penegak hukum dalam mensikapi KKN.
Seluruh institusi sistem peradilan pidana,
termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk
melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya
kejahatan termasuk dalam hal ini tindak pidana korupsi. Meski demikian, menilik
tugas dan wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan seyogianya mendapat
perhatian sungguh-sungguh dan untuk itu diperlukan diteksi dan cegah dini ke
berbagai stakeholders.
KUHAP merupakan salah satu produk legislasi
nasional bangsa Indonesia, walau belakangan ini muncul kelemahan-kelemahannya
karena dinamika yang berkembang di dalam proses peradilan pidana, namun dengan
pengaturan secara khusus berbagai substansi acara yang diatur di dalam UU No.
31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi diharapkan
tujuan dari sistem peradilan pidana di dalam menanggulangi tindak pidana
korupsi dapat tercapai.
DAFTAR BACAAN
Abdul
Rahman Saleh, Kebijakan dan Strategi Dalam Penegakan Hukum di Bidang
Penuntutan, Makalah, disampaikan pada Pembekalan Apel Kasatwil Kepolisian RI
tanggal 16 Februari 2005 di Akademi Kepolisian Semarang.
Barda
Nawawi Arief, Strategi Kebijakan Nasional dalam Pemberantasan Korupsi di
Indonesia dan Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Makalah, 30 Juli 1998.
..........................,
Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. Kedua,2002.
Friedman,
Lawrence Meir, The Legal System; A Social Science Perspective, New York, Russel
Sage Foundation, 1975.
Indriyanto
Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara & Konsultan
Hukum Prof. Seno Adji, SH., dan rekan, cet ke-II.
..........................,
Problematika
Korupsi & Antisipasinya Melalui Sistem Hukum (Pidana), dalam Media Hukum, Vol. 2 No. 8 tanggal 22 Nopember 2003, Persatuan
Jaksa RI, Jakarta, 2003.
Mannheim,
Herman, Criminal Justice and Social
Reconstruction, New York, Oxford University, 1946.
Mardjono
Reksodiputro, “Menuju pada Satu Kebijakan
Kriminal” dalam HAM dalam Sistem
Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Hukum dan Keadilan, Jakarta, 1993, hal.
96.
Soedjono
Dirdjosisworo, Respon Terhadap
Kejahatan, Introduksi Hukum Pemberantasan Kejahatan, Introduction To the Law of
Crime Prevention, Sekolah Tinggi Hukum Bandung Press, Bandung, 2002.
UU No. 31 tahun 1999 tentang jo UU No. 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
Instruksi
Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : INS – 006/J.A/7/1986 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Administrasi Tehnis Yustisial Perkara Pidana Umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar