Yurisprudensi Terpenting Mengenai
Surat Dakwaan
Arrest HR : Putusan Hoge Raad
MARI
: Mahkamah Agung Republik Indonesia
·
Arrest HR tanggal 15
Februari 1932 (NJ.1932 hal.289)

a.
Menjalankan kendaraan dalam
keadaan mabuk adalah disebabkan keadaan si pengemudi. Mengendarainya tanpa
lampu disebabkan keadaan kendaraan.
b.
Perbuatan-perbuatan tersebut
dapat dipikirkan terlepas satu sama lain sehingga merupakan pelanggaran
(perbuatan) yang berdiri sendiri-sendiri.
c.
Perbuatan yang satu bukan
ditimbulkan atau sebagai akibat perbuatan lain.
d.
Walaupun terjadinya
perbuatan-perbuatan itu pada waktu yang sama, namun kedua perbuatan itu dapat
terjadi pada waktu-waktu yang berlainan sehingga akan dituntut sendiri-sendiri.
Catatan : Sebelum tahun 1932, perbuatan (feit) itu
dilihat dari perbuatan fisik (lichamelijke daad atau lichamelijke handeling).
Dianggap 1 perbuatan (feit) kalau perbuatan fisiknya 1 walaupun dengan
perbuatan itu dilanggar 2 peraturan perundang-undangan. Misalnya : seorang
mengendarai mobil pada malam hari tidak pakai lampu dan tidak punya surat izin
mengemudi. Perbuatan (feit)-nya adalah 1 yaitu mengendarai mobil. Aturan yang
dilanggar 2 yaitu mengendarai mobil pada malam hari tidak pakai lampu dan
mengendarai mobil tanpa surat izin mengemudi. Hal ini diatur dalam Pasal 63
ayat (1) KUHP, sehingga satu hukuman saja yang dijatuhkan(concurcus idealis /
Eendaadshe Samenloop. Akan tetapi pada tahun 1932, Mahkamah Agung Belanda
(Hooge Raad der Nederlanden) mengubah pendiriannya yang dituangkannya dalam
putusan HR 15 Februari 1932 tersebut di atas.
·
MARI No.133
K/Kr/1958 dan MARI
No.606 K/Pid/1984

·
MARI No.2156
K/Pid/1987 tanggal 22 September 1988




Catatan :
Dalam kasus ini,
terdakwa Alim Silalahi dengan mengendarai Bus PPD No.Pol. 7711 WT di jalan Raya
Lenteng Agung – Pasar Minggu, pada hari Kamis tanggal 26 Maret 1987, karena
salahnya telah menabrak sebuah sedan, sebuah sepeda motor, sebuah mini bus,
sebuah Pick-up Toyota Hiace dan sebuah becak. Akibat tabrakan 2 orang meninggal
dunia dan 6 orang menderita luka.


·
MARI
No.31/PK/Pid/1988 tanggal 25 November 1992



·
MARI No.162
K/Pid/1986 tanggal 26 September 1987



·
MARI No.1303
K/Pid/1986 tanggal 30 Maret 1989

·
MARI No.1289
K/Pid/1984 tanggal 26 Juni 1987

Catatan : Surat dakwaan kabur, karena dalam
dakwaan tunggal didakwakan dua tindak pidana. Isi surat dakwaan dibagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama menguraikan tentang dakwaan tindak pidana
penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan bagian kedua menguraikan tentang dakwaan
tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP), yaitu dengan menulis “Melanggar Pasal
372 Jo. 378 KUHP”.
·
MARI No.982
K/Pid/1988 tanggal 19 September 1990




·
MARI No.1922
K/Pid/1987 tanggal 29 Mei 1991

·
MARI No.1052
K/Pid/1991 tanggal 25 Oktober 1993

·
MARI No.1530
K/Pid/1995 tanggal 30 Januari 1996



Catatan : Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias
Ucok Sitompul didakwa oleh penuntut umum ;
KESATU ;
Primair
: melanggar Pasal 338 KUHP
Subsidair
: melanggar Pasal 359 Jo. Pasal 361 KUHP
KEDUA
Primair
: melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP
Subsidair
: melanggar Pasal 360 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 361 KUHP.
·
MARI No.868 K/Pid/1994 tanggal 10 Agustus 1994



Catatan :
Terdakwa Fifi
Gautama didakwa oleh penuntut umum melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal
65 ayat (1) KUHP jo. Pasal 486 KUHP. PN Batam dan PT Riau menyatakan terdakwa
terbukti melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP dengan kualifikasi “dengan sengaja
menggunakan surat palsu seolah-olah tidak palsu sebagai perbuatan berlanjut”
(voorgezette handeling). Pertimbangannya : walaupun Pasal 64 ayat (1) KUHP tidak
didakwakan, tidak berarti terdakwa harus dibebaskan, karena unsur-unsur Pasal
64 dan Pasal 65 KUHP hanya merupakan
pasal-pasal sebagai pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam menjatuhkan berat
ringannya hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa.






·
Wilayah / daerah hukum pengadilan negeri. Yang harus
disebutkan “tempat tindak pidana itu dilakukan”.
·
Uraian hasil pemeriksaan mayat (Visum et Repertum)
dan hasil pemeriksaan Laboratorium (narkoba, surat palsu, dll). Baik Visum
maupun hasil Laboratorium berfungsi sebagai alat bukti yang diperlukan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karenanya dalam Surat Dakwaan cukup
ditulis sebagai berikut : “meninggalnya korban adalah sebagai akibat perbuatan
terdakwa sesuai Visum et Repertum (terlampir dalam berkas perkara)” atau
“sabu-sabu tersebut adalah Psikotropika sesuai hasil pemeriksaan Laboratorium
(terlampir dalam berkas perkara)”.
·
MARI No.86
K/Pid/1982 tanggal 31 Maret 1983

·
MARI No.33
K/Mil/1985 tanggal 15 Februari 1986

·
MARI No.492
K/Kr/1981 tanggal 8 Januari 1983

·
MARI No.731
K/Pid/1984 tanggal 4 April 1985

·
MARI No.1174
K/Pid/1994

Catatan : Menurut Prof.Dr.Andi Hamzah, Sh (dalam
bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi Juli 2002, Sinar Grafika,
Hal.162), bergantian menjadi saksi bukanlah saksi mahkota (kroongetuige).
Saksi mahkota berarti salah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan
kesalahnnya) dijadikan (“dilantik”) menjadi saksi, jadi seperti diberi mahkota,
yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi. Hal ini dibolehkan berdasarkan
adagium, bahwa jaksa adalah dominus litis dalam penuntutan terdakwa.
·
MARI No.47 K/Kr/1956
tanggal 28 Maret 1957

Catatan : Menurut Prof.Dr.Andi Hamzah, SH. (dalam bukunya : Hukum Acara
Pidana Indonesia, Edisi Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.166), dengan
demikian maka pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal
UU pidana yang menjadi dasarnya, tidak mengikat penuntut umum untuk
mengikutinya. Penuntut umum dapat mengubah pasal UU yang disebut oleh polisi
itu untuk menyesuaikan dakwaan dengan fakta-fakta dan data dan menyusun dakwaan
berdasarkan perumusan delik tersebut.
· Arrest HR tanggal 30 April 1888 (W.5557)

Catatan :
Menurut
Prof.Dr.Andi Hamzah, Sh (dalam bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi
Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.172), Kata-kata yang dipakai dalam surat
dakwaan sebaiknya kata-kata sehari-hari yang mudah dimengerti, tetapi bertautan
dan berseanyaman dengan istilah-istilah yuridis yang ada dalam undang-undang
pidana yang diterapkan itu.


·
MARI No.15 K/Kr/1969
tanggal 13 Februari 1971

Catatan :
Sejauhmana ruang
lingkup perubahan surat dakwaan ? Apakah mungkin

perubahan dakwaan mengenai materiel feit
(kejadian materiil). Atau untuk lebih tegas, apakah perubahan surat dakwaan
mungkin terjadi dari sesuatu dakwaan semula yang tidak merupakan tindak pidana,
berubah menjadi tindak pidana ?








·
Arrest HR tanggal 12
Juni 1939 (NJ.1939 hal.1601)

Catatan :
Menurut
Prof.Dr.Andi Hamzah, Sh (dalam bukunya : Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi
Revisi Juli 2002, Sinar Grafika, Hal.178-179), dalam hal ini dapat dikemukakan
Contoh sebagai berikut : Dakwaan mengenai pembunuhan terjadi pada tanggal 12
April 1983, menurut redaksi pertama diubah menjadi tanggal 13 April 1983, maka
hal itu diperbolehkan. Akan tetapi jika disamping waktu tersebut, diubah pula
pembunuhan menjadi penganiayaan yang mengakibatkan kematian, maka tentu hal
tersebut tidak diperbolehkan, karena perbuatan (feit) telah diubah dari
pembunuhan menjadi penganiayaan.


· Arrest HR tanggal 26 Agustus 1911 (W.9224)

·
MARI No.510
K/Pid/1988 tanggal 28 April 1988

·
MARI No.697
K/Pid/1986 tanggal 29 Februari 1988

Catatan : Terhadap locus delicti dikenal 4
ajaran (Komentar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana - Buku Pedoman
Mahasiswa dan Praktisi, Drs Hari Sasangka SH & Lily Rosita SH, cv. Mandar
Maju, cetakan II 2003, hal.113) :

yang memandang sebagai locus delicti adalah tempat seorang
pelaku saat melakukan sendiri tindakannya yang dilarang.

yang
harus dipandang sebagai locus delicti adalah terutama tempat seorang
pelaku itu melakukan sendiri tindakannya yang dilarang oleh undang-undang, akan
tetapi apabila untuk melakukan tindakan yang dilarang itu dengan menggunakan
sebuah alat, maka tempat alat tersebut bekerja harus dipandang sebagai locus
delicti dari tindak pidana yang ia lakukan.

yang harus dipandang sebagai locus delicti
adalah tempat suatu tindak pidana itu telah menimbulkan akibat. Akibat tersebut
dapat merupakan akibat yang secara langsung telah ditimbulkan oleh suatu tindak
pidana, akan tetapi ia juga dapat merupakan akibat yang timbulnya merupakan
syarat untuk selesainya suatu tindak pidana.

yang
harus dipandang sebagai locus delicti adalah :
1.
Tempat seorang pelaku telah melakukan sendiri
perbuatannya yang dilarang dan diancam pidana ;
2.
Tempat alat yang dipergunakan oleh seorang pelaku
dan alat tersebut telah bekerja ;
3.
Tempat dimana akibat dari sesuatu perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana telah timbul ;
4.
Tempat dimana suatu akibat konstitutif itu telah
timbul
·
MARI No.1849
K/Pid/1990 tanggal 22 Oktober 1990







·
MARI No.1976
K/Pid/1988 tanggal 20 Juli 1991

·
MARI No.1071
K/Pid/1988 tanggal 27 Juli 1989




·
MARI No.66 K/Kr/1967
tanggal 25 Oktober 1967

Catatan : Namun demikian kelemahan dalam pemeriksaan
seperti ini sering mengakibatkan terjadinya pemberian keterangan palsu,
sehingga ada kemungkinan saksi tersebut dikenakan Pasal 242 KUHP. Saksi yang
diajukan seperti tersebut di atas disebut saksi mahkota (kroongetuige).
·
MARI No.1986 K/Pid/1989
tanggal 21 Maret 1990

·
MARI No.2436
K/Pid/1988 tanggal 2 Mei 1990




· MARI No.8 K/Kr/1969 tanggal
18 Juli 1970
Ø “Didalam tuduhan terutama sebenarnya terdapat 2 macam tuduhan
yaitu tuduhan Pasal 340 dan Pasal 338 KUHP. Sebaiknya dua macam tuduhan
tersebut diatur dalam bentuk tuduhan primair dan subsidiair,
tetapi tuduhan terutama itu tidak dapat dikatakan salah”.
· Arrest HR 26 Januari 1942
(NJ.1942 No.537)
Ø “Suatu surat dakwaan yang memuat pemberian bantuan yang tidak jelas,
batal”.
· Arrest HR 17 November 1941
Ø Dianggap kurang memenuhi syarat adalah kualifikasi sebagai berikut :
bahwa pegawai negeri tersebut dalam menjalankan tugasnya yang sah,
karena tidak dijelaskan perbuatan yang memperjelas kualifikasi.
· Arrest HR 23 April 1961
(NJ.1970 No.13-14)
Ø “……. Tuduhan tersebut tidak cukup jelas menguraikan perbuatan
konkrit dari terdakwa, karena didalamnya tidak sedikitpun diuraikan bagaimana
caranya dan dengan alat apa terdakwa dapat masuk ke stasiun bensin tersebut,
sedang istilah memasuki saja tidaklah cukup untuk menguraikan perbuatan
yang dilakukan, karena memasuki dapat terjadi dengan bermacam-macam
cara”. Tuduhan demikian dibatalkan.
· Arrest HR 23 Oktober 1951
(NJ.1952 No.4)
Ø “Tidak berarti bahwa dakwaan subsidiair hanya diperiksa jika dakwaan
primair tidak terbukti, dalam hal dakwaan primair tidak diputuskan dengan
pemidanaan, hakim juga harus memeriksa dakwaan subsidiair”.
· Arrest HR 23 Desember 1907
(W.8635)
Ø “……. jika ternyata perbuatan yang dituduhkan itu tidak merupakan merupakan
tindak pidana maka haruslah maka haruslah diputuskan pembebasan dari tuntutan,
bukan pembatalan surat dakwaan (bukan obyek eksepsi/keberatan terdakwa)”.
· Arrest HR 27 Juni 1938
(NJ.1939 hal.243)
Ø “……. Kata-kata dengan sengaja dan melawan hukum bukan
hanya kwalifikasi tapi juga merupakan pengertian yang nyata (Artinya tidak
perlu diuraikan)”.
· Arrest HR 3 Desember 1928
(NJ.1929)
Ø “Jika tuduhan primair tidak memenuhi syarat karena tidak jelas
dirumuskan perbuatan yang dituduhkan, maka seluruh tuduhan akan batal, sebab
maksud tuduhan subsidiair adalah jika tuduhan primair tidak terbukti baru
tuduhan subsidiair dibuktikan”.
· Arrest HR 23 Oktober 1951
(NJ.52 No.4)
Ø “……. Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan
unsur-unsur pemerasan Pasal 368 KUHP bersama-sama unsur-unsur penipuan Pasal
378 KUHP, merupakan kesalahan essensial dan menyebabkan tuduhan tersebut
batal”.
· Arrest HR 19 Juni 1951
Ø Kualifikasi juridis yang mempunyai arti yang nyata sehingga tidak
memerlukan penguraian lebih lanjut : “menjalankan kendaraan dengan sangat
sembrono dan tidak berhati-hati”. Dengan demikian kalimat ini dapat dimasukkan
dalam surat dakwaan tanpa penguraian lebih lanjut.
· Arrest HR 12 Februari 1946
Ø Kualifikasi juridis yang mempunyai arti yang nyata sehingga tidak
memerlukan penguraian lebih lanjut : “bahwa terdakwa patut dan harus menyangka
bahwa barang-barang tersebut adalah diperoleh dari hasil kejahatan”. Dengan
demikian kalimat ini dapat dimasukkan dalam surat dakwaan tanpa penguraian
lebih lanjut.
· Arrest HR 8 Maret 1937
Ø Pengertian “perbuatan” atau “feit” ternyata oleh doktrin dan
yurisprudensi ditafsirkan sebagai “handeling” atau “perilaku” atau “perbuatan
yang mempunyai arti untuk hukum pidana. Karena penuntut umum-lah yang membuat
surat dakwaan, maka penuntut umum-lah yang menentukan apakah sesuatu perbuatan
itu dianggap sebagai tindak pidana (strafbaarfeit). Dan apakah itu tindak
pidana (strafbaarfeit) atau bukan, Hakim-lah yang harus memutuskannya.
Ø Jika ternyata “perbuatan” atau “feit” yang didakwakan itu bukan
tindak pidana (strafbaarfeit), maka Hakim harus memutuskannya dengan pelepasan.
· MARI No.81 K/Kr/1956 tanggal
9 November 1957
Ø
“Jika terdakwa di sidang
Pengadilan Negeri telah mengaku atas segalanya yang didakwakan (dituduhkan)
kepadanya, maka oleh karena demikian hakim cukup mendengar seorang saksi
saja”.
· MARI No.168 K/Kr/1956 tanggal
4 Februari 1958
Ø “Jika Pengadilan Negeri membebaskan terdakwa dari tuduhan primair
dan subsidiair, akan tetapi menghukum terdakwa karena tuduhan lebih
subsidiair, maka berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Darurat No.1
tahun 1951 terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut di atas yang mengenai
tuduhan primair dan subsidiair tidak dapat diminta banding dan
karena ini Pengadilan Tinggi tidak dapat lagi mempergunakan tuduhan primair dan
subsidiair sebagai dasar untuk menghukum terdakwa”.
Catatan : Menurut Dr.Andi
Hamzah, SH. (dalam bukunya : “Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan
Praktek Penahanan-Dakwaan-Requisitoir”
PT.RINEKA CIPTA, Jakarta 1994 Hal.89), meskipun Undang-Undang (Drt) No.1 tahun
1951 tersebut sekarang tidak berlaku, namun ketentuan tersebut sama dengan
ketentuan Pasal 167 KUHAP yang mengatakan bahwa terdakwa atau penuntut umum
berhak untuk minta banding terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan
pengadilan dalam acara cepat. Dengan demikian putusan MA ini masih relevan
sekarang ini.
· MARI No.96 K/Kr/1960 tanggal
3 Januari 1961
Ø “Siapakah yang harus dituntut tergantung dari jaksa yang
bersangkutan, hal mana merupakan suatu kebijaksanaan dalam penuntutan, yang
dipertanggungjawabkan kepada atasannya oleh jaksa tersebut”.
· MARI No.492 K/Kr/1981 tanggal
8 Januari 1983, dalam perkara : Wander bin Undang, dkk.
Ø
Penuntut umum dalam surat
dakwaannya menguraikan : “Bahwa
mereka tersangka-tersangka pada tanggal 31 Januari 1979 atau setidak-tidaknya
pada suatu hari didalam tahun 1979 dirumahnya Nyakar/Panji kampung Lambing
Kecamatan Muara Lawa Kabupaten Kutai setidak-tidaknya disuatu tempat termasuk
wilayah hukum Pengadilan Negeri Tenggarong, dengan sengaja telah melakukan
perjudian dengan mempergunakan alat cekky dengan taruhan bungkus rokok yang
sewaktu-waktu dapat ditukarkan dengan uang, atau setidak-tidaknya mereka
tersangka-tersangka melakukan permainan judi itu dengan berdasarkan pengharapan
buat menang pada umumnya bergantung kepada sifat untung-untungan saja”.
Ø
MARI berpendapat tuduhan
tersebut selain tidak lengkap menyebutkan unsur-unsur delik permainan judi
(hazardspel) yaitu antara lain element zonder gerechtigd (tanpa mendapat
izin), juga terhadap perbuatan material dari delik tadi tidak memberikan suatu voldoendo
on duidelijke apgavc van het feit, dari unsur ini yakni tidak menjelaskan,
menguraikan secara jelas dan tepat bagaimana cara-cara permaianan judi telah
dilakukan oleh dan diantara terdakwa-terdakwa, jadi tidak cukup hanya menyebut
dengan mempergunakan alat cekky, tapi bagaimana caranya alat cekky itu dipakai
dan dipergunakan dengan peramaian hingga mendapat kemenangan dan seterusnya.
Sehingga oleh karena itu harus dinyatakan batal demi hukum.
·
MARI No.32 K/Kr/1960 tanggal 23 Januari 1962
Ø “Dengan memutusnya lain
dalam banding daripada Hakim pertama tidak denghan sendiri Hakim
banding lalu mengubah tuduhan secara yang melanggar undang-undang
Hukum karena Hakim banding tidak selalu dapat menguatkan putusdan Hakim
pertama saja”.
· MARI No.72 K/Kr/1969 tanggal 17 Maret 1962
Ø “Suatu tuduhan mengenai penganiayaan berat atau penganiayaan biasa
yang direncanakan lebih dahulu tidak terbukti, terdakwa dipidana penganiayaan
ringan”.
· MARI No.10 K/Kr/1969 tanggal
5 November 1969
Ø “Pencantuman kata sengaja dalam tuduhan mengenai Pasal 1
Undang-Undang No.12 (Drt) tahun 1951, tidak mengakibatkan batalnya tuduhan
tersebut, tetapi cukuplah untuk menganggap kata dengan sengaja yang
diuraikan dalam surat tuduhan sebagai tidak tercantum”.
· MARI No.63 K/Kr/1975 tanggal
17 Maret 1976
Ø “Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum acara
yang berlaku karena tidak mempertimbangkan tuduhan-tuduhan subsidiair dan
subsidiair lag, setelah tuduhan primair dinyatakan tidak terbukti”.
· MARI No.92 K/Kr/1973 tanggal
4 Agustus 1976
Ø “Tidak perlu dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi bahwa terdakwa
tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan melanggar Pasal 299 KUHP, karena Pasal
299 KUHP ternyata tidak dirumuskan”.
· MARI No.68 K/Kr/1973 tanggal
16 Desember 1976
Ø “Putusan pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan, yang dalam
perkara ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam
surat tuduhan lebih banyak pada pasal 310 KUHP”.
· MARI No.351 K/Kr/1980 tanggal
21 Januari 1981
Ø “Pernyataan terbukti tuduhan subsidiair membantu melakukan
pembunuhan berencana oleh judex facti tidak dilakukan atas dasar
surat tuduhan dan pemeriksaan dipersidangan karena judex facti tidak
mempertimbangkan tuduhan primair yaitu turut melakukan pembunuhan berencana
sebagaimana terbukti dipersidangan bahwa antara terdakwa-terdakwa terdapat
kerja sama secara sadar dan mereka bersama-sama melakukan kejahatan ex. Pasal
340 KUHP”.
· MARI No.104 K/Kr/1971 tanggal
31 Januari 1973 dalam perkara : Rinie
Junias Tutuk.
Ø “Putusan Pengadilan Negeri / Pengadilan Tinggi harus dibatalkan
karena tuduhan merupakan obscure libelle yang hanya mengemukakan rumusan
delik pasal 378 KUHP tanpa mengkhususkan tentang perbuatan-perbuatan tertuduh
yang dianggap menipu dalam arti Pasal 378 KUHP”.
Ø Bahwa dalam tuduhan kedua di atas ternyata tidak disebutkan semua
delik Pasal 378 KUHP dan meskipun disebutkan waktu dan tempat perbuatan
dilakukan tetapi tidak dengan jelas dan tepat dilakukan hal-ikhwal terdakwa ;
Ø Bahwa dengan demikian tuduhan kedua tersebut selain tidak memenuhi
syarat-syarat formal, karena tidak jelas dan tepat sangat menyulitkan bagi
terdakwa dalam menggunakan haknya membela diri ;
Ø Bahwa oleh karena itu tuduhan tersebut harus dinyatakan batal.
· MARI No.41 K/Kr/1973 tanggal
25 Januari 1975
Ø “Bahwa dalam tuduhan kedua diatas ternyata tidak disebutkan semua
unsur delik Pasal 378 KUHP dan meskipun disebutkan waktu dan tempat perbuatan
dilakukan tetapi tidak dengan jelas dan tepat dilukiskan hal-ikhwal perbuatan
terdakwa. Bahwa dengan demikian tuduhan kedua tersebut selain tidak memenuhi
syarat-syarat formil, karena tidak jelas dan tepat sangat menyulitkan bagi
terdakwa dalam menggunakan haknya membela diri”.
· MARI No.74 K/Kr/1973 tanggal
10 Desember 1974
Ø “Tindak pidana penggelapan secara principieel berbeda dengan
tindak pidana penipuan. Ia harus dengan tegas dirumuskan dalam tuduhan dan
tidak cukup menunjuk kepada tuduhan primair saja”.
· MARI No.42 K/Kr/1956 tanggal
3 Oktober 1956
Ø “Dalam tuduhan atas pembunuhan berencana termasuk pula
tuduhan atas pembunuhan karena pembunuhan berencana tidak lain daripa
pembunuhan yang telah direncanakan lebih dulu dengan ketenangan hati. Maka
orang yang dituduh melanggar Pasal 340 KUHP tetapi di sidang hanya terbukti
bersalah melanggar Pasal 338 KUHP, ia dapat dipersalahkan atas kejahatan pembunuhan”.
· MARI No.71 K/Kr/1968 tanggal
10 Mei 1969
Ø “Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur-unsur
pemerasan Pasal 368 KUHP bersama-sama unsur-unsur penipuan Pasal 378 KUHP
merupakan kesalahan yang esensial yang menyebabkan tuduhan tersebut batal”.
· MARI No.105 K/Kr/1975 tanggal
8 Januari 1975
Ø “Untuk kepentingan pemeriksaan perkara Jaksa berwenang untuk
mengajukan perkara secara terpisah-pisah, sedang Hakim hanya berwenang untuk
menyatukan perkara-perkara (voegen) dipersidangan (ter terechtzitting) dalam
perkara-perkara tolakan (i.c. perkara diajukan secara summir)”.
· MARI No.60 K/Kr/1967 tanggal
25 Oktober 1967
Ø “Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : bahwa karena penuntut
kasasi oleh Pengadilan Negeri telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan pencurian
sebagaimana dituduhkan dalam tuduhan primair, ia tidak dapat lagi oleh
Pengadilan Tinggi dipersalahkan atas kejahatan penadahan yaitu perbuatan
yang dituduhkan dalam tuduhan subsidair tidak dapat dibenarkan : karena
dalam perkara yang tuduhan-tuduhannya dibuat secara alternatif, tuduhan subsidair
baru diperhatikan setelah tuduhan primair dinyatakan sebagai tidak
terbukti, seperti halnya yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dalam perkara
ini”.
· MARI No.65 K/Kr/1975 tanggal
17 Maret 1976
Ø “Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan
hukum acara yang berlaku karena tidak mempertimbangkan tuduhan-tuduhan
subsidair, subsidair lagi, setelah tuduhan primair dinyatakan tidak terbukti”.
· MARI No.767 K/Kr/1986 tanggal
6 Juli 1988
Ø Bahwa atas keberatan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa
keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan
Tinggi tidak salah menerapkan suatu peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya.
Bahwa namun demikian putusan Pengadilan Tinggi
stan \\
· MARI No.41 K/Kr/1973 tanggal
25 Januari 1975, dalam perkara : Andi Tatang Anwar.
Ø Tindak pidana penggelapan secara prinsipil berbeda dengan tindak
pidana penipuan. Ia harus dengan tegas dirumuskan dalam tuduhan dan tidak cukup
menunjuk kepada tuduhan primair saja.
· MARI No.74 K/Kr/1973 tanggal
10 Desember 1974, dalam perkara : Sungani Sunjaya (Sum Tong Hoat).
Ø Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur-unsur
pemerasan Pasal 368 KUHP bersama-sama unsur-unsur penipuan Pasal 378 KUHP
merupakan kesalahan yang essensial yang menyebabkan tuduhan itu batal. Dalam
menyebut perbuatan yang didakwakan, haruslah dinyatakan semua unsur dari tindak
pidana yang bersangkutan.
· MARI No.71 K/Kr/1968 tanggal
10 Mei 1968, dalam perkara : Kadar Soehardjo bin Kariredjo.
Ø Jelas bahwa surat dakwaan sangat penting artinya karena itu surat
dakwaan harus memuat semua unsur atau elemen. Yang dimaksud dengan unsur
atau elemen adalah bagian dari uraian delik suatu tindak pidana.
· MARI No.68 K/Kr/1973 tanggal
16 Desember 1976
Ø “……. Putusan pengadilan haruslah berdasarkan pada tuduhan, yang
dalam hal ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam
surat tuduhan lebih banyak ditujukan pada Pasal 310 KUHP’.
· MARI No.666 K/Pid/1982
tanggal 10 Agustus 1983, dalam perkara : Sudarmadji.
Ø “Penuntut umum dalam surat dakwaannya menguraikan : “….. terdakwa
semestinya tidak berhak mengendarai kendaran Colt Station No.Pol.AE7958RT sebab
tidak punya SIM, suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan Undang-undang. Karena
kesalahan atau kurang hati-hatinya ketika mendekati simpang tiga ada
penyeberang jalan bersepeda, karena tidak dapat menguasai kendaraannya terdakwa
menabrak pengendara sepeda tersebut …..”. MARI berpendapat surat dakwaan ini
haruslah dibatalkan karena dalam satu surat dakwaan yang berbentuk tunggal
tersebut didakwakan dua tindak pidana sekaligus, yaitu Pasal 360 KUHP dan
Pelanggaran lalu lintas jalan. Sebab Acara Pemeriksaan Biasa (APB) / Acara
Pemeriksaan Singkat (APS) tidak boleh disatukan dengan Acara Pemeriksaan Cepat
(APC) dalam surat dakwaan.
· MARI No.1986 K/Pid/1989
tanggal 21 Maret 1990
Ø Penuntut umum diperbolehkan mengajukan teman terdakwa dalam
melakukan delict sebagai saksi dalam persidangan pengadilan, dengan syarat
bahwa saksi ini sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara
dengan terdakwa yang diberikan kesaksian oleh temannya tersebut.
· MARI No.1671 K/Pid/1996
tanggal 18 Maret 1997
Ø MARI membenarkan putusan Hakim Pertama dan mempersalahkan terdakwa
melakukan delict “membantu melakukan pembunuhan berencana” terhadap dakwaan
alternative yang tidak didakwakan penuntut umum.
Catatan : Terdakwa didakwa
dalam dakwaan primair : melanggar Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 dan dalam dakwaan subsidiair : melanggar Pasal 338 KUHP jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun dipersidangan yang terbukti adalah terdakwa hanya
“membantu” terjadinya delict pembunuhan, bukan “turut serta”. Walaupun demikian
MARI membenarkan putusan judex factie yang tetap mempersalahkan dan menghukum
terdakwa karena terbukti melakukan delict “membantu melakukan pembunuhan” ex.
Pasal 338 KUHP jo. Pasal 56 KUHP, walaupun pasal tersebut tidak didakwakan oleh
penuntut umum dalam surat dakwaannya.
· MARI No.758 K/Pid/1996
tanggal 25 Februari 1998
Ø Surat dakwaan yang mencantumkan Pasal 55 KUHP secara umum tanpa
menjelaskan dan merinci ayat dan angka berapa dari pasal yang didakwakan
menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum (kabur).
Ø Surat dakwaan yang demikian tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat
(2) KUHP. Putusan Hakim bukan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan
melainkan dakwaan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.
Catatan : Menurut Adnan
Paslyadja, SH (dalam Diktat “Surat Dakwaan”, Pusdiklat Kejaksaan RI, 2002,
hal.32), putusan MARI tersebut seharusnya berbunyi “Surat dakwaan batal demi
hukum”.
· MARI No.2125 K/Pid/1990
tanggal 31 Agustus 1993
Ø Ucapan terdakwa dengan kata-kata : “Hakim Anjing, Jaksa kancing,
kerjanya merampas tanah orang saja” bukan delik memfitnah ex. Pasal 311 KUHP,
akan tetapi termasuk delik memista ex. Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Ø Dakwaan ketiga ex. Pasal 335 ayat (1) KUHP, dinyatakan batal demi
hukum karena tidak diterangkan dengan jelas apa yang dilakukan oleh saksi
korban dan apa yang dibiarkan dengan perbuatan melawan hukum berupa paksaan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dari terdakwa atas korban.
Catatan : Penuntut umum
mendakwakan “memfitnah” ex. Pasal 311 KUHP, namun MARI menghukum terdakwa
melakukan delict “menista” ex. Pasal 310 KUHP yang tidak didakwakan penuntut
umum. Menurut Adnan Paslyadja (dalam Diktat “Surat Dakwaan”, Pusdiklat
Kejaksaan RI, 2002, hal.33), meskipun salah satu dakwaan kumulatif dinyatakan
batal demi hukum, namun tidak membatalkan surat dakwaan secara keseluruhan.
· MARI No.675 K/Pid/1987
tanggal 21 Maret 1989
Ø Jika yang terbukti adalah delict sejenis yang lebih ringan sifatnya
dari delict sejenis yang didakwakan yang lebih berat sifatnya, maka meskipun
delict yang lebih ringan tersebut tidak didakwakan, maka terdakwa dapat
dipersalahkan dan dipidana atas dasar melakukan delict yang lebih ringan
tersebut.
Catatan : Terdakwa didakwa
dalam dakwaan primair : melanggar Pasal 359 KUHP dan dalam dakwaan
subsidiair : melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP. Namun dipersidangan unsur
“luka berat” tidak terbukti, melainkan hanya “luka” saja. Walaupun demikian
MARI tetap mempersalahkan dan menghukum terdakwa karena terbukti melakukan
delict ex. Pasal 360 ayat (2) KUHP, walaupun pasal tersebut tidak didakwakan
oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya.
· MARI No.1303 K/Pid/1986
tanggal 30 Maret 1989
Ø Surat dakwaan penuntut umum “batal demi hukum” karena hampir
seluruhnya berisikan kutipan rumusan delict, tanpa diuraikan tentang perbuatan
materiil apa yang telah dilakukan oleh terdakwa sebagai perwujudan unsur-unsur
delict yang bersangkutan. Surat dakwaan yang demikian, bertentangan dengan
ketentuan UU No.8 tahun 1981.
· MARI No.1565 K/Pid/1991 tanggal
16 September 1993
Ø Penyidik sewaktu memeriksa (melakukan penyidikan) terhadap tersangka
tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, maka
tuntutan penuntut umum harus dinyatakan tidak dapat diterima, meskipun dalam
Pasal 156 ayat (1) KUHP dirumuskan “Dakwaan tidak dapat diterima”.
· MARI No.229 K/Kr/1953
Ø Pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian ditarik tanpa
alasan, adalah merupakan suatu petunjuk tentang adanya kesalahan terdakwa
tersebut.
· - MARI No.1174 K/Pid/1994, terdakwa Ny. Muriati SH.
- MARI No.1590 K/Pid/1994, terdakwa Karjono Wongso
- MARI No.1592 K/Pid/1994, terdakwa Bambang Wuryanto
Cs
- MARI No.1706 K/Pid/1994, terdakwa Suwono dan
Suprapto
- MARI No.381 K/Pid/1995, terdakwa Yudi Astono
- MARI No.429 K/Pid/1995, terdakwa Yudi Susanto
Ø Masalah Saksi Mahkota (Kroon Getuige) dalam tindak pidana pembunuhan
terhadap korban Marsinah ex. Pasal 340 KUHP. MARI dalam pertimbangannya
berpendapat :
§ Judex factie telah salah menerapkan hukum pembuktian, dimana para
saksi yang juga adalah para terdakwa dalam masing-masing perkaranya dengan
dakwaaan yang sama dipecah-pecah. Hal yang demikian adalah bertentangan dengan
hukum acara pidana yang menjungjung tinggi hak asasi manusia.
§ Keterangan para terdakwa didepan penyidik telah dicabut kembali dan
pencabutan tersebut beralasan karena adanya tekanan pisik dan psychis yang
dapat dibuktikan secara nyata (vide Putusan MARI No.1651 K/Pid/1989 tanggal 16
September 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar