Yurisprudensi Terpenting Mengenai
Surat Dakwaan
Arrest HR : Putusan Hoge Raad
MARI
: Mahkamah Agung Republik Indonesia
·
Arrest HR tanggal 15
Februari 1932 (NJ.1932 hal.289)
“Terdakwa
yang mengendarai mobil pada malam hari tidak pakai lampu dan tidak punya surat
izin mengemudi maka telah melakukan 2 perbuatan yang masing-masing berdiri
sendiri, terpisah dengan yang lain (concurcus realis / Meerdaadse Samenloop)
ex. Pasal 65 KUHP”. Pertimbangan hukumnya adalah sebagai berikut :
a.
Menjalankan kendaraan dalam
keadaan mabuk adalah disebabkan keadaan si pengemudi. Mengendarainya tanpa
lampu disebabkan keadaan kendaraan.
b.
Perbuatan-perbuatan tersebut
dapat dipikirkan terlepas satu sama lain sehingga merupakan pelanggaran
(perbuatan) yang berdiri sendiri-sendiri.
c.
Perbuatan yang satu bukan
ditimbulkan atau sebagai akibat perbuatan lain.
d.
Walaupun terjadinya
perbuatan-perbuatan itu pada waktu yang sama, namun kedua perbuatan itu dapat
terjadi pada waktu-waktu yang berlainan sehingga akan dituntut sendiri-sendiri.
Catatan : Sebelum tahun 1932, perbuatan (feit) itu
dilihat dari perbuatan fisik (lichamelijke daad atau lichamelijke handeling).
Dianggap 1 perbuatan (feit) kalau perbuatan fisiknya 1 walaupun dengan
perbuatan itu dilanggar 2 peraturan perundang-undangan. Misalnya : seorang
mengendarai mobil pada malam hari tidak pakai lampu dan tidak punya surat izin
mengemudi. Perbuatan (feit)-nya adalah 1 yaitu mengendarai mobil. Aturan yang
dilanggar 2 yaitu mengendarai mobil pada malam hari tidak pakai lampu dan
mengendarai mobil tanpa surat izin mengemudi. Hal ini diatur dalam Pasal 63
ayat (1) KUHP, sehingga satu hukuman saja yang dijatuhkan(concurcus idealis /
Eendaadshe Samenloop. Akan tetapi pada tahun 1932, Mahkamah Agung Belanda
(Hooge Raad der Nederlanden) mengubah pendiriannya yang dituangkannya dalam
putusan HR 15 Februari 1932 tersebut di atas.
·
MARI No.133
K/Kr/1958 dan MARI
No.606 K/Pid/1984
“Penggunaan
istilah lapisan dakwaan adalah : pertama, kedua dan seterusnya atau kesatu,
kedua dan seterusnya, primair, subsidair dan seterusnya”.
·
MARI No.2156
K/Pid/1987 tanggal 22 September 1988
Bahwa
putusan judex facti harus dibatalkan, karena judex facti telah memutus
menyimpang dari dakwaan ;
Bahwa
judex facti memutus terdakwa terbukti bersalah melakukan kejahatan dan
melanggar Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP, sedangkan dakwaan penuntut umum
berbentuk tunggal yaitu melanggar Pasal 359 dan 360 ayat (1) KUHP ;
Bahwa
disamping itu dakwaan penuntut umum harus dinyatakan batal demi hukum, karena
apabila terdakwa melanggar Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 KUHP maka dakwaan harus
dibuat secara kumulatif ;
Bahwa
apabila terdakwa didakw3a melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP, maka uraian
dakwaan seharusnya “mengakibatkan luka berat”.
Catatan : Dalam kasus ini,
terdakwa Alim Silalahi dengan mengendarai Bus PPD No.Pol. 7711 WT di jalan Raya
Lenteng Agung – Pasar Minggu, pada hari Kamis tanggal 26 Maret 1987, karena
salahnya telah menabrak sebuah sedan, sebuah sepeda motor, sebuah mini bus,
sebuah Pick-up Toyota Hiace dan sebuah becak. Akibat tabrakan 2 orang meninggal
dunia dan 6 orang menderita luka.
Penuntut umum
membuat surat dakwaan dalam bentuk tunggal, yaitu melanggar Pasal 359 dan 360
(1) KUHP. Surat dakwaan demikian harus dibatalkan karena terhadap concurcus
realis (gabungan beberapa perbuatan) bentuk dakwaannya tunggal. MARI berpendapat (sesuai arrest HR 15
Februari 1931) kasus ini adalah gabungan dari dua perbuatan (2 feit) yang
berdiri sendiri-sendiri (concurcus realis atau meerdaadse samenloop), oleh
karena itu dakwaannya harus berbentuk kumulatif. Selain itu terdakwa yang
didakwa melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP tetapi dalam surat dakwaan tersebut
unsur “luka berat” tidak dicantumkan.
·
MARI
No.31/PK/Pid/1988 tanggal 25 November 1992
Kejaksaan
menyidik perkara korupsi, yang kemudian oleh penuntut umum diajukan ke
pengadilan dengan dakwaan primair : melanggar tindak pidana korupsi dan dakwaan
subsidiair : melanggar tindak pidana umum (penggelapan ex. Pasal 374 KUHP).
Penuntut
umum, Pengadilan maupun MARI (Kasasi) membuktikan dakwaan subsidiair
: melanggar tindak pidana umum (penggelapan ex. Pasal 374 KUHP).
MARI
(dalam Peninjauan Kembali), mengadili sendiri : Menyatakan batal demi hukum
“Berita Acara Penyidikan” oleh Kejaksaan sepanjang mengenai dakwaan
subsidiair (tindak pidana umum), beserta surat dakwaan yang didasarkan
atas Berita Acara Penyidikan yang batal demi hukum tersebut.
·
MARI No.162
K/Pid/1986 tanggal 26 September 1987
Surat dakwaan
batal demi hukum karena Penuntut Umum tidak menyebutkan unsur “luka berat”
dalam uraian dakwaannya seperti yang dimaksud dalam Pasal 360 ayat (1) KUHP ;
Bahwa karena
sesuai dengan Pasal 143 ayat (3) KUHAP jo Pasal 143 ayat (2) sub (b) KUHAP
dakwaan penuntut umum tersebut dinyatakan batal demi hukum ;
Bahwa walaupun
dakwaan penuntut umum dinyatakan batal demi hukum, jaksa masih dapat
melimpahkan perkara terdakwa ke pengadilan dengan dakwaan yang memenuhi apa
yang dimaksud Pasal 143 ayat (2) sub (a) dan (b) KUHAP.
·
MARI No.1303
K/Pid/1986 tanggal 30 Maret 1989
Surat
dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum, karena dakwaan Jaksa kabur dimana
tidak diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan, hampir seluruhnya hanya berupa kutipan rumusan delik tanpa
diuraikan tentang perbuatan materiil apa yang dilakukan oleh para terdakwa
sebagai perwujudan unsur-unsur delik yang bersangkutan.
·
MARI No.1289
K/Pid/1984 tanggal 26 Juni 1987
Ternyata
dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa adalah batal demi hukum, karena
terdakwa didakwa mengenai dua perbuatan/tindak pidana yang berbeda, sekaligus,
yang seharusnya diajukan secara alternatif, yakni melanggar Pasal 378 KUHP atau
Pasal 372 KUHP, oleh karena itu terdakwa tidak dapat dipidana berdasarkan
dakwaan yang batal tersebut.
Catatan : Surat dakwaan kabur, karena dalam
dakwaan tunggal didakwakan dua tindak pidana. Isi surat dakwaan dibagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama menguraikan tentang dakwaan tindak pidana
penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan bagian kedua menguraikan tentang dakwaan
tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP), yaitu dengan menulis “Melanggar Pasal
372 Jo. 378 KUHP”.
·
MARI No.982
K/Pid/1988 tanggal 19 September 1990
Surat
dakwaan penuntut umum yang materinya menggabungkan dan mencampur adukkan
unsur-unsur delict yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya
satu sama lain, maka surat dakwaan yang demikian “batal demi hukum”. Surat
dakwaan kabur (tidak jelas) karena mencampuradukkan unsur-unsur pidana dari dua
ketentuan pidana yang berlainan dalam satu dakwaan. Pada dakwaan primair maupun
dakwaan subsidair, masing-masing mendakwakan perbuatan yang didasarkan pada
ketentuan yang berlainan.
Disamping
itu cara menguraikannya tidak memperhatikan antara rumusan delik dengan
perbuatan materiil yang didakwakan. Dalam dakwaan primair, tindak pidana yang
didakwakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf (b) UU No.3
tahun 1971, padahal kejahatan-kejahatan korupsi dalam Pasal 1 ayat (1) huruf
(a),(b),(c) dan (d) ini masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Demikian pula
dalam dakwaan subsidair, kejahatan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP dan Pasal
415 KUHP merupakan dua kejahatan yang berlainan dan berdiri sendiri-sendiri
sehingga tidak dapat didakwakan dalam satu dakwaan. Oleh karena itu surat
dakwaan yang penguraiannya campur aduk seperti di atas dinyatakan batal demi
hukum seluruhnya.
Surat
dakwaan yang batal demi hukum, maka diktum putusan Hakim adalah : “Tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima” dan bukan “terdakwa dilepas dari segala
tuntutan hukum (Ontslag van rechtvervolging)”.
Tuntutan
penuntut umum yang dinyatakan tidak diterima, oleh penuntut umum masih dapat
mengajukan lagi penuntutan terdakwa dengan surat dakwaan baru yang disusun
secara benar dan bukan ne bis in idem.
·
MARI No.1922
K/Pid/1987 tanggal 29 Mei 1991
Surat
dakwaan menjadi kabur karena memberi peran ganda kepada terdakwa. Bahwa
penuntut umum telah mencampuradukkan bentuk penyertaan (deelneming) ex. Pasal
55 ayat (1) ke-1 dan ke-2 KUHP dalam satu surat dakwaan sehingga surat dakwaan
tersebut menjadi kabur (obscuur libelle), yakni dalam dakwaan disebutkan : bahwa
ia terdakwa / pemohon kasasi sebagai orang yang melakukan (pleger), menyuruh
melakukan (doen pleger) atau ikut melakukan (mede pleger) perbuatan atau dengan
pemberian janji atau memberikan kesempatan, sarana atau keterangan dengan
sengaja telah menggerakkan membujuk orang lain yaitu Kamsah alias Kamsil, Radi
bin Wayat dan Djawad bin Sarwen untuk memberikan keterangan palsu di bawah
sumpah ……………. dan seterusnya. Dakwaan tersebut seharusnya terdakwa didakwa
melakukan perbuatan “membujuk orang lain dengan janji diberi upah” (uitlokken)
untuk melakukan sesuatu, sehingga dakwaan melanggar Pasal 55 ayat (1) ke-2 jo.
Pasal 242 ayat (1) KUHP.
·
MARI No.1052
K/Pid/1991 tanggal 25 Oktober 1993
“Surat
dakwaan harus dibatalkan karena delik yang sejenis dibuat dalam dakwaan
berbentuk kumulatif”.
·
MARI No.1530
K/Pid/1995 tanggal 30 Januari 1996
Hakim
dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa : “Mencabut hak terdakwa menjadi sopir
segala jenis kendaraan bermotor selama 20 (dua puluh) tahun”. Dasar hukum yang
dipakai Pasal 35 ayat (1) butir (6) KUHP dan Pasal 38 ayat (1) butir (2) dan
ayat (2) KUHP.
Hakim
juga dapat menerapkan pasal-pasal pemberatan hukuman seperti Pasal 64,65 dan
lain-lain walaupun tidak didakwakan. Oleh karena itu Pasal 361 KUHP tidak perlu
juga didakwakan dalam Dakwaan Kesatu Subsidair (Pasal 359 jo. Pasal 361 KUHP)
dan Dakwaan Kedua Subsidair (Pasal 360 ayat (2) jo. Pasal 361 KUHP).
Berdasarkan
Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHP yang perlu didakwakanadalah tindak pidana
(uraian tentang tindak pidana yang didakwakan) seperti : pembunuhan,
penganiayaan, penggelapan dan lain-lain. Isi Visum et Repertum dan Hasil
pemeriksaan laboratorium tidak perlu didakwakan. Cukup ditulis terlampir
dalam berkas perkara, karena hal itu nanti menjadi alat bukti dalam
tuntutan pidana. Demikian juga pasal-pasal 64, 65 dan 66 KUHP dapat diuraikan
dan dibuktikan dalam tuntutan pidana.
Catatan : Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias
Ucok Sitompul didakwa oleh penuntut umum ;
KESATU ;
Primair
: melanggar Pasal 338 KUHP
Subsidair
: melanggar Pasal 359 Jo. Pasal 361 KUHP
KEDUA
Primair
: melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP
Subsidair
: melanggar Pasal 360 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 361 KUHP.
·
MARI No.868 K/Pid/1994 tanggal 10 Agustus 1994
“Pengadilan
Tinggi tidak salah menerapkan hukum karena Pasal 64 dan 65 KUHP hanyalah
merupakan penentuan maksimum pidana yang dapat dijatuhkan, maka walaupun Pasal
64 KUHP tidak didakwakan, putusan Pengadilan Tinggi mengenai hal ini dapat
dibenarkan, karena pidana yang dijatuhkan (4 tahun 6 bulan) lebih rendah dari
maksimum hukuman menurut Pasal 263 Ayat (2) KUHP”.
Mengenai
Pasal 486 KUHP, MARI mempertimbangkan “tidak perlu disebutkan dalam amar
putusan”, cukup dalam pertimbangan putusan.
Memperbaiki
amar putusan Pengadilan Tinggi Riau : menyatakan terdakwa Fifi Gautama terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan klejahatan “Dengan sengaja
menggunakan surat palsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak palsu yang
penggunaan mana menimbulkan kerugian, dilakukan beberapa kali sebagai perbuatan
berlanjut”.
Catatan : Terdakwa Fifi
Gautama didakwa oleh penuntut umum melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal
65 ayat (1) KUHP jo. Pasal 486 KUHP. PN Batam dan PT Riau menyatakan terdakwa
terbukti melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP dengan kualifikasi “dengan sengaja
menggunakan surat palsu seolah-olah tidak palsu sebagai perbuatan berlanjut”
(voorgezette handeling). Pertimbangannya : walaupun Pasal 64 ayat (1) KUHP tidak
didakwakan, tidak berarti terdakwa harus dibebaskan, karena unsur-unsur Pasal
64 dan Pasal 65 KUHP hanya merupakan
pasal-pasal sebagai pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam menjatuhkan berat
ringannya hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
Penasihat Hukum
mohon kasasi dengan alasan karena yang terbukti adalah Pasal 64 ayat (1) dan
bukan Pasal 65 ayat (1) yang berarti terdakwa harus dibebaskan karena dakwaan
tidak terbukti sedang Pengadilan Tinggi memidana terdakwa berdasarkan dakwaan
yang tidak terbukti. Jadi Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum. Terhadap
permohonan dan alasan kasasi tersebut, MARI telah mengeluarkan putusannya
sebagaimana tersebut di atas.
Menurut Selamat
Purba SH (dalam bukunya : “Mencegah Batalnya Surat Dakwaan Demi Hukum”,
CV.Sumber Ilmu Jaya, Oktober 2002, hal.43,89,119,120,), berdasarkan putusan
MARI tersebut dapatlah diperoleh kesimpulan sbb ;
Pasal-pasal
yang sifatnya memperberat ancaman pidana tidak harus didakwakan. Pemberatan
secara umum : diatur dalam Pasal 64, 65 dan 66 dll, sedangkan pemberatan
secara khusus : diatur dalam pasal-pasal tertentu di KUHP dan dalam
undang-undang di luar KUHP misalnya Pasal 361 dan Pasal 486 KUHP (residive).
Jika akan menuntut hukuman lebih tinggi dari maksimum pidana materiel yang
didakwakan (misalnya pasal 362 KUHP, 372 KUHP dsbnya), pasal-pasal tersebut
dimasukkan dalam Tuntutan Pidana (Requisitoir). Misalnya menggunakan kalimat
“Karena Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua telah terbukti, maka bagi terdakwa
berlakulah Pasal 65 KUHP”.
Memuat
ataupun tidak memuat pasal-pasal pemberatan tersebut dalam Surat Dakwaan
tidak mengakibatkan Surat Dakwaan itu batal demi hukum, karena tidak termasuk
pengertian “tindak pidana yang didakwakan” dalam Pasal 143 ayat (2) huruf (b)
KUHAP.
Dalam
Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP, tidak diatur hal-hal sebagai berikut :
·
Wilayah / daerah hukum pengadilan negeri. Yang harus
disebutkan “tempat tindak pidana itu dilakukan”.
·
Uraian hasil pemeriksaan mayat (Visum et Repertum)
dan hasil pemeriksaan Laboratorium (narkoba, surat palsu, dll). Baik Visum
maupun hasil Laboratorium berfungsi sebagai alat bukti yang diperlukan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karenanya dalam Surat Dakwaan cukup
ditulis sebagai berikut : “meninggalnya korban adalah sebagai akibat perbuatan
terdakwa sesuai Visum et Repertum (terlampir dalam berkas perkara)” atau
“sabu-sabu tersebut adalah Psikotropika sesuai hasil pemeriksaan Laboratorium
(terlampir dalam berkas perkara)”.
·
MARI No.86
K/Pid/1982 tanggal 31 Maret 1983
Karena
Dakwaan Pertama (Pasal 317 KUHP) dan Dakwaan Kedua (Pasal 311 KUHP) adalah
sejenis, dakwaan tersebut seharusnya bersifat alternatif ; Oleh karena itu
dengan telah terbuktinya Dakwaan Pertama, Dakwaan Kedua tidak perlu
dipertimbangkan lagi).
·
MARI No.33
K/Mil/1985 tanggal 15 Februari 1986
Karena
surat dakwaan tidak dirumuskan secara lengkap dan tidak cermat, dakwaan
dinyatakan batal demi hukum.
·
MARI No.492
K/Kr/1981 tanggal 8 Januari 1983
Pengadilan
Tinggi telah tepat dengan pertimbangannya, bahwa tuduhan yang samar-samar /
kabur harus dinyatakan batal demi hukum.
·
MARI No.731
K/Pid/1984 tanggal 4 April 1985
Pemeriksaan
cepat sebagaimana termaksud dalam Pasal 205 KUHAP, ialah terhadap
perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3
bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah, sedangkan
ancaman hukuman sebagaimana termaksud dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah
paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp 300,- maka sesuai Pasal 203
KUHAP perkara ini seharusnya diperiksa dengan Acara Singkat
karena terdakwa dituntut berdasarkan dakwaan Pasal 310 ayat (1) KUHP.
·
MARI No.1174
K/Pid/1994
Bahwa
tidak dibenarkan terdakwa bergantian dijadikan saksi. Alasannya : “….. para
saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang sama dengan dakwaan
yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara pidana yang
menjungjung tinggi hak asasi manusia”.
Catatan : Menurut Prof.Dr.Andi Hamzah, Sh (dalam
bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi Juli 2002, Sinar Grafika,
Hal.162), bergantian menjadi saksi bukanlah saksi mahkota (kroongetuige).
Saksi mahkota berarti salah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan
kesalahnnya) dijadikan (“dilantik”) menjadi saksi, jadi seperti diberi mahkota,
yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi. Hal ini dibolehkan berdasarkan
adagium, bahwa jaksa adalah dominus litis dalam penuntutan terdakwa.
·
MARI No.47 K/Kr/1956
tanggal 28 Maret 1957
“Yang
menjadi dasar pemeriksaan oleh Pengadilan ialah surat tuduhan dan bukan tuduhan
yang dibuat oleh Polisi”.
Catatan : Menurut Prof.Dr.Andi Hamzah, SH. (dalam bukunya : Hukum Acara
Pidana Indonesia, Edisi Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.166), dengan
demikian maka pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal
UU pidana yang menjadi dasarnya, tidak mengikat penuntut umum untuk
mengikutinya. Penuntut umum dapat mengubah pasal UU yang disebut oleh polisi
itu untuk menyesuaikan dakwaan dengan fakta-fakta dan data dan menyusun dakwaan
berdasarkan perumusan delik tersebut.
· Arrest HR tanggal 30 April 1888 (W.5557)
Dimana-mana
pun dalam undang-undang tidak diharuskan supaya dakwaan dalam menyebut delik
harus memuat kata-kata yang sama dengan yang dipakai dalam pasal undang-undang
yang harus ditetapkan”.
Catatan : Menurut
Prof.Dr.Andi Hamzah, Sh (dalam bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi
Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.172), Kata-kata yang dipakai dalam surat
dakwaan sebaiknya kata-kata sehari-hari yang mudah dimengerti, tetapi bertautan
dan berseanyaman dengan istilah-istilah yuridis yang ada dalam undang-undang
pidana yang diterapkan itu.
Walau kata-kata
dalam undang-undang itu sama dengan pengertian sehari-hari, maka dapat langsung
dipakai kata-kata itu dalam surat dakwaan. Kata-kata dalam undang-undang yang
sama artinya dengan kata-kata sehari-hari misalnya “memiliki” dalam delik
pencurian (Pasal 362 KUHP), delik penggelapan (Pasal 372 KUHP), “karena kurang
hati-hati”, “karena kelalaian besar terdakwa”, “dengan sangat nekat dan kurang
hati-hati”, semuanya dalam delik kelalaian. Dalam hal itu tidak perlu
dijelaskan dalam dakwaan apa itu “memiliki, kurang hati-hati, karena kelalaian
besar terdakwa, dengan sangat nekat dan kurang hati-hati” itu. Sebaiknya yang
tidak mempunyai arti sehari-hari ialah kata-kata “tipu muslihat”, “ada dibawah
kuasanya bukan karena kejahatan”, “dalam melakukan hak jabatannya”.
·
MARI No.15 K/Kr/1969
tanggal 13 Februari 1971
“Perubahan
surat tuduhan yang dimaksud oleh Pasal 282 HIR adalah perubahan yang tidak
mengakibatkan timbulnya perbuatan pidana lain”.
Catatan : Sejauhmana ruang
lingkup perubahan surat dakwaan ? Apakah mungkin
perubahan dakwaan mengenai materiel feit
(kejadian materiil). Atau untuk lebih tegas, apakah perubahan surat dakwaan
mungkin terjadi dari sesuatu dakwaan semula yang tidak merupakan tindak pidana,
berubah menjadi tindak pidana ?
Menurut M.Yahya Harahap, SH (dalam bukunya : Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika,
hal.446, Edisi Kedua Oktober 2002), terhadap pertanyaan di atas KUHAP tidak
memberi penggarisan. Baik Pasal 144 KUHAP maupun penjelasannya tidak mengatur
sampai dimana perubahan surat dakwaan dapat dilakukan.Oleh karena itu, sebagai
bahan perbandingan dan orientasi, ada baiknya dilihat ketentuan yang diatur
dalam HIR. Pada Pasal 76 HIR, tegas-tegas melarang perubahan surat dakwaan yang
bisa mengakibatkan perubahan materiel feit. Perubahan surat dakwaan
tidak boleh mengakibatkan sesuatu yang semula merupakan tindak pidana, menjadi
tindak pidana yang lain. Artinya perubahan dakwaan tidak boleh
mengakibatkanunsur-unsur tindak pidana semula berubah menjadi tindak pidana
baru. Misalnya, semula surat dakwaan berisi materiel fiet pencurian kemudian
perubahan dakwaan mengalihkan dakwaan pencurian menjadi tindak pidana
penggelapan atau penipuan.
Untuk memahami putusan MARI tersebut di atas, dapat dibuat
ringkasan sebagai berikut :
Putusan PT dan PN harus dinyatakan batal, karena putusan-putusan
tersebut didasarkan pada tuduhan hasil perubahan yang terlarang yang dilakukan
oleh PN dealam sidang tanggal 19Januari 1966 terhadap surat tuduhan asli yang
telah disusun oleh Kejaksaan Negeri dalam perkara ini.
Bahwa PN mendasarkan kekuasaannya untuk mengubah surat tuduhan itu
atas Pasal 282 HIR.
Bahwa Pasal 282 HIR memberi kekuasaan untuk mengubah surat tuduhan
dengan sesuatu pembatasan, yaitu jangan sampai akibat perubahan itu perbuatan
pidana yang dituduhkan berubah menjadi perbuatan pidana lain.
Bahwa menurut pendapat MARI “menyuruh berbuat” yang dituduh semula kepada para terdakwa
adalah suatu perbuatan pidana lain daripada “membujuk untuk berbuat”
sebagaimana tuduhan setelah terjadinya perubahan yang dilakukan oleh pengadilan.
Bahwa bukankah objek daripada tuduhan yang pertama adalah
orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, sedang dalam
tuduhan yang baru objek itu merupakan orang-orang yanag dapat
dipertanggungjawabkan.
Bahwa akibat kesalahan PN tersebut maka batallah sebuah perbuatan
hukum / pemeriksaanyang telah dilakukan oleh Hakim Pengadilan berikut
putusan-putusan yang telah dijatuhkan kepada parea pemohon kasasi / para
terdakwa, sehingga perlulah pemeriksaan-pemeriksaan beserta putusan-putusan
baik olehPengadilan Negeri maupun oleh Pengadilan Tinggi dalam perkara ini
diulangi kembali.
·
Arrest HR tanggal 12
Juni 1939 (NJ.1939 hal.1601)
Jika
dakwaan tetap menurut perbuatan yang sama hanya ada perbedaan mengenai waktu
terjadinya delik, maka dapat diadakan perubahan dakwaan. terdakwa di sidang
Pengadilan Negeri telah mengaku atas segalanya yang didakwakan (dituduhkan)
kepadanya, maka oleh karena demikian hakim cukup mendengar seorang saksi
saja”.
Catatan : Menurut
Prof.Dr.Andi Hamzah, Sh (dalam bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi
Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.178-179), dalam hal ini dapat dikemukakan
Contoh sebagai berikut : Dakwaan mengenai pembunuhan terjadi pada tanggal 12
April 1983, menurut redaksi pertama diubah menjadi tanggal 13 April 1983, maka
hal itu diperbolehkan. Akan tetapi jika disamping waktu tersebut, diubah pula
pembunuhan menjadi penganiayaan yang mengakibatkan kematian, maka tentu hal
tersebut tidak diperbolehkan, karena perbuatan (feit) telah diubah dari
pembunuhan menjadi penganiayaan.
Begitu
perlu perubahan kata-kata atau redaksi diperbolehkan asal tidak mengubah macam
perbuatan yang didakwakan. Begitu pula perubahan surat dakwaan dari yang
tunggal menjadi alternatif diperbolehkan asal mengenai perbuatan yang sama,
yang biasa disebut delik berkualifikasi dalam hukum pidana. Delik
berkualifikasi misalnya delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP) menjadi pembunuhan
berencana (Pasal 340 KUHP) ; penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHP) menjadi
penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat (1) KUHP) ………….dll.
· Arrest HR tanggal 26 Agustus 1911 (W.9224)
Hakim
hendaknya jangan terlampau cepat mempertimbangkan pembatalan surat dakwaan,
kecuali kalau benar-benar waktu dan tempat serta penyebutan delik yang
dilakukan tidak disebut. Jika ternyata dakwaan itu tidak mengandung suatu
delik, maka sebenarnya bukan pembatalan surat dakwaan, tetapi putusan lepas
dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).
·
MARI No.510
K/Pid/1988 tanggal 28 April 1988
Istilah
“wajib” menunjuk penasihat hukum seperti dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP bersifat
“imperatif”. Ketentuan ini tertuju kepada “Pejabat” pada semua tingkatan
pemeriksaan. Ketentuan ini berlaku tertuju kepada terdakwa yang masih mempunyai
hak untuk menolak penunjukkan tersebut atau bahkan boleh menolak untuk
didampingi oleh seorang penasihat hukum. Maka meskipun ada ketentuan “wajib”
tersebut, terdakwa masih mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri sikapnya
mengenai “mau” atau “tidak mau” didampingi seorang penasihat hukum meskipun itu
atas penunjukkan hakim.
·
MARI No.697
K/Pid/1986 tanggal 29 Februari 1988
Bahwa
meskipun kedudukan pabrik selaku penjual barang berkedudukan di Surabaya, akan
tetapi oleh karena transaksi dagang ini terjadinya di toko terdakwa yang
berkedudukan di Surakarta (pesanan barang melalui salesman, penyerahan barang
dan pembayarannya di Surakarta), maka menurut pendirian MARI, “locus delicti”
adalah di kota Surakarta, sehingga Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang
memeriksa dan mengadili perkara ini.
Catatan : Terhadap locus delicti dikenal 4
ajaran (Komentar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana - Buku Pedoman
Mahasiswa dan Praktisi, Drs Hari Sasangka SH & Lily Rosita SH, cv. Mandar
Maju, cetakan II 2003, hal.113) :
Ajaran mengenai
tindakan secara pribadi (Noyon dan Zevenbergen)
yang memandang sebagai locus delicti adalah tempat seorang
pelaku saat melakukan sendiri tindakannya yang dilarang.
Ajaran mengenai
alat (Moderman)
yang
harus dipandang sebagai locus delicti adalah terutama tempat seorang
pelaku itu melakukan sendiri tindakannya yang dilarang oleh undang-undang, akan
tetapi apabila untuk melakukan tindakan yang dilarang itu dengan menggunakan
sebuah alat, maka tempat alat tersebut bekerja harus dipandang sebagai locus
delicti dari tindak pidana yang ia lakukan.
Ajaran mengenai
akibat (Von List dan Van Deinse)
yang harus dipandang sebagai locus delicti
adalah tempat suatu tindak pidana itu telah menimbulkan akibat. Akibat tersebut
dapat merupakan akibat yang secara langsung telah ditimbulkan oleh suatu tindak
pidana, akan tetapi ia juga dapat merupakan akibat yang timbulnya merupakan
syarat untuk selesainya suatu tindak pidana.
Ajaran mengenai tempat yang berbeda-beda (Van Hamel dan Simon)
yang
harus dipandang sebagai locus delicti adalah :
1.
Tempat seorang pelaku telah melakukan sendiri
perbuatannya yang dilarang dan diancam pidana ;
2.
Tempat alat yang dipergunakan oleh seorang pelaku
dan alat tersebut telah bekerja ;
3.
Tempat dimana akibat dari sesuatu perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana telah timbul ;
4.
Tempat dimana suatu akibat konstitutif itu telah
timbul
·
MARI No.1849
K/Pid/1990 tanggal 22 Oktober 1990
Bahwa
menurut surat dakwaan Jaksa, para terdakwa telah melakukan kejahatan di Desa
Klari Kerawang, yaitu Primair melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-1 dan ke-2
KUHP, Subsidair melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP.
Bahwa
penahanan para terdakwa dilakukan POLDA Metro Jaya, KEJATI DKI Jaya dan PN
Jakarta Barat di Rutan Salemba.
Bahwa
terakhir dengan Penetapan Perpanjangan Penahanan oleh Ketua PN Jakarta Barat
Nomor : 02/B/Pen.Pid/1990/PN.Jkt.Bar tanggal 2 Januari 1990 selama 60 hari.
Karena
Jaksa banding terhadap putusan PN Jakarta Barat, penahanan selanjutnya
dilakukan oleh PT Jakarta.
Bahwa
Rutan Salemba (Rutan Cipinang) sebagaimana diketahui adalah merupakan tempat
untuk semua terdakwa yang diduga bersalah melakukan kejahatan di DKI Jakarta.
Tidak ada Rutan khusus Jakarta Pusat, Utara, Timur, Barat atau Selatan.
Bahwa sesuai dengan berita acara
penyidikan yang akan diperiksa sebagai saksi dalam perkara terdakwa perkara
ini, sebagian besar saksi tersebut bertempat di kediaman di Jakarta Barat yaitu
di Jl. Raya Mangga Dua Nomor 19C Rt.008/04 Kel. Pinangsia Jakarta Barat.
Bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal
tersebut di atas, sesuai dengan Pasal 184 ayat (2) KUHAP, demi terselenggarakan peradilan yang
sederhana cepat dan biaya ringan, MARI berpendapat bahwa PN Jakarta Barat
berwenang memeriksa / mengadili perkara para terdakwa tersebut.
·
MARI No.1976
K/Pid/1988 tanggal 20 Juli 1991
Untuk
dapat menggabungkan gugatan ganti rugi uang dengan pemeriksaan perkara pidana
yang sedang ditangani oleh hakim pidana dalam satu paket pemeriksaan sebagaimana
yang dimaksud Pasal 93 KUHAP, maka hakim wajib dan harus memperhatikan yaitu
bahwa gugatan ganti rugi uang yang dituntut oleh saksi korban tersebut adalah
merupakan uang pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh saksi korban yang
dirugikan. Tuntutan / gugatan ganti rugi selain itu, tidak diperkenankan
diperiksa melalui jalur Pasal 98 KUHAP.
·
MARI No.1071
K/Pid/1988 tanggal 27 Juli 1989
Bahwa
penuntut umum berdasarkan ketentuan Pasal 143 KUHAP melimpahkan perkara
terdakwa I, II, III, IV dan V ke Pengadilan Negeri dalam arti lengkap berkas
perkaranya, beserta surat dakwaannya, dengan permintaan agar segera mengadili
perkara terdakwa tersebut.
Bahwa
untuk perkara ini penuntut umum menggunakan Pasal 141 KUHAP, sebagai salah satu
pilihan yang dianggapnya tepat, yaitu melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaandan bukan seperti yang diatur dalam Pasal
142 KUHAP, yaitu melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara
terpisah.
Bahwa
dimuka persidangan terdakwa I telah mengakui melakukan salah satu perbuatan
yang didakwakan kepadanya yaitu membunuh korban, akan tetapi pengakuan saja
tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus berdasarkan alat-alat bukti yang lain.
Bahwa
oleh karena penuntut umum melimpahkan perkara terdakwa I, II, III, IV dan V ke
Pengadilan Negeri dengan menggunakan Pasal 141 KUHAP yaitu melakukan
“penggabungan perkara” dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, maka
berdasarkan Pasal 189 ayat (3) KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan dalam
persidangan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan tidak dapat
dipergunakan untuk menerangkan tentang apa yang dilakukan oleh terdakwa
lainnya.
·
MARI No.66 K/Kr/1967
tanggal 25 Oktober 1967
Pemecahan
perkara (splitsing) dilakukan sehubungan dengan kurangnya saksi yang
menguatkan dakwaan penuntut umum, karena tersangka tersebut memungkiri dakwaan
penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit diketemukan sehingga satu-satunya
jalan adalah mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka
lainnya. Untuk itu haruslah diadakan penambahan pemeriksaan terhadap tersangka
yang dijadikan saksi. Pemeriksaan seperti ini dibenarkan oleh MARI.
Catatan : Namun demikian kelemahan dalam pemeriksaan
seperti ini sering mengakibatkan terjadinya pemberian keterangan palsu,
sehingga ada kemungkinan saksi tersebut dikenakan Pasal 242 KUHP. Saksi yang
diajukan seperti tersebut di atas disebut saksi mahkota (kroongetuige).
·
MARI No.1986 K/Pid/1989
tanggal 21 Maret 1990
Bahwa
penuntut umum boleh mengajukan teman terdakwa sebagai saksi yang disebut saksi
mahkota (kroongetuige), asalkan perkara terdakwa dipisahkan dari perkara
saksi tersebut. Terdakwa dan saksi tidak dalam satu berkas perkara.
·
MARI No.2436
K/Pid/1988 tanggal 2 Mei 1990
Bahwa
dakwaan-dakwaan dalam perkara ini tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal
143 ayat (3) huruf (b) KUHAP karena tidak berisi uraian secara cermat, jelas
dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan ;
Bahwa
yang didakwakan dalam Dakwaan I mengenai Pasal 362 jo. 55 ayat (1) KUHP namun
dalam uraiannya tidak menyebutkan dasar tindak pidana pencurian yang vital
sekali dan lebih-lebih dalam perkara ini merupakan masalah yang urgen sekali
ialah unsur dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum ;
Bahwa
demikian pula dalam Dakwaan II mengenai Pasal 406 jo 55 ayat (1) KUHP, dalam
uraiannya juga disebut “memberi kesempatan dan daya upaya” hal mana bukan unsur
Pasal 55 ayat (1), melainkan Pasal 56 KUHP, ialah tindak pidana “membantu” ;
Bahwa
dengan demikian berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP maka dakwaan-dakwaan
tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.
· MARI No.8 K/Kr/1969 tanggal
18 Juli 1970
Ø “Didalam tuduhan terutama sebenarnya terdapat 2 macam tuduhan
yaitu tuduhan Pasal 340 dan Pasal 338 KUHP. Sebaiknya dua macam tuduhan
tersebut diatur dalam bentuk tuduhan primair dan subsidiair,
tetapi tuduhan terutama itu tidak dapat dikatakan salah”.
· Arrest HR 26 Januari 1942
(NJ.1942 No.537)
Ø “Suatu surat dakwaan yang memuat pemberian bantuan yang tidak jelas,
batal”.
· Arrest HR 17 November 1941
Ø Dianggap kurang memenuhi syarat adalah kualifikasi sebagai berikut :
bahwa pegawai negeri tersebut dalam menjalankan tugasnya yang sah,
karena tidak dijelaskan perbuatan yang memperjelas kualifikasi.
· Arrest HR 23 April 1961
(NJ.1970 No.13-14)
Ø “……. Tuduhan tersebut tidak cukup jelas menguraikan perbuatan
konkrit dari terdakwa, karena didalamnya tidak sedikitpun diuraikan bagaimana
caranya dan dengan alat apa terdakwa dapat masuk ke stasiun bensin tersebut,
sedang istilah memasuki saja tidaklah cukup untuk menguraikan perbuatan
yang dilakukan, karena memasuki dapat terjadi dengan bermacam-macam
cara”. Tuduhan demikian dibatalkan.
· Arrest HR 23 Oktober 1951
(NJ.1952 No.4)
Ø “Tidak berarti bahwa dakwaan subsidiair hanya diperiksa jika dakwaan
primair tidak terbukti, dalam hal dakwaan primair tidak diputuskan dengan
pemidanaan, hakim juga harus memeriksa dakwaan subsidiair”.
· Arrest HR 23 Desember 1907
(W.8635)
Ø “……. jika ternyata perbuatan yang dituduhkan itu tidak merupakan merupakan
tindak pidana maka haruslah maka haruslah diputuskan pembebasan dari tuntutan,
bukan pembatalan surat dakwaan (bukan obyek eksepsi/keberatan terdakwa)”.
· Arrest HR 27 Juni 1938
(NJ.1939 hal.243)
Ø “……. Kata-kata dengan sengaja dan melawan hukum bukan
hanya kwalifikasi tapi juga merupakan pengertian yang nyata (Artinya tidak
perlu diuraikan)”.
· Arrest HR 3 Desember 1928
(NJ.1929)
Ø “Jika tuduhan primair tidak memenuhi syarat karena tidak jelas
dirumuskan perbuatan yang dituduhkan, maka seluruh tuduhan akan batal, sebab
maksud tuduhan subsidiair adalah jika tuduhan primair tidak terbukti baru
tuduhan subsidiair dibuktikan”.
· Arrest HR 23 Oktober 1951
(NJ.52 No.4)
Ø “……. Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan
unsur-unsur pemerasan Pasal 368 KUHP bersama-sama unsur-unsur penipuan Pasal
378 KUHP, merupakan kesalahan essensial dan menyebabkan tuduhan tersebut
batal”.
· Arrest HR 19 Juni 1951
Ø Kualifikasi juridis yang mempunyai arti yang nyata sehingga tidak
memerlukan penguraian lebih lanjut : “menjalankan kendaraan dengan sangat
sembrono dan tidak berhati-hati”. Dengan demikian kalimat ini dapat dimasukkan
dalam surat dakwaan tanpa penguraian lebih lanjut.
· Arrest HR 12 Februari 1946
Ø Kualifikasi juridis yang mempunyai arti yang nyata sehingga tidak
memerlukan penguraian lebih lanjut : “bahwa terdakwa patut dan harus menyangka
bahwa barang-barang tersebut adalah diperoleh dari hasil kejahatan”. Dengan
demikian kalimat ini dapat dimasukkan dalam surat dakwaan tanpa penguraian
lebih lanjut.
· Arrest HR 8 Maret 1937
Ø Pengertian “perbuatan” atau “feit” ternyata oleh doktrin dan
yurisprudensi ditafsirkan sebagai “handeling” atau “perilaku” atau “perbuatan
yang mempunyai arti untuk hukum pidana. Karena penuntut umum-lah yang membuat
surat dakwaan, maka penuntut umum-lah yang menentukan apakah sesuatu perbuatan
itu dianggap sebagai tindak pidana (strafbaarfeit). Dan apakah itu tindak
pidana (strafbaarfeit) atau bukan, Hakim-lah yang harus memutuskannya.
Ø Jika ternyata “perbuatan” atau “feit” yang didakwakan itu bukan
tindak pidana (strafbaarfeit), maka Hakim harus memutuskannya dengan pelepasan.
· MARI No.81 K/Kr/1956 tanggal
9 November 1957
Ø
“Jika terdakwa di sidang
Pengadilan Negeri telah mengaku atas segalanya yang didakwakan (dituduhkan)
kepadanya, maka oleh karena demikian hakim cukup mendengar seorang saksi
saja”.
· MARI No.168 K/Kr/1956 tanggal
4 Februari 1958
Ø “Jika Pengadilan Negeri membebaskan terdakwa dari tuduhan primair
dan subsidiair, akan tetapi menghukum terdakwa karena tuduhan lebih
subsidiair, maka berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Darurat No.1
tahun 1951 terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut di atas yang mengenai
tuduhan primair dan subsidiair tidak dapat diminta banding dan
karena ini Pengadilan Tinggi tidak dapat lagi mempergunakan tuduhan primair dan
subsidiair sebagai dasar untuk menghukum terdakwa”.
Catatan : Menurut Dr.Andi
Hamzah, SH. (dalam bukunya : “Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan
Praktek Penahanan-Dakwaan-Requisitoir”
PT.RINEKA CIPTA, Jakarta 1994 Hal.89), meskipun Undang-Undang (Drt) No.1 tahun
1951 tersebut sekarang tidak berlaku, namun ketentuan tersebut sama dengan
ketentuan Pasal 167 KUHAP yang mengatakan bahwa terdakwa atau penuntut umum
berhak untuk minta banding terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan
pengadilan dalam acara cepat. Dengan demikian putusan MA ini masih relevan
sekarang ini.
· MARI No.96 K/Kr/1960 tanggal
3 Januari 1961
Ø “Siapakah yang harus dituntut tergantung dari jaksa yang
bersangkutan, hal mana merupakan suatu kebijaksanaan dalam penuntutan, yang
dipertanggungjawabkan kepada atasannya oleh jaksa tersebut”.
· MARI No.492 K/Kr/1981 tanggal
8 Januari 1983, dalam perkara : Wander bin Undang, dkk.
Ø
Penuntut umum dalam surat
dakwaannya menguraikan : “Bahwa
mereka tersangka-tersangka pada tanggal 31 Januari 1979 atau setidak-tidaknya
pada suatu hari didalam tahun 1979 dirumahnya Nyakar/Panji kampung Lambing
Kecamatan Muara Lawa Kabupaten Kutai setidak-tidaknya disuatu tempat termasuk
wilayah hukum Pengadilan Negeri Tenggarong, dengan sengaja telah melakukan
perjudian dengan mempergunakan alat cekky dengan taruhan bungkus rokok yang
sewaktu-waktu dapat ditukarkan dengan uang, atau setidak-tidaknya mereka
tersangka-tersangka melakukan permainan judi itu dengan berdasarkan pengharapan
buat menang pada umumnya bergantung kepada sifat untung-untungan saja”.
Ø
MARI berpendapat tuduhan
tersebut selain tidak lengkap menyebutkan unsur-unsur delik permainan judi
(hazardspel) yaitu antara lain element zonder gerechtigd (tanpa mendapat
izin), juga terhadap perbuatan material dari delik tadi tidak memberikan suatu voldoendo
on duidelijke apgavc van het feit, dari unsur ini yakni tidak menjelaskan,
menguraikan secara jelas dan tepat bagaimana cara-cara permaianan judi telah
dilakukan oleh dan diantara terdakwa-terdakwa, jadi tidak cukup hanya menyebut
dengan mempergunakan alat cekky, tapi bagaimana caranya alat cekky itu dipakai
dan dipergunakan dengan peramaian hingga mendapat kemenangan dan seterusnya.
Sehingga oleh karena itu harus dinyatakan batal demi hukum.
·
MARI No.32 K/Kr/1960 tanggal 23 Januari 1962
Ø “Dengan memutusnya lain
dalam banding daripada Hakim pertama tidak denghan sendiri Hakim
banding lalu mengubah tuduhan secara yang melanggar undang-undang
Hukum karena Hakim banding tidak selalu dapat menguatkan putusdan Hakim
pertama saja”.
· MARI No.72 K/Kr/1969 tanggal 17 Maret 1962
Ø “Suatu tuduhan mengenai penganiayaan berat atau penganiayaan biasa
yang direncanakan lebih dahulu tidak terbukti, terdakwa dipidana penganiayaan
ringan”.
· MARI No.10 K/Kr/1969 tanggal
5 November 1969
Ø “Pencantuman kata sengaja dalam tuduhan mengenai Pasal 1
Undang-Undang No.12 (Drt) tahun 1951, tidak mengakibatkan batalnya tuduhan
tersebut, tetapi cukuplah untuk menganggap kata dengan sengaja yang
diuraikan dalam surat tuduhan sebagai tidak tercantum”.
· MARI No.63 K/Kr/1975 tanggal
17 Maret 1976
Ø “Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum acara
yang berlaku karena tidak mempertimbangkan tuduhan-tuduhan subsidiair dan
subsidiair lag, setelah tuduhan primair dinyatakan tidak terbukti”.
· MARI No.92 K/Kr/1973 tanggal
4 Agustus 1976
Ø “Tidak perlu dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi bahwa terdakwa
tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan melanggar Pasal 299 KUHP, karena Pasal
299 KUHP ternyata tidak dirumuskan”.
· MARI No.68 K/Kr/1973 tanggal
16 Desember 1976
Ø “Putusan pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan, yang dalam
perkara ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam
surat tuduhan lebih banyak pada pasal 310 KUHP”.
· MARI No.351 K/Kr/1980 tanggal
21 Januari 1981
Ø “Pernyataan terbukti tuduhan subsidiair membantu melakukan
pembunuhan berencana oleh judex facti tidak dilakukan atas dasar
surat tuduhan dan pemeriksaan dipersidangan karena judex facti tidak
mempertimbangkan tuduhan primair yaitu turut melakukan pembunuhan berencana
sebagaimana terbukti dipersidangan bahwa antara terdakwa-terdakwa terdapat
kerja sama secara sadar dan mereka bersama-sama melakukan kejahatan ex. Pasal
340 KUHP”.
· MARI No.104 K/Kr/1971 tanggal
31 Januari 1973 dalam perkara : Rinie
Junias Tutuk.
Ø “Putusan Pengadilan Negeri / Pengadilan Tinggi harus dibatalkan
karena tuduhan merupakan obscure libelle yang hanya mengemukakan rumusan
delik pasal 378 KUHP tanpa mengkhususkan tentang perbuatan-perbuatan tertuduh
yang dianggap menipu dalam arti Pasal 378 KUHP”.
Ø Bahwa dalam tuduhan kedua di atas ternyata tidak disebutkan semua
delik Pasal 378 KUHP dan meskipun disebutkan waktu dan tempat perbuatan
dilakukan tetapi tidak dengan jelas dan tepat dilakukan hal-ikhwal terdakwa ;
Ø Bahwa dengan demikian tuduhan kedua tersebut selain tidak memenuhi
syarat-syarat formal, karena tidak jelas dan tepat sangat menyulitkan bagi
terdakwa dalam menggunakan haknya membela diri ;
Ø Bahwa oleh karena itu tuduhan tersebut harus dinyatakan batal.
· MARI No.41 K/Kr/1973 tanggal
25 Januari 1975
Ø “Bahwa dalam tuduhan kedua diatas ternyata tidak disebutkan semua
unsur delik Pasal 378 KUHP dan meskipun disebutkan waktu dan tempat perbuatan
dilakukan tetapi tidak dengan jelas dan tepat dilukiskan hal-ikhwal perbuatan
terdakwa. Bahwa dengan demikian tuduhan kedua tersebut selain tidak memenuhi
syarat-syarat formil, karena tidak jelas dan tepat sangat menyulitkan bagi
terdakwa dalam menggunakan haknya membela diri”.
· MARI No.74 K/Kr/1973 tanggal
10 Desember 1974
Ø “Tindak pidana penggelapan secara principieel berbeda dengan
tindak pidana penipuan. Ia harus dengan tegas dirumuskan dalam tuduhan dan
tidak cukup menunjuk kepada tuduhan primair saja”.
· MARI No.42 K/Kr/1956 tanggal
3 Oktober 1956
Ø “Dalam tuduhan atas pembunuhan berencana termasuk pula
tuduhan atas pembunuhan karena pembunuhan berencana tidak lain daripa
pembunuhan yang telah direncanakan lebih dulu dengan ketenangan hati. Maka
orang yang dituduh melanggar Pasal 340 KUHP tetapi di sidang hanya terbukti
bersalah melanggar Pasal 338 KUHP, ia dapat dipersalahkan atas kejahatan pembunuhan”.
· MARI No.71 K/Kr/1968 tanggal
10 Mei 1969
Ø “Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur-unsur
pemerasan Pasal 368 KUHP bersama-sama unsur-unsur penipuan Pasal 378 KUHP
merupakan kesalahan yang esensial yang menyebabkan tuduhan tersebut batal”.
· MARI No.105 K/Kr/1975 tanggal
8 Januari 1975
Ø “Untuk kepentingan pemeriksaan perkara Jaksa berwenang untuk
mengajukan perkara secara terpisah-pisah, sedang Hakim hanya berwenang untuk
menyatukan perkara-perkara (voegen) dipersidangan (ter terechtzitting) dalam
perkara-perkara tolakan (i.c. perkara diajukan secara summir)”.
· MARI No.60 K/Kr/1967 tanggal
25 Oktober 1967
Ø “Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : bahwa karena penuntut
kasasi oleh Pengadilan Negeri telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan pencurian
sebagaimana dituduhkan dalam tuduhan primair, ia tidak dapat lagi oleh
Pengadilan Tinggi dipersalahkan atas kejahatan penadahan yaitu perbuatan
yang dituduhkan dalam tuduhan subsidair tidak dapat dibenarkan : karena
dalam perkara yang tuduhan-tuduhannya dibuat secara alternatif, tuduhan subsidair
baru diperhatikan setelah tuduhan primair dinyatakan sebagai tidak
terbukti, seperti halnya yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dalam perkara
ini”.
· MARI No.65 K/Kr/1975 tanggal
17 Maret 1976
Ø “Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan
hukum acara yang berlaku karena tidak mempertimbangkan tuduhan-tuduhan
subsidair, subsidair lagi, setelah tuduhan primair dinyatakan tidak terbukti”.
· MARI No.767 K/Kr/1986 tanggal
6 Juli 1988
Ø Bahwa atas keberatan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa
keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan
Tinggi tidak salah menerapkan suatu peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya.
Bahwa namun demikian putusan Pengadilan Tinggi
stan \\
· MARI No.41 K/Kr/1973 tanggal
25 Januari 1975, dalam perkara : Andi Tatang Anwar.
Ø Tindak pidana penggelapan secara prinsipil berbeda dengan tindak
pidana penipuan. Ia harus dengan tegas dirumuskan dalam tuduhan dan tidak cukup
menunjuk kepada tuduhan primair saja.
· MARI No.74 K/Kr/1973 tanggal
10 Desember 1974, dalam perkara : Sungani Sunjaya (Sum Tong Hoat).
Ø Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur-unsur
pemerasan Pasal 368 KUHP bersama-sama unsur-unsur penipuan Pasal 378 KUHP
merupakan kesalahan yang essensial yang menyebabkan tuduhan itu batal. Dalam
menyebut perbuatan yang didakwakan, haruslah dinyatakan semua unsur dari tindak
pidana yang bersangkutan.
· MARI No.71 K/Kr/1968 tanggal
10 Mei 1968, dalam perkara : Kadar Soehardjo bin Kariredjo.
Ø Jelas bahwa surat dakwaan sangat penting artinya karena itu surat
dakwaan harus memuat semua unsur atau elemen. Yang dimaksud dengan unsur
atau elemen adalah bagian dari uraian delik suatu tindak pidana.
· MARI No.68 K/Kr/1973 tanggal
16 Desember 1976
Ø “……. Putusan pengadilan haruslah berdasarkan pada tuduhan, yang
dalam hal ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam
surat tuduhan lebih banyak ditujukan pada Pasal 310 KUHP’.
· MARI No.666 K/Pid/1982
tanggal 10 Agustus 1983, dalam perkara : Sudarmadji.
Ø “Penuntut umum dalam surat dakwaannya menguraikan : “….. terdakwa
semestinya tidak berhak mengendarai kendaran Colt Station No.Pol.AE7958RT sebab
tidak punya SIM, suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan Undang-undang. Karena
kesalahan atau kurang hati-hatinya ketika mendekati simpang tiga ada
penyeberang jalan bersepeda, karena tidak dapat menguasai kendaraannya terdakwa
menabrak pengendara sepeda tersebut …..”. MARI berpendapat surat dakwaan ini
haruslah dibatalkan karena dalam satu surat dakwaan yang berbentuk tunggal
tersebut didakwakan dua tindak pidana sekaligus, yaitu Pasal 360 KUHP dan
Pelanggaran lalu lintas jalan. Sebab Acara Pemeriksaan Biasa (APB) / Acara
Pemeriksaan Singkat (APS) tidak boleh disatukan dengan Acara Pemeriksaan Cepat
(APC) dalam surat dakwaan.
· MARI No.1986 K/Pid/1989
tanggal 21 Maret 1990
Ø Penuntut umum diperbolehkan mengajukan teman terdakwa dalam
melakukan delict sebagai saksi dalam persidangan pengadilan, dengan syarat
bahwa saksi ini sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara
dengan terdakwa yang diberikan kesaksian oleh temannya tersebut.
· MARI No.1671 K/Pid/1996
tanggal 18 Maret 1997
Ø MARI membenarkan putusan Hakim Pertama dan mempersalahkan terdakwa
melakukan delict “membantu melakukan pembunuhan berencana” terhadap dakwaan
alternative yang tidak didakwakan penuntut umum.
Catatan : Terdakwa didakwa
dalam dakwaan primair : melanggar Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 dan dalam dakwaan subsidiair : melanggar Pasal 338 KUHP jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun dipersidangan yang terbukti adalah terdakwa hanya
“membantu” terjadinya delict pembunuhan, bukan “turut serta”. Walaupun demikian
MARI membenarkan putusan judex factie yang tetap mempersalahkan dan menghukum
terdakwa karena terbukti melakukan delict “membantu melakukan pembunuhan” ex.
Pasal 338 KUHP jo. Pasal 56 KUHP, walaupun pasal tersebut tidak didakwakan oleh
penuntut umum dalam surat dakwaannya.
· MARI No.758 K/Pid/1996
tanggal 25 Februari 1998
Ø Surat dakwaan yang mencantumkan Pasal 55 KUHP secara umum tanpa
menjelaskan dan merinci ayat dan angka berapa dari pasal yang didakwakan
menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum (kabur).
Ø Surat dakwaan yang demikian tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat
(2) KUHP. Putusan Hakim bukan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan
melainkan dakwaan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.
Catatan : Menurut Adnan
Paslyadja, SH (dalam Diktat “Surat Dakwaan”, Pusdiklat Kejaksaan RI, 2002,
hal.32), putusan MARI tersebut seharusnya berbunyi “Surat dakwaan batal demi
hukum”.
· MARI No.2125 K/Pid/1990
tanggal 31 Agustus 1993
Ø Ucapan terdakwa dengan kata-kata : “Hakim Anjing, Jaksa kancing,
kerjanya merampas tanah orang saja” bukan delik memfitnah ex. Pasal 311 KUHP,
akan tetapi termasuk delik memista ex. Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Ø Dakwaan ketiga ex. Pasal 335 ayat (1) KUHP, dinyatakan batal demi
hukum karena tidak diterangkan dengan jelas apa yang dilakukan oleh saksi
korban dan apa yang dibiarkan dengan perbuatan melawan hukum berupa paksaan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dari terdakwa atas korban.
Catatan : Penuntut umum
mendakwakan “memfitnah” ex. Pasal 311 KUHP, namun MARI menghukum terdakwa
melakukan delict “menista” ex. Pasal 310 KUHP yang tidak didakwakan penuntut
umum. Menurut Adnan Paslyadja (dalam Diktat “Surat Dakwaan”, Pusdiklat
Kejaksaan RI, 2002, hal.33), meskipun salah satu dakwaan kumulatif dinyatakan
batal demi hukum, namun tidak membatalkan surat dakwaan secara keseluruhan.
· MARI No.675 K/Pid/1987
tanggal 21 Maret 1989
Ø Jika yang terbukti adalah delict sejenis yang lebih ringan sifatnya
dari delict sejenis yang didakwakan yang lebih berat sifatnya, maka meskipun
delict yang lebih ringan tersebut tidak didakwakan, maka terdakwa dapat
dipersalahkan dan dipidana atas dasar melakukan delict yang lebih ringan
tersebut.
Catatan : Terdakwa didakwa
dalam dakwaan primair : melanggar Pasal 359 KUHP dan dalam dakwaan
subsidiair : melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP. Namun dipersidangan unsur
“luka berat” tidak terbukti, melainkan hanya “luka” saja. Walaupun demikian
MARI tetap mempersalahkan dan menghukum terdakwa karena terbukti melakukan
delict ex. Pasal 360 ayat (2) KUHP, walaupun pasal tersebut tidak didakwakan
oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya.
· MARI No.1303 K/Pid/1986
tanggal 30 Maret 1989
Ø Surat dakwaan penuntut umum “batal demi hukum” karena hampir
seluruhnya berisikan kutipan rumusan delict, tanpa diuraikan tentang perbuatan
materiil apa yang telah dilakukan oleh terdakwa sebagai perwujudan unsur-unsur
delict yang bersangkutan. Surat dakwaan yang demikian, bertentangan dengan
ketentuan UU No.8 tahun 1981.
· MARI No.1565 K/Pid/1991 tanggal
16 September 1993
Ø Penyidik sewaktu memeriksa (melakukan penyidikan) terhadap tersangka
tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, maka
tuntutan penuntut umum harus dinyatakan tidak dapat diterima, meskipun dalam
Pasal 156 ayat (1) KUHP dirumuskan “Dakwaan tidak dapat diterima”.
· MARI No.229 K/Kr/1953
Ø Pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian ditarik tanpa
alasan, adalah merupakan suatu petunjuk tentang adanya kesalahan terdakwa
tersebut.
· - MARI No.1174 K/Pid/1994, terdakwa Ny. Muriati SH.
- MARI No.1590 K/Pid/1994, terdakwa Karjono Wongso
- MARI No.1592 K/Pid/1994, terdakwa Bambang Wuryanto
Cs
- MARI No.1706 K/Pid/1994, terdakwa Suwono dan
Suprapto
- MARI No.381 K/Pid/1995, terdakwa Yudi Astono
- MARI No.429 K/Pid/1995, terdakwa Yudi Susanto
Ø Masalah Saksi Mahkota (Kroon Getuige) dalam tindak pidana pembunuhan
terhadap korban Marsinah ex. Pasal 340 KUHP. MARI dalam pertimbangannya
berpendapat :
§ Judex factie telah salah menerapkan hukum pembuktian, dimana para
saksi yang juga adalah para terdakwa dalam masing-masing perkaranya dengan
dakwaaan yang sama dipecah-pecah. Hal yang demikian adalah bertentangan dengan
hukum acara pidana yang menjungjung tinggi hak asasi manusia.
§ Keterangan para terdakwa didepan penyidik telah dicabut kembali dan
pencabutan tersebut beralasan karena adanya tekanan pisik dan psychis yang
dapat dibuktikan secara nyata (vide Putusan MARI No.1651 K/Pid/1989 tanggal 16
September 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar