Senin, 25 Agustus 2014

Mahkota Jaksa Penuntut Umum (Yurisprudensi Surat Dakwaan)

Yurisprudensi Terpenting Mengenai
Surat Dakwaan


                                                                            Arrest HR : Putusan Hoge Raad

MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia



·   Arrest HR  tanggal 15 Februari 1932 (NJ.1932 hal.289)
*  “Terdakwa yang mengendarai mobil pada malam hari tidak pakai lampu dan tidak punya surat izin mengemudi maka telah melakukan 2 perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri, terpisah dengan yang lain (concurcus realis / Meerdaadse Samenloop) ex. Pasal 65 KUHP”. Pertimbangan hukumnya adalah sebagai berikut :
a.       Menjalankan kendaraan dalam keadaan mabuk adalah disebabkan keadaan si pengemudi. Mengendarainya tanpa lampu disebabkan keadaan kendaraan.
b.      Perbuatan-perbuatan tersebut dapat dipikirkan terlepas satu sama lain sehingga merupakan pelanggaran (perbuatan) yang berdiri sendiri-sendiri.
c.       Perbuatan yang satu bukan ditimbulkan atau sebagai akibat perbuatan lain. 
d.      Walaupun terjadinya perbuatan-perbuatan itu pada waktu yang sama, namun kedua perbuatan itu dapat terjadi pada waktu-waktu yang berlainan sehingga akan dituntut sendiri-sendiri.
Catatan  :    Sebelum tahun 1932, perbuatan (feit) itu dilihat dari perbuatan fisik (lichamelijke daad atau lichamelijke handeling). Dianggap 1 perbuatan (feit) kalau perbuatan fisiknya 1 walaupun dengan perbuatan itu dilanggar 2 peraturan perundang-undangan. Misalnya : seorang mengendarai mobil pada malam hari tidak pakai lampu dan tidak punya surat izin mengemudi. Perbuatan (feit)-nya adalah 1 yaitu mengendarai mobil. Aturan yang dilanggar 2 yaitu mengendarai mobil pada malam hari tidak pakai lampu dan mengendarai mobil tanpa surat izin mengemudi. Hal ini diatur dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP, sehingga satu hukuman saja yang dijatuhkan(concurcus idealis / Eendaadshe Samenloop. Akan tetapi pada tahun 1932, Mahkamah Agung Belanda (Hooge Raad der Nederlanden) mengubah pendiriannya yang dituangkannya dalam putusan HR 15 Februari 1932 tersebut di atas.

·   MARI  No.133 K/Kr/1958  dan  MARI  No.606 K/Pid/1984
*  “Penggunaan istilah lapisan dakwaan adalah : pertama, kedua dan seterusnya atau kesatu, kedua dan seterusnya, primair, subsidair dan seterusnya”.

·   MARI  No.2156 K/Pid/1987 tanggal 22 September 1988
*  Bahwa putusan judex facti harus dibatalkan, karena judex facti telah memutus menyimpang dari dakwaan ;
*  Bahwa judex facti memutus terdakwa terbukti bersalah melakukan kejahatan dan melanggar Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP, sedangkan dakwaan penuntut umum berbentuk tunggal yaitu melanggar Pasal 359 dan 360 ayat (1) KUHP ;
*  Bahwa disamping itu dakwaan penuntut umum harus dinyatakan batal demi hukum, karena apabila terdakwa melanggar Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 KUHP maka dakwaan harus dibuat secara kumulatif ;
*  Bahwa apabila terdakwa didakw3a melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP, maka uraian dakwaan seharusnya “mengakibatkan luka berat”.

Catatan  :    *  Dalam kasus ini, terdakwa Alim Silalahi dengan mengendarai Bus PPD No.Pol. 7711 WT di jalan Raya Lenteng Agung – Pasar Minggu, pada hari Kamis tanggal 26 Maret 1987, karena salahnya telah menabrak sebuah sedan, sebuah sepeda motor, sebuah mini bus, sebuah Pick-up Toyota Hiace dan sebuah becak. Akibat tabrakan 2 orang meninggal dunia dan 6 orang menderita luka.
*  Penuntut umum membuat surat dakwaan dalam bentuk tunggal, yaitu melanggar Pasal 359 dan 360 (1) KUHP. Surat dakwaan demikian harus dibatalkan karena terhadap concurcus realis (gabungan beberapa perbuatan) bentuk dakwaannya tunggal.  MARI berpendapat (sesuai arrest HR 15 Februari 1931) kasus ini adalah gabungan dari dua perbuatan (2 feit) yang berdiri sendiri-sendiri (concurcus realis atau meerdaadse samenloop), oleh karena itu dakwaannya harus berbentuk kumulatif. Selain itu terdakwa yang didakwa melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP tetapi dalam surat dakwaan tersebut unsur “luka berat” tidak dicantumkan.

·   MARI  No.31/PK/Pid/1988 tanggal 25 November 1992
*  Kejaksaan menyidik perkara korupsi, yang kemudian oleh penuntut umum diajukan ke pengadilan dengan dakwaan primair : melanggar tindak pidana korupsi dan dakwaan subsidiair : melanggar tindak pidana umum (penggelapan ex. Pasal 374 KUHP).
*  Penuntut umum, Pengadilan maupun MARI (Kasasi) membuktikan dakwaan subsidiair : melanggar tindak pidana umum (penggelapan ex. Pasal 374 KUHP).
*  MARI (dalam Peninjauan Kembali), mengadili sendiri : Menyatakan batal demi hukum “Berita Acara Penyidikan” oleh Kejaksaan sepanjang mengenai dakwaan subsidiair (tindak pidana umum), beserta surat dakwaan yang didasarkan atas Berita Acara Penyidikan yang batal demi hukum tersebut.

·   MARI  No.162 K/Pid/1986 tanggal 26 September 1987
*  Surat dakwaan batal demi hukum karena Penuntut Umum tidak menyebutkan unsur “luka berat” dalam uraian dakwaannya seperti yang dimaksud dalam Pasal 360 ayat (1) KUHP ;
*  Bahwa karena sesuai dengan Pasal 143 ayat (3) KUHAP jo Pasal 143 ayat (2) sub (b) KUHAP dakwaan penuntut umum tersebut dinyatakan batal demi hukum ;
*  Bahwa walaupun dakwaan penuntut umum dinyatakan batal demi hukum, jaksa masih dapat melimpahkan perkara terdakwa ke pengadilan dengan dakwaan yang memenuhi apa yang dimaksud Pasal 143 ayat (2) sub (a) dan (b) KUHAP.

·   MARI  No.1303 K/Pid/1986 tanggal 30 Maret 1989
*  Surat dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum, karena dakwaan Jaksa kabur dimana tidak diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, hampir seluruhnya hanya berupa kutipan rumusan delik tanpa diuraikan tentang perbuatan materiil apa yang dilakukan oleh para terdakwa sebagai perwujudan unsur-unsur delik yang bersangkutan.

·   MARI  No.1289 K/Pid/1984 tanggal 26 Juni 1987
*  Ternyata dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa adalah batal demi hukum, karena terdakwa didakwa mengenai dua perbuatan/tindak pidana yang berbeda, sekaligus, yang seharusnya diajukan secara alternatif, yakni melanggar Pasal 378 KUHP atau Pasal 372 KUHP, oleh karena itu terdakwa tidak dapat dipidana berdasarkan dakwaan yang batal tersebut.

Catatan  :    Surat dakwaan kabur, karena dalam dakwaan tunggal didakwakan dua tindak pidana. Isi surat dakwaan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menguraikan tentang dakwaan tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan bagian kedua menguraikan tentang dakwaan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP), yaitu dengan menulis “Melanggar Pasal 372 Jo. 378 KUHP”.

·   MARI  No.982 K/Pid/1988 tanggal 19 September 1990
*  Surat dakwaan penuntut umum yang materinya menggabungkan dan mencampur adukkan unsur-unsur delict yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya satu sama lain, maka surat dakwaan yang demikian “batal demi hukum”. Surat dakwaan kabur (tidak jelas) karena mencampuradukkan unsur-unsur pidana dari dua ketentuan pidana yang berlainan dalam satu dakwaan. Pada dakwaan primair maupun dakwaan subsidair, masing-masing mendakwakan perbuatan yang didasarkan pada ketentuan yang berlainan.
*  Disamping itu cara menguraikannya tidak memperhatikan antara rumusan delik dengan perbuatan materiil yang didakwakan. Dalam dakwaan primair, tindak pidana yang didakwakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf (b) UU No.3 tahun 1971, padahal kejahatan-kejahatan korupsi dalam Pasal 1 ayat (1) huruf (a),(b),(c) dan (d) ini masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Demikian pula dalam dakwaan subsidair, kejahatan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP dan Pasal 415 KUHP merupakan dua kejahatan yang berlainan dan berdiri sendiri-sendiri sehingga tidak dapat didakwakan dalam satu dakwaan. Oleh karena itu surat dakwaan yang penguraiannya campur aduk seperti di atas dinyatakan batal demi hukum seluruhnya.
*  Surat dakwaan yang batal demi hukum, maka diktum putusan Hakim adalah : “Tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima” dan bukan “terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van rechtvervolging)”.
*  Tuntutan penuntut umum yang dinyatakan tidak diterima, oleh penuntut umum masih dapat mengajukan lagi penuntutan terdakwa dengan surat dakwaan baru yang disusun secara benar dan bukan ne bis in idem.  

·   MARI  No.1922 K/Pid/1987 tanggal 29 Mei 1991
*  Surat dakwaan menjadi kabur karena memberi peran ganda kepada terdakwa. Bahwa penuntut umum telah mencampuradukkan bentuk penyertaan (deelneming) ex. Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan ke-2 KUHP dalam satu surat dakwaan sehingga surat dakwaan tersebut menjadi kabur (obscuur libelle), yakni dalam dakwaan disebutkan : bahwa ia terdakwa / pemohon kasasi sebagai orang yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doen pleger) atau ikut melakukan (mede pleger) perbuatan atau dengan pemberian janji atau memberikan kesempatan, sarana atau keterangan dengan sengaja telah menggerakkan membujuk orang lain yaitu Kamsah alias Kamsil, Radi bin Wayat dan Djawad bin Sarwen untuk memberikan keterangan palsu di bawah sumpah ……………. dan seterusnya. Dakwaan tersebut seharusnya terdakwa didakwa melakukan perbuatan “membujuk orang lain dengan janji diberi upah” (uitlokken) untuk melakukan sesuatu, sehingga dakwaan melanggar Pasal 55 ayat (1) ke-2 jo. Pasal 242 ayat (1) KUHP.
 
·   MARI  No.1052 K/Pid/1991 tanggal 25 Oktober 1993
*  “Surat dakwaan harus dibatalkan karena delik yang sejenis dibuat dalam dakwaan berbentuk kumulatif”.

·   MARI  No.1530 K/Pid/1995 tanggal 30 Januari 1996
*  Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa : “Mencabut hak terdakwa menjadi sopir segala jenis kendaraan bermotor selama 20 (dua puluh) tahun”. Dasar hukum yang dipakai Pasal 35 ayat (1) butir (6) KUHP dan Pasal 38 ayat (1) butir (2) dan ayat (2) KUHP.
*  Hakim juga dapat menerapkan pasal-pasal pemberatan hukuman seperti Pasal 64,65 dan lain-lain walaupun tidak didakwakan. Oleh karena itu Pasal 361 KUHP tidak perlu juga didakwakan dalam Dakwaan Kesatu Subsidair (Pasal 359 jo. Pasal 361 KUHP) dan Dakwaan Kedua Subsidair (Pasal 360 ayat (2) jo. Pasal 361 KUHP).
*  Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHP yang perlu didakwakanadalah tindak pidana (uraian tentang tindak pidana yang didakwakan) seperti : pembunuhan, penganiayaan, penggelapan dan lain-lain. Isi Visum et Repertum dan Hasil pemeriksaan laboratorium tidak perlu didakwakan. Cukup ditulis terlampir dalam berkas perkara, karena hal itu nanti menjadi alat bukti dalam tuntutan pidana. Demikian juga pasal-pasal 64, 65 dan 66 KUHP dapat diuraikan dan dibuktikan dalam tuntutan pidana.

Catatan  :    Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul didakwa oleh penuntut umum ;
                     KESATU ;
                     Primair : melanggar Pasal 338 KUHP
                     Subsidair : melanggar Pasal 359 Jo. Pasal 361 KUHP
                     KEDUA
                     Primair : melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP
                     Subsidair : melanggar Pasal 360 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 361 KUHP.

·    MARI  No.868 K/Pid/1994 tanggal 10 Agustus 1994
*  “Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum karena Pasal 64 dan 65 KUHP hanyalah merupakan penentuan maksimum pidana yang dapat dijatuhkan, maka walaupun Pasal 64 KUHP tidak didakwakan, putusan Pengadilan Tinggi mengenai hal ini dapat dibenarkan, karena pidana yang dijatuhkan (4 tahun 6 bulan) lebih rendah dari maksimum hukuman menurut Pasal 263 Ayat (2) KUHP”.
*  Mengenai Pasal 486 KUHP, MARI mempertimbangkan “tidak perlu disebutkan dalam amar putusan”, cukup dalam pertimbangan putusan.
*  Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Riau : menyatakan terdakwa Fifi Gautama terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan klejahatan “Dengan sengaja menggunakan surat palsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak palsu yang penggunaan mana menimbulkan kerugian, dilakukan beberapa kali sebagai perbuatan berlanjut”.

Catatan :     *  Terdakwa Fifi Gautama didakwa oleh penuntut umum melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP jo. Pasal 486 KUHP. PN Batam dan PT Riau menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP dengan kualifikasi “dengan sengaja menggunakan surat palsu seolah-olah tidak palsu sebagai perbuatan berlanjut” (voorgezette handeling). Pertimbangannya :  walaupun Pasal 64 ayat (1) KUHP tidak didakwakan, tidak berarti terdakwa harus dibebaskan, karena unsur-unsur Pasal 64 dan Pasal  65 KUHP hanya merupakan pasal-pasal sebagai pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
*  Penasihat Hukum mohon kasasi dengan alasan karena yang terbukti adalah Pasal 64 ayat (1) dan bukan Pasal 65 ayat (1) yang berarti terdakwa harus dibebaskan karena dakwaan tidak terbukti sedang Pengadilan Tinggi memidana terdakwa berdasarkan dakwaan yang tidak terbukti. Jadi Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum. Terhadap permohonan dan alasan kasasi tersebut, MARI telah mengeluarkan putusannya sebagaimana tersebut di atas.
*  Menurut Selamat Purba SH (dalam bukunya : “Mencegah Batalnya Surat Dakwaan Demi Hukum”, CV.Sumber Ilmu Jaya, Oktober 2002, hal.43,89,119,120,), berdasarkan putusan MARI tersebut dapatlah diperoleh kesimpulan sbb ;
*  Pasal-pasal yang sifatnya memperberat ancaman pidana tidak harus didakwakan. Pemberatan secara umum : diatur dalam Pasal 64, 65 dan 66 dll, sedangkan pemberatan secara khusus : diatur dalam pasal-pasal tertentu di KUHP dan dalam undang-undang di luar KUHP misalnya Pasal 361 dan Pasal 486 KUHP (residive). Jika akan menuntut hukuman lebih tinggi dari maksimum pidana materiel yang didakwakan (misalnya pasal 362 KUHP, 372 KUHP dsbnya), pasal-pasal tersebut dimasukkan dalam Tuntutan Pidana (Requisitoir). Misalnya menggunakan kalimat “Karena Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua telah terbukti, maka bagi terdakwa berlakulah Pasal 65 KUHP”.
*  Memuat ataupun tidak memuat pasal-pasal pemberatan tersebut dalam Surat Dakwaan tidak mengakibatkan Surat Dakwaan itu batal demi hukum, karena tidak termasuk pengertian “tindak pidana yang didakwakan” dalam Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP.
*  Dalam Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP, tidak diatur hal-hal sebagai berikut :
·         Wilayah / daerah hukum pengadilan negeri. Yang harus disebutkan “tempat tindak pidana itu dilakukan”.
·         Uraian hasil pemeriksaan mayat (Visum et Repertum) dan hasil pemeriksaan Laboratorium (narkoba, surat palsu, dll). Baik Visum maupun hasil Laboratorium berfungsi sebagai alat bukti yang diperlukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karenanya dalam Surat Dakwaan cukup ditulis sebagai berikut : “meninggalnya korban adalah sebagai akibat perbuatan terdakwa sesuai Visum et Repertum (terlampir dalam berkas perkara)” atau “sabu-sabu tersebut adalah Psikotropika sesuai hasil pemeriksaan Laboratorium (terlampir dalam berkas perkara)”.

·   MARI  No.86 K/Pid/1982 tanggal 31 Maret 1983
*  Karena Dakwaan Pertama (Pasal 317 KUHP) dan Dakwaan Kedua (Pasal 311 KUHP) adalah sejenis, dakwaan tersebut seharusnya bersifat alternatif ; Oleh karena itu dengan telah terbuktinya Dakwaan Pertama, Dakwaan Kedua tidak perlu dipertimbangkan lagi).

·   MARI  No.33 K/Mil/1985 tanggal 15 Februari 1986
*  Karena surat dakwaan tidak dirumuskan secara lengkap dan tidak cermat, dakwaan dinyatakan batal demi hukum.

·   MARI  No.492 K/Kr/1981 tanggal 8 Januari 1983
*  Pengadilan Tinggi telah tepat dengan pertimbangannya, bahwa tuduhan yang samar-samar / kabur harus dinyatakan batal demi hukum.

·   MARI  No.731 K/Pid/1984 tanggal 4 April 1985
*  Pemeriksaan cepat sebagaimana termaksud dalam Pasal 205 KUHAP, ialah terhadap perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah, sedangkan ancaman hukuman sebagaimana termaksud dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp 300,- maka sesuai Pasal 203 KUHAP perkara ini seharusnya diperiksa dengan Acara Singkat karena terdakwa dituntut berdasarkan dakwaan Pasal 310 ayat (1) KUHP.

·   MARI  No.1174 K/Pid/1994
*  Bahwa tidak dibenarkan terdakwa bergantian dijadikan saksi. Alasannya : “….. para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang sama dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjungjung tinggi hak asasi manusia”.

Catatan  :    Menurut Prof.Dr.Andi Hamzah, Sh (dalam bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.162), bergantian menjadi saksi bukanlah saksi mahkota (kroongetuige). Saksi mahkota berarti salah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan kesalahnnya) dijadikan (“dilantik”) menjadi saksi, jadi seperti diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi. Hal ini dibolehkan berdasarkan adagium, bahwa jaksa adalah dominus litis dalam penuntutan terdakwa.

·   MARI  No.47 K/Kr/1956 tanggal 28 Maret 1957
*  “Yang menjadi dasar pemeriksaan oleh Pengadilan ialah surat tuduhan dan bukan tuduhan yang dibuat oleh Polisi”.

Catatan  :    Menurut Prof.Dr.Andi Hamzah, SH. (dalam bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.166), dengan demikian maka pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal UU pidana yang menjadi dasarnya, tidak mengikat penuntut umum untuk mengikutinya. Penuntut umum dapat mengubah pasal UU yang disebut oleh polisi itu untuk menyesuaikan dakwaan dengan fakta-fakta dan data dan menyusun dakwaan berdasarkan perumusan delik tersebut. 
·   Arrest HR  tanggal 30 April 1888 (W.5557)
*  Dimana-mana pun dalam undang-undang tidak diharuskan supaya dakwaan dalam menyebut delik harus memuat kata-kata yang sama dengan yang dipakai dalam pasal undang-undang yang harus ditetapkan”.

Catatan  :    *  Menurut Prof.Dr.Andi Hamzah, Sh (dalam bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.172), Kata-kata yang dipakai dalam surat dakwaan sebaiknya kata-kata sehari-hari yang mudah dimengerti, tetapi bertautan dan berseanyaman dengan istilah-istilah yuridis yang ada dalam undang-undang pidana yang diterapkan itu.
*  Walau kata-kata dalam undang-undang itu sama dengan pengertian sehari-hari, maka dapat langsung dipakai kata-kata itu dalam surat dakwaan. Kata-kata dalam undang-undang yang sama artinya dengan kata-kata sehari-hari misalnya “memiliki” dalam delik pencurian (Pasal 362 KUHP), delik penggelapan (Pasal 372 KUHP), “karena kurang hati-hati”, “karena kelalaian besar terdakwa”, “dengan sangat nekat dan kurang hati-hati”, semuanya dalam delik kelalaian. Dalam hal itu tidak perlu dijelaskan dalam dakwaan apa itu “memiliki, kurang hati-hati, karena kelalaian besar terdakwa, dengan sangat nekat dan kurang hati-hati” itu. Sebaiknya yang tidak mempunyai arti sehari-hari ialah kata-kata “tipu muslihat”, “ada dibawah kuasanya bukan karena kejahatan”, “dalam melakukan hak jabatannya”.

·   MARI  No.15 K/Kr/1969 tanggal 13 Februari 1971
*  “Perubahan surat tuduhan yang dimaksud oleh Pasal 282 HIR adalah perubahan yang tidak mengakibatkan timbulnya perbuatan pidana lain”.

  Catatan  :   *  Sejauhmana ruang lingkup perubahan surat dakwaan ? Apakah mungkin
perubahan dakwaan mengenai materiel feit (kejadian materiil). Atau untuk lebih tegas, apakah perubahan surat dakwaan mungkin terjadi dari sesuatu dakwaan semula yang tidak merupakan tindak pidana, berubah menjadi tindak pidana ?
*  Menurut M.Yahya Harahap, SH (dalam bukunya : Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, hal.446, Edisi Kedua Oktober 2002), terhadap pertanyaan di atas KUHAP tidak memberi penggarisan. Baik Pasal 144 KUHAP maupun penjelasannya tidak mengatur sampai dimana perubahan surat dakwaan dapat dilakukan.Oleh karena itu, sebagai bahan perbandingan dan orientasi, ada baiknya dilihat ketentuan yang diatur dalam HIR. Pada Pasal 76 HIR, tegas-tegas melarang perubahan surat dakwaan yang bisa mengakibatkan perubahan materiel feit. Perubahan surat dakwaan tidak boleh mengakibatkan sesuatu yang semula merupakan tindak pidana, menjadi tindak pidana yang lain. Artinya perubahan dakwaan tidak boleh mengakibatkanunsur-unsur tindak pidana semula berubah menjadi tindak pidana baru. Misalnya, semula surat dakwaan berisi materiel fiet pencurian kemudian perubahan dakwaan mengalihkan dakwaan pencurian menjadi tindak pidana penggelapan atau penipuan.
*  Untuk memahami putusan MARI tersebut di atas, dapat dibuat ringkasan sebagai berikut :
*  Putusan PT dan PN harus dinyatakan batal, karena putusan-putusan tersebut didasarkan pada tuduhan hasil perubahan yang terlarang yang dilakukan oleh PN dealam sidang tanggal 19Januari 1966 terhadap surat tuduhan asli yang telah disusun oleh Kejaksaan Negeri dalam perkara ini.
*  Bahwa PN mendasarkan kekuasaannya untuk mengubah surat tuduhan itu atas Pasal 282 HIR.
*  Bahwa Pasal 282 HIR memberi kekuasaan untuk mengubah surat tuduhan dengan sesuatu pembatasan, yaitu jangan sampai akibat perubahan itu perbuatan pidana yang dituduhkan berubah menjadi perbuatan pidana lain.
*  Bahwa menurut pendapat MARI “menyuruh berbuat”  yang dituduh semula kepada para terdakwa adalah suatu perbuatan pidana lain daripada “membujuk untuk berbuat” sebagaimana tuduhan setelah terjadinya perubahan yang dilakukan oleh pengadilan.
*  Bahwa bukankah objek daripada tuduhan yang pertama adalah orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, sedang dalam tuduhan yang baru objek itu merupakan orang-orang yanag dapat dipertanggungjawabkan.
*  Bahwa akibat kesalahan PN tersebut maka batallah sebuah perbuatan hukum / pemeriksaanyang telah dilakukan oleh Hakim Pengadilan berikut putusan-putusan yang telah dijatuhkan kepada parea pemohon kasasi / para terdakwa, sehingga perlulah pemeriksaan-pemeriksaan beserta putusan-putusan baik olehPengadilan Negeri maupun oleh Pengadilan Tinggi dalam perkara ini diulangi kembali.

·   Arrest HR  tanggal 12 Juni 1939 (NJ.1939 hal.1601)
*  Jika dakwaan tetap menurut perbuatan yang sama hanya ada perbedaan mengenai waktu terjadinya delik, maka dapat diadakan perubahan dakwaan. terdakwa di sidang Pengadilan Negeri telah mengaku atas segalanya yang didakwakan (dituduhkan) kepadanya, maka oleh karena demikian hakim cukup mendengar seorang saksi saja”. 

Catatan  :    *  Menurut Prof.Dr.Andi Hamzah, Sh (dalam bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.178-179), dalam hal ini dapat dikemukakan Contoh sebagai berikut : Dakwaan mengenai pembunuhan terjadi pada tanggal 12 April 1983, menurut redaksi pertama diubah menjadi tanggal 13 April 1983, maka hal itu diperbolehkan. Akan tetapi jika disamping waktu tersebut, diubah pula pembunuhan menjadi penganiayaan yang mengakibatkan kematian, maka tentu hal tersebut tidak diperbolehkan, karena perbuatan (feit) telah diubah dari pembunuhan menjadi penganiayaan.
*  Begitu perlu perubahan kata-kata atau redaksi diperbolehkan asal tidak mengubah macam perbuatan yang didakwakan. Begitu pula perubahan surat dakwaan dari yang tunggal menjadi alternatif diperbolehkan asal mengenai perbuatan yang sama, yang biasa disebut delik berkualifikasi dalam hukum pidana. Delik berkualifikasi misalnya delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP) menjadi pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) ; penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHP) menjadi penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat (1) KUHP) ………….dll.     

·   Arrest HR  tanggal 26 Agustus 1911 (W.9224)                                                                                                           
*  Hakim hendaknya jangan terlampau cepat mempertimbangkan pembatalan surat dakwaan, kecuali kalau benar-benar waktu dan tempat serta penyebutan delik yang dilakukan tidak disebut. Jika ternyata dakwaan itu tidak mengandung suatu delik, maka sebenarnya bukan pembatalan surat dakwaan, tetapi putusan lepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).
·   MARI  No.510 K/Pid/1988 tanggal 28 April 1988
*  Istilah “wajib” menunjuk penasihat hukum seperti dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP bersifat “imperatif”. Ketentuan ini tertuju kepada “Pejabat” pada semua tingkatan pemeriksaan. Ketentuan ini berlaku tertuju kepada terdakwa yang masih mempunyai hak untuk menolak penunjukkan tersebut atau bahkan boleh menolak untuk didampingi oleh seorang penasihat hukum. Maka meskipun ada ketentuan “wajib” tersebut, terdakwa masih mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri sikapnya mengenai “mau” atau “tidak mau” didampingi seorang penasihat hukum meskipun itu atas penunjukkan hakim.

·   MARI  No.697 K/Pid/1986 tanggal 29 Februari 1988
*  Bahwa meskipun kedudukan pabrik selaku penjual barang berkedudukan di Surabaya, akan tetapi oleh karena transaksi dagang ini terjadinya di toko terdakwa yang berkedudukan di Surakarta (pesanan barang melalui salesman, penyerahan barang dan pembayarannya di Surakarta), maka menurut pendirian MARI, “locus delicti” adalah di kota Surakarta, sehingga Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.

Catatan  :    Terhadap locus delicti dikenal 4 ajaran (Komentar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana - Buku Pedoman Mahasiswa dan Praktisi, Drs Hari Sasangka SH & Lily Rosita SH, cv. Mandar Maju, cetakan II 2003, hal.113) :
*   Ajaran mengenai tindakan secara pribadi (Noyon dan Zevenbergen)
yang memandang sebagai locus delicti adalah tempat seorang pelaku saat melakukan sendiri tindakannya yang dilarang.
*   Ajaran mengenai alat (Moderman)
yang harus dipandang sebagai locus delicti adalah terutama tempat seorang pelaku itu melakukan sendiri tindakannya yang dilarang oleh undang-undang, akan tetapi apabila untuk melakukan tindakan yang dilarang itu dengan menggunakan sebuah alat, maka tempat alat tersebut bekerja harus dipandang sebagai locus delicti dari tindak pidana yang ia lakukan.
*   Ajaran mengenai akibat (Von List dan Van Deinse)
 yang harus dipandang sebagai locus delicti adalah tempat suatu tindak pidana itu telah menimbulkan akibat. Akibat tersebut dapat merupakan akibat yang secara langsung telah ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, akan tetapi ia juga dapat merupakan akibat yang timbulnya merupakan syarat untuk selesainya suatu tindak pidana.
*  Ajaran mengenai tempat yang berbeda-beda (Van Hamel dan Simon)           
yang harus dipandang sebagai locus delicti adalah :
1.      Tempat seorang pelaku telah melakukan sendiri perbuatannya yang dilarang dan diancam pidana ;
2.      Tempat alat yang dipergunakan oleh seorang pelaku dan alat tersebut telah bekerja ;
3.      Tempat dimana akibat dari sesuatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana telah timbul ;
4.       Tempat dimana suatu akibat konstitutif itu telah timbul

·   MARI  No.1849 K/Pid/1990 tanggal 22 Oktober 1990
*  Bahwa menurut surat dakwaan Jaksa, para terdakwa telah melakukan kejahatan di Desa Klari Kerawang, yaitu Primair melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-1 dan ke-2 KUHP, Subsidair melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP.
*  Bahwa penahanan para terdakwa dilakukan POLDA Metro Jaya, KEJATI DKI Jaya dan PN Jakarta Barat di Rutan Salemba.
*  Bahwa terakhir dengan Penetapan Perpanjangan Penahanan oleh Ketua PN Jakarta Barat Nomor : 02/B/Pen.Pid/1990/PN.Jkt.Bar tanggal 2 Januari 1990 selama 60 hari.
*  Karena Jaksa banding terhadap putusan PN Jakarta Barat, penahanan selanjutnya dilakukan oleh PT Jakarta.
*  Bahwa Rutan Salemba (Rutan Cipinang) sebagaimana diketahui adalah merupakan tempat untuk semua terdakwa yang diduga bersalah melakukan kejahatan di DKI Jakarta. Tidak ada Rutan khusus Jakarta Pusat, Utara, Timur, Barat atau Selatan.
*   Bahwa sesuai dengan berita acara penyidikan yang akan diperiksa sebagai saksi dalam perkara terdakwa perkara ini, sebagian besar saksi tersebut bertempat di kediaman di Jakarta Barat yaitu di Jl. Raya Mangga Dua Nomor 19C Rt.008/04 Kel. Pinangsia Jakarta Barat.
*   Bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, sesuai dengan Pasal 184 ayat (2)  KUHAP, demi terselenggarakan peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan, MARI berpendapat bahwa PN Jakarta Barat berwenang memeriksa / mengadili perkara para terdakwa tersebut.

·   MARI  No.1976 K/Pid/1988 tanggal 20 Juli 1991
*  Untuk dapat menggabungkan gugatan ganti rugi uang dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang ditangani oleh hakim pidana dalam satu paket pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud Pasal 93 KUHAP, maka hakim wajib dan harus memperhatikan yaitu bahwa gugatan ganti rugi uang yang dituntut oleh saksi korban tersebut adalah merupakan uang pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh saksi korban yang dirugikan. Tuntutan / gugatan ganti rugi selain itu, tidak diperkenankan diperiksa melalui jalur Pasal 98 KUHAP.

·   MARI  No.1071 K/Pid/1988 tanggal 27 Juli 1989
*  Bahwa penuntut umum berdasarkan ketentuan Pasal 143 KUHAP melimpahkan perkara terdakwa I, II, III, IV dan V ke Pengadilan Negeri dalam arti lengkap berkas perkaranya, beserta surat dakwaannya, dengan permintaan agar segera mengadili perkara terdakwa tersebut.
*  Bahwa untuk perkara ini penuntut umum menggunakan Pasal 141 KUHAP, sebagai salah satu pilihan yang dianggapnya tepat, yaitu melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaandan bukan seperti yang diatur dalam Pasal 142 KUHAP, yaitu melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.
*  Bahwa dimuka persidangan terdakwa I telah mengakui melakukan salah satu perbuatan yang didakwakan kepadanya yaitu membunuh korban, akan tetapi pengakuan saja tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus berdasarkan alat-alat bukti yang lain.
*  Bahwa oleh karena penuntut umum melimpahkan perkara terdakwa I, II, III, IV dan V ke Pengadilan Negeri dengan menggunakan Pasal 141 KUHAP yaitu melakukan “penggabungan perkara” dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, maka berdasarkan Pasal 189 ayat (3) KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan tidak dapat dipergunakan untuk menerangkan tentang apa yang dilakukan oleh terdakwa lainnya.
  
·   MARI  No.66 K/Kr/1967 tanggal 25 Oktober 1967
*  Pemecahan perkara (splitsing) dilakukan sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut umum, karena tersangka tersebut memungkiri dakwaan penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit diketemukan sehingga satu-satunya jalan adalah mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya. Untuk itu haruslah diadakan penambahan pemeriksaan terhadap tersangka yang dijadikan saksi. Pemeriksaan seperti ini dibenarkan oleh MARI.

Catatan  :    Namun demikian kelemahan dalam pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan terjadinya pemberian keterangan palsu, sehingga ada kemungkinan saksi tersebut dikenakan Pasal 242 KUHP. Saksi yang diajukan seperti tersebut di atas disebut saksi mahkota (kroongetuige).
 
·   MARI  No.1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990
*  Bahwa penuntut umum boleh mengajukan teman terdakwa sebagai saksi yang disebut saksi mahkota (kroongetuige), asalkan perkara terdakwa dipisahkan dari perkara saksi tersebut. Terdakwa dan saksi tidak dalam satu berkas perkara.

·   MARI  No.2436 K/Pid/1988 tanggal 2 Mei 1990
*  Bahwa dakwaan-dakwaan dalam perkara ini tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 143 ayat (3) huruf (b) KUHAP karena tidak berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan ;
*  Bahwa yang didakwakan dalam Dakwaan I mengenai Pasal 362 jo. 55 ayat (1) KUHP namun dalam uraiannya tidak menyebutkan dasar tindak pidana pencurian yang vital sekali dan lebih-lebih dalam perkara ini merupakan masalah yang urgen sekali ialah unsur dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum ;
*  Bahwa demikian pula dalam Dakwaan II mengenai Pasal 406 jo 55 ayat (1) KUHP, dalam uraiannya juga disebut “memberi kesempatan dan daya upaya” hal mana bukan unsur Pasal 55 ayat (1), melainkan Pasal 56 KUHP, ialah tindak pidana “membantu” ;
*  Bahwa dengan demikian berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP maka dakwaan-dakwaan tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.
 

·   MARI  No.8 K/Kr/1969 tanggal 18 Juli 1970
Ø  “Didalam tuduhan terutama sebenarnya terdapat 2 macam tuduhan yaitu tuduhan Pasal 340 dan Pasal 338 KUHP. Sebaiknya dua macam tuduhan tersebut diatur dalam bentuk tuduhan primair dan subsidiair, tetapi tuduhan terutama itu tidak dapat dikatakan salah”. 

·   Arrest HR  26 Januari 1942 (NJ.1942 No.537)
Ø  “Suatu surat dakwaan yang memuat pemberian bantuan yang tidak jelas, batal”. 

·   Arrest HR  17 November 1941
Ø  Dianggap kurang memenuhi syarat adalah kualifikasi sebagai berikut : bahwa pegawai negeri tersebut dalam menjalankan tugasnya yang sah, karena tidak dijelaskan perbuatan yang memperjelas kualifikasi.

·   Arrest HR  23 April 1961 (NJ.1970 No.13-14)
Ø  “……. Tuduhan tersebut tidak cukup jelas menguraikan perbuatan konkrit dari terdakwa, karena didalamnya tidak sedikitpun diuraikan bagaimana caranya dan dengan alat apa terdakwa dapat masuk ke stasiun bensin tersebut, sedang istilah memasuki saja tidaklah cukup untuk menguraikan perbuatan yang dilakukan, karena memasuki dapat terjadi dengan bermacam-macam cara”. Tuduhan demikian dibatalkan.

·   Arrest HR  23 Oktober 1951 (NJ.1952 No.4)
Ø  “Tidak berarti bahwa dakwaan subsidiair hanya diperiksa jika dakwaan primair tidak terbukti, dalam hal dakwaan primair tidak diputuskan dengan pemidanaan, hakim juga harus memeriksa dakwaan subsidiair”.

·   Arrest HR  23 Desember 1907 (W.8635)
Ø  “……. jika ternyata perbuatan yang dituduhkan itu tidak merupakan merupakan tindak pidana maka haruslah maka haruslah diputuskan pembebasan dari tuntutan, bukan pembatalan surat dakwaan (bukan obyek eksepsi/keberatan terdakwa)”.

·   Arrest HR  27 Juni 1938 (NJ.1939 hal.243)
Ø  “……. Kata-kata dengan sengaja dan melawan hukum bukan hanya kwalifikasi tapi juga merupakan pengertian yang nyata (Artinya tidak perlu diuraikan)”.

·   Arrest HR  3 Desember 1928 (NJ.1929)
Ø  “Jika tuduhan primair tidak memenuhi syarat karena tidak jelas dirumuskan perbuatan yang dituduhkan, maka seluruh tuduhan akan batal, sebab maksud tuduhan subsidiair adalah jika tuduhan primair tidak terbukti baru tuduhan subsidiair dibuktikan”.

·   Arrest HR  23 Oktober 1951 (NJ.52 No.4)
Ø  “……. Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur-unsur pemerasan Pasal 368 KUHP bersama-sama unsur-unsur penipuan Pasal 378 KUHP, merupakan kesalahan essensial dan menyebabkan tuduhan tersebut batal”.

·   Arrest HR  19 Juni 1951
Ø  Kualifikasi juridis yang mempunyai arti yang nyata sehingga tidak memerlukan penguraian lebih lanjut : “menjalankan kendaraan dengan sangat sembrono dan tidak berhati-hati”. Dengan demikian kalimat ini dapat dimasukkan dalam surat dakwaan tanpa penguraian lebih lanjut.

·   Arrest HR  12 Februari 1946
Ø  Kualifikasi juridis yang mempunyai arti yang nyata sehingga tidak memerlukan penguraian lebih lanjut : “bahwa terdakwa patut dan harus menyangka bahwa barang-barang tersebut adalah diperoleh dari hasil kejahatan”. Dengan demikian kalimat ini dapat dimasukkan dalam surat dakwaan tanpa penguraian lebih lanjut.

·   Arrest HR  8 Maret 1937
Ø  Pengertian “perbuatan” atau “feit” ternyata oleh doktrin dan yurisprudensi ditafsirkan sebagai “handeling” atau “perilaku” atau “perbuatan yang mempunyai arti untuk hukum pidana. Karena penuntut umum-lah yang membuat surat dakwaan, maka penuntut umum-lah yang menentukan apakah sesuatu perbuatan itu dianggap sebagai tindak pidana (strafbaarfeit). Dan apakah itu tindak pidana (strafbaarfeit) atau bukan, Hakim-lah yang harus memutuskannya.
Ø  Jika ternyata “perbuatan” atau “feit” yang didakwakan itu bukan tindak pidana (strafbaarfeit), maka Hakim harus memutuskannya dengan pelepasan.

·   MARI  No.81 K/Kr/1956 tanggal 9 November 1957
Ø  “Jika terdakwa di sidang Pengadilan Negeri telah mengaku atas segalanya yang didakwakan (dituduhkan) kepadanya, maka oleh karena demikian hakim cukup mendengar seorang saksi saja”. 

·   MARI  No.168 K/Kr/1956 tanggal 4 Februari 1958
Ø  “Jika Pengadilan Negeri membebaskan terdakwa dari tuduhan primair dan subsidiair, akan tetapi menghukum terdakwa karena tuduhan lebih subsidiair, maka berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Darurat No.1 tahun 1951 terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut di atas yang mengenai tuduhan primair dan subsidiair tidak dapat diminta banding dan karena ini Pengadilan Tinggi tidak dapat lagi mempergunakan tuduhan primair dan subsidiair sebagai dasar untuk menghukum terdakwa”. 
Catatan :     Menurut Dr.Andi Hamzah, SH. (dalam bukunya : “Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan Praktek  Penahanan-Dakwaan-Requisitoir” PT.RINEKA CIPTA, Jakarta 1994 Hal.89), meskipun Undang-Undang (Drt) No.1 tahun 1951 tersebut sekarang tidak berlaku, namun ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 167 KUHAP yang mengatakan bahwa terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Dengan demikian putusan MA ini masih relevan sekarang ini. 

·   MARI  No.96 K/Kr/1960 tanggal 3 Januari 1961
Ø  “Siapakah yang harus dituntut tergantung dari jaksa yang bersangkutan, hal mana merupakan suatu kebijaksanaan dalam penuntutan, yang dipertanggungjawabkan kepada atasannya oleh jaksa tersebut”.

·   MARI  No.492 K/Kr/1981 tanggal 8 Januari 1983, dalam perkara : Wander bin Undang, dkk.
Ø  Penuntut umum dalam surat dakwaannya menguraikan :  “Bahwa mereka tersangka-tersangka pada tanggal 31 Januari 1979 atau setidak-tidaknya pada suatu hari didalam tahun 1979 dirumahnya Nyakar/Panji kampung Lambing Kecamatan Muara Lawa Kabupaten Kutai setidak-tidaknya disuatu tempat termasuk wilayah hukum Pengadilan Negeri Tenggarong, dengan sengaja telah melakukan perjudian dengan mempergunakan alat cekky dengan taruhan bungkus rokok yang sewaktu-waktu dapat ditukarkan dengan uang, atau setidak-tidaknya mereka tersangka-tersangka melakukan permainan judi itu dengan berdasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung kepada sifat untung-untungan saja”.
Ø  MARI berpendapat tuduhan tersebut selain tidak lengkap menyebutkan unsur-unsur delik permainan judi (hazardspel) yaitu antara lain element zonder gerechtigd (tanpa mendapat izin), juga terhadap perbuatan material dari delik tadi tidak memberikan suatu voldoendo on duidelijke apgavc van het feit, dari unsur ini yakni tidak menjelaskan, menguraikan secara jelas dan tepat bagaimana cara-cara permaianan judi telah dilakukan oleh dan diantara terdakwa-terdakwa, jadi tidak cukup hanya menyebut dengan mempergunakan alat cekky, tapi bagaimana caranya alat cekky itu dipakai dan dipergunakan dengan peramaian hingga mendapat kemenangan dan seterusnya. Sehingga oleh karena itu harus dinyatakan batal demi hukum.

·   MARI  No.32 K/Kr/1960 tanggal 23 Januari 1962
Ø   “Dengan memutusnya lain dalam banding daripada Hakim pertama tidak denghan sendiri Hakim banding lalu mengubah tuduhan secara yang melanggar undang-undang Hukum karena Hakim banding tidak selalu dapat menguatkan putusdan Hakim pertama saja”. 

·   MARI  No.72 K/Kr/1969  tanggal 17 Maret 1962
Ø  “Suatu tuduhan mengenai penganiayaan berat atau penganiayaan biasa yang direncanakan lebih dahulu tidak terbukti, terdakwa dipidana penganiayaan ringan”.
 
·   MARI  No.10 K/Kr/1969 tanggal 5 November 1969
Ø  “Pencantuman kata sengaja dalam tuduhan mengenai Pasal 1 Undang-Undang No.12 (Drt) tahun 1951, tidak mengakibatkan batalnya tuduhan tersebut, tetapi cukuplah untuk menganggap kata dengan sengaja yang diuraikan dalam surat tuduhan sebagai tidak tercantum”.
 
·   MARI  No.63 K/Kr/1975 tanggal 17 Maret 1976
Ø  “Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum acara yang berlaku karena tidak mempertimbangkan tuduhan-tuduhan subsidiair dan subsidiair lag, setelah tuduhan primair dinyatakan tidak terbukti”.
 
·   MARI  No.92 K/Kr/1973 tanggal 4 Agustus 1976
Ø  “Tidak perlu dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi bahwa terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan melanggar Pasal 299 KUHP, karena Pasal 299 KUHP ternyata tidak dirumuskan”.
 
·   MARI  No.68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976
Ø  “Putusan pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan, yang dalam perkara ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan lebih banyak pada pasal 310 KUHP”.
 
·   MARI  No.351 K/Kr/1980 tanggal 21 Januari 1981
Ø  Pernyataan terbukti tuduhan subsidiair membantu melakukan pembunuhan berencana oleh judex facti tidak dilakukan atas dasar surat tuduhan dan pemeriksaan dipersidangan karena judex facti tidak mempertimbangkan tuduhan primair yaitu turut melakukan pembunuhan berencana sebagaimana terbukti dipersidangan bahwa antara terdakwa-terdakwa terdapat kerja sama secara sadar dan mereka bersama-sama melakukan kejahatan ex. Pasal 340 KUHP”.  


·   MARI  No.104 K/Kr/1971 tanggal 31 Januari 1973  dalam perkara : Rinie Junias Tutuk.
Ø  “Putusan Pengadilan Negeri / Pengadilan Tinggi harus dibatalkan karena tuduhan merupakan obscure libelle yang hanya mengemukakan rumusan delik pasal 378 KUHP tanpa mengkhususkan tentang perbuatan-perbuatan tertuduh yang dianggap menipu dalam arti Pasal 378 KUHP”.
Ø  Bahwa dalam tuduhan kedua di atas ternyata tidak disebutkan semua delik Pasal 378 KUHP dan meskipun disebutkan waktu dan tempat perbuatan dilakukan tetapi tidak dengan jelas dan tepat dilakukan hal-ikhwal terdakwa ;
Ø  Bahwa dengan demikian tuduhan kedua tersebut selain tidak memenuhi syarat-syarat formal, karena tidak jelas dan tepat sangat menyulitkan bagi terdakwa dalam menggunakan haknya membela diri ;
Ø  Bahwa oleh karena itu tuduhan tersebut harus dinyatakan batal.
 
·   MARI  No.41 K/Kr/1973 tanggal 25 Januari 1975
Ø  “Bahwa dalam tuduhan kedua diatas ternyata tidak disebutkan semua unsur delik Pasal 378 KUHP dan meskipun disebutkan waktu dan tempat perbuatan dilakukan tetapi tidak dengan jelas dan tepat dilukiskan hal-ikhwal perbuatan terdakwa. Bahwa dengan demikian tuduhan kedua tersebut selain tidak memenuhi syarat-syarat formil, karena tidak jelas dan tepat sangat menyulitkan bagi terdakwa dalam menggunakan haknya membela diri”.
 
·   MARI  No.74 K/Kr/1973 tanggal 10 Desember 1974
Ø  “Tindak pidana penggelapan secara principieel berbeda dengan tindak pidana penipuan. Ia harus dengan tegas dirumuskan dalam tuduhan dan tidak cukup menunjuk kepada tuduhan primair saja”.
 
·   MARI  No.42 K/Kr/1956 tanggal 3 Oktober 1956
Ø  “Dalam tuduhan atas pembunuhan berencana termasuk pula tuduhan atas pembunuhan karena pembunuhan berencana tidak lain daripa pembunuhan yang telah direncanakan lebih dulu dengan ketenangan hati. Maka orang yang dituduh melanggar Pasal 340 KUHP tetapi di sidang hanya terbukti bersalah melanggar Pasal 338 KUHP, ia dapat dipersalahkan atas kejahatan pembunuhan”.  

·   MARI  No.71 K/Kr/1968 tanggal 10 Mei 1969
Ø  “Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur-unsur pemerasan Pasal 368 KUHP bersama-sama unsur-unsur penipuan Pasal 378 KUHP merupakan kesalahan yang esensial yang menyebabkan tuduhan tersebut batal”.
 
·   MARI  No.105 K/Kr/1975 tanggal 8 Januari 1975
Ø  “Untuk kepentingan pemeriksaan perkara Jaksa berwenang untuk mengajukan perkara secara terpisah-pisah, sedang Hakim hanya berwenang untuk menyatukan perkara-perkara (voegen) dipersidangan (ter terechtzitting) dalam perkara-perkara tolakan (i.c. perkara diajukan secara summir)”.

·   MARI  No.60 K/Kr/1967 tanggal 25 Oktober 1967
Ø  “Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : bahwa karena penuntut kasasi oleh Pengadilan Negeri telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan pencurian sebagaimana dituduhkan dalam tuduhan primair, ia tidak dapat lagi oleh Pengadilan Tinggi dipersalahkan atas kejahatan penadahan yaitu perbuatan yang dituduhkan dalam tuduhan subsidair tidak dapat dibenarkan : karena dalam perkara yang tuduhan-tuduhannya dibuat secara alternatif, tuduhan subsidair baru diperhatikan setelah tuduhan primair dinyatakan sebagai tidak terbukti, seperti halnya yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dalam perkara ini”.

·   MARI  No.65 K/Kr/1975 tanggal 17 Maret 1976
Ø  “Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum acara yang berlaku karena tidak mempertimbangkan tuduhan-tuduhan subsidair, subsidair lagi, setelah tuduhan primair dinyatakan tidak terbukti”.

·   MARI  No.767 K/Kr/1986 tanggal 6 Juli 1988
Ø  Bahwa atas keberatan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan suatu peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya. Bahwa namun demikian putusan Pengadilan Tinggi  stan \\

                      
·   MARI  No.41 K/Kr/1973 tanggal 25 Januari 1975, dalam perkara : Andi Tatang Anwar.
Ø  Tindak pidana penggelapan secara prinsipil berbeda dengan tindak pidana penipuan. Ia harus dengan tegas dirumuskan dalam tuduhan dan tidak cukup menunjuk kepada tuduhan primair saja.

·   MARI  No.74 K/Kr/1973 tanggal 10 Desember 1974, dalam perkara : Sungani Sunjaya (Sum Tong Hoat).
Ø  Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur-unsur pemerasan Pasal 368 KUHP bersama-sama unsur-unsur penipuan Pasal 378 KUHP merupakan kesalahan yang essensial yang menyebabkan tuduhan itu batal. Dalam menyebut perbuatan yang didakwakan, haruslah dinyatakan semua unsur dari tindak pidana yang bersangkutan.

·   MARI  No.71 K/Kr/1968 tanggal 10 Mei 1968, dalam perkara : Kadar Soehardjo bin Kariredjo.
Ø  Jelas bahwa surat dakwaan sangat penting artinya karena itu surat dakwaan harus memuat semua unsur atau elemen. Yang dimaksud dengan unsur atau elemen adalah bagian dari uraian delik suatu tindak pidana.


·   MARI  No.68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976
Ø  “……. Putusan pengadilan haruslah berdasarkan pada tuduhan, yang dalam hal ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan lebih banyak ditujukan pada Pasal 310 KUHP’.

 
·   MARI  No.666 K/Pid/1982 tanggal 10 Agustus 1983, dalam perkara : Sudarmadji.
Ø  “Penuntut umum dalam surat dakwaannya menguraikan : “….. terdakwa semestinya tidak berhak mengendarai kendaran Colt Station No.Pol.AE7958RT sebab tidak punya SIM, suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan Undang-undang. Karena kesalahan atau kurang hati-hatinya ketika mendekati simpang tiga ada penyeberang jalan bersepeda, karena tidak dapat menguasai kendaraannya terdakwa menabrak pengendara sepeda tersebut …..”. MARI berpendapat surat dakwaan ini haruslah dibatalkan karena dalam satu surat dakwaan yang berbentuk tunggal tersebut didakwakan dua tindak pidana sekaligus, yaitu Pasal 360 KUHP dan Pelanggaran lalu lintas jalan. Sebab Acara Pemeriksaan Biasa (APB) / Acara Pemeriksaan Singkat (APS) tidak boleh disatukan dengan Acara Pemeriksaan Cepat (APC) dalam surat dakwaan.
   
·   MARI  No.1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990
Ø  Penuntut umum diperbolehkan mengajukan teman terdakwa dalam melakukan delict sebagai saksi dalam persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa saksi ini sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian oleh temannya tersebut.

    
·   MARI  No.1671 K/Pid/1996 tanggal 18 Maret 1997
Ø  MARI membenarkan putusan Hakim Pertama dan mempersalahkan terdakwa melakukan delict “membantu melakukan pembunuhan berencana” terhadap dakwaan alternative yang tidak didakwakan penuntut umum.
Catatan :     Terdakwa didakwa dalam dakwaan primair : melanggar Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan dalam dakwaan subsidiair : melanggar Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun dipersidangan yang terbukti adalah terdakwa hanya “membantu” terjadinya delict pembunuhan, bukan “turut serta”. Walaupun demikian MARI membenarkan putusan judex factie yang tetap mempersalahkan dan menghukum terdakwa karena terbukti melakukan delict “membantu melakukan pembunuhan” ex. Pasal 338 KUHP jo. Pasal 56 KUHP, walaupun pasal tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya.

·   MARI  No.758 K/Pid/1996 tanggal 25 Februari 1998
Ø  Surat dakwaan yang mencantumkan Pasal 55 KUHP secara umum tanpa menjelaskan dan merinci ayat dan angka berapa dari pasal yang didakwakan menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum (kabur).
Ø  Surat dakwaan yang demikian tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHP. Putusan Hakim bukan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan melainkan dakwaan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.
Catatan :     Menurut Adnan Paslyadja, SH (dalam Diktat “Surat Dakwaan”, Pusdiklat Kejaksaan RI, 2002, hal.32), putusan MARI tersebut seharusnya berbunyi “Surat dakwaan batal demi hukum”.

·   MARI  No.2125 K/Pid/1990 tanggal 31 Agustus 1993
Ø  Ucapan terdakwa dengan kata-kata : “Hakim Anjing, Jaksa kancing, kerjanya merampas tanah orang saja” bukan delik memfitnah ex. Pasal 311 KUHP, akan tetapi termasuk delik memista ex. Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Ø  Dakwaan ketiga ex. Pasal 335 ayat (1) KUHP, dinyatakan batal demi hukum karena tidak diterangkan dengan jelas apa yang dilakukan oleh saksi korban dan apa yang dibiarkan dengan perbuatan melawan hukum berupa paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dari terdakwa atas korban.
Catatan :     Penuntut umum mendakwakan “memfitnah” ex. Pasal 311 KUHP, namun MARI menghukum terdakwa melakukan delict “menista” ex. Pasal 310 KUHP yang tidak didakwakan penuntut umum. Menurut Adnan Paslyadja (dalam Diktat “Surat Dakwaan”, Pusdiklat Kejaksaan RI, 2002, hal.33), meskipun salah satu dakwaan kumulatif dinyatakan batal demi hukum, namun tidak membatalkan surat dakwaan secara keseluruhan.

·   MARI  No.675 K/Pid/1987 tanggal 21 Maret 1989
Ø  Jika yang terbukti adalah delict sejenis yang lebih ringan sifatnya dari delict sejenis yang didakwakan yang lebih berat sifatnya, maka meskipun delict yang lebih ringan tersebut tidak didakwakan, maka terdakwa dapat dipersalahkan dan dipidana atas dasar melakukan delict yang lebih ringan tersebut.
Catatan :     Terdakwa didakwa dalam dakwaan primair : melanggar Pasal 359 KUHP dan dalam dakwaan subsidiair : melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP. Namun dipersidangan unsur “luka berat” tidak terbukti, melainkan hanya “luka” saja. Walaupun demikian MARI tetap mempersalahkan dan menghukum terdakwa karena terbukti melakukan delict ex. Pasal 360 ayat (2) KUHP, walaupun pasal tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya.

·   MARI  No.1303 K/Pid/1986 tanggal 30 Maret 1989
Ø  Surat dakwaan penuntut umum “batal demi hukum” karena hampir seluruhnya berisikan kutipan rumusan delict, tanpa diuraikan tentang perbuatan materiil apa yang telah dilakukan oleh terdakwa sebagai perwujudan unsur-unsur delict yang bersangkutan. Surat dakwaan yang demikian, bertentangan dengan ketentuan UU No.8 tahun 1981.



·   MARI  No.1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993
Ø  Penyidik sewaktu memeriksa (melakukan penyidikan) terhadap tersangka tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum harus dinyatakan tidak dapat diterima, meskipun dalam Pasal 156 ayat (1) KUHP dirumuskan “Dakwaan tidak dapat diterima”.

·   MARI  No.229 K/Kr/1953
Ø  Pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian ditarik tanpa alasan, adalah merupakan suatu petunjuk tentang adanya kesalahan terdakwa tersebut.
 
·   -  MARI  No.1174 K/Pid/1994, terdakwa Ny. Muriati SH.
-  MARI  No.1590 K/Pid/1994, terdakwa Karjono Wongso
-  MARI  No.1592 K/Pid/1994, terdakwa Bambang Wuryanto Cs
-  MARI  No.1706 K/Pid/1994, terdakwa Suwono dan Suprapto 
-  MARI  No.381 K/Pid/1995, terdakwa Yudi Astono
-  MARI  No.429 K/Pid/1995, terdakwa Yudi Susanto 
Ø  Masalah Saksi Mahkota (Kroon Getuige) dalam tindak pidana pembunuhan terhadap korban Marsinah ex. Pasal 340 KUHP. MARI dalam pertimbangannya berpendapat :
§  Judex factie telah salah menerapkan hukum pembuktian, dimana para saksi yang juga adalah para terdakwa dalam masing-masing perkaranya dengan dakwaaan yang sama dipecah-pecah. Hal yang demikian adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjungjung tinggi hak asasi manusia.
§  Keterangan para terdakwa didepan penyidik telah dicabut kembali dan pencabutan tersebut beralasan karena adanya tekanan pisik dan psychis yang dapat dibuktikan secara nyata (vide Putusan MARI No.1651 K/Pid/1989 tanggal 16 September 1992).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar