PENAFSIRAN UNSUR-UNSUR PASAL
368 jo. 53 KUHP
Pasal 368 KUHP
(1) Barangsiapa dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang itu atau orang
lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
pemerasan, dengan pidana penjara maksimum 9 tahun.
(2) Ketentuan Pasal 365 ayat
kedua, ketiga dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Pasal 53 KUHP
(1) Mencoba melakukan
kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok
terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi 1/3.
(3) ……………..
(4) ……………..
5. unsur perbuatan mana tidak sampai selesai
dilaksanakan bukan semata-mata disebabkan atas kehendaknya terdakwa sendiri ;
HR
17 Januari 1921
Penyerahan
sesuatu barang merupakan unsur dari kejahatan ini, yang baru terjadi apabila
orang terhadap siapa kekerasan dilakukan telah kehilangan penguasaannya atas
barang itu.
Prof.Dr.Wirjono
Prodjodikoro, SH
Tindak-Tindak
Pidana Tertentu Di Indonesia (Eresco Jakarta-Bandung, cet. Ke-III, 1980,
hal.28-29)
Unsur
“dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum” sangat penting,
oleh karenanya sudah cukup, apabila sifat pelanggaran hukum dari menguntungkan
diri sendiri ini tercakup dalam maksud si pelaku. Jadi si pelaku tetap salah,
meskipun kemudian ternyata, bahwa ternyata ia memang berhak menguntungkan diri
sendiri. Misalnya barang yang diminta dengan kekerasan itu, kemudian ternyata miliknya
si pelaku sendiri, hal mana tidak diketahui oleh si pelaku pada waktu ia
melakukan pemerasan. Dalam hal ini maka ia tidak dapat dipersalahkan melakukan
tindak pidana pemerasan, tetapi ia dapat dihukum berdasar Pasal 335 ayat (1)
nomor (1) KUHP, yang melarang tiap perbuatan paksaan dengan kekerasan.
R.
SUSILO
KUHP,
Lengkap Komentarnya Pasal Demi Pasal
“Memaksa”
artinya melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan kehendak sendiri. (Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum
dan Delik-delik Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.139-140).
“melawan
hak” = melawan hukum, tidak berhak atau bertentangan dengan hukum.
Pada
umumnya dapat dikatakan, bahwa perbuatan itu sudah boleh di9katakan sebagai perbuatan
pelaksanaan, apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen
dari peristiwa pidana, jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir
atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih hyarus dipandang sebagai perbuatan
persiapan. (hal.69) (Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan
Delik-delik Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.139-140).
Prof.Dr.Andi
Hamzah, SH
Delik-delik
Kekerasan dan Delik-delik Yang Berkaitan Dengan Kerusuhan (CV Sumber Ilmu Jaya,
Cet.ketiga Maret 2000, hal.78).
Dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, berarti menguntungkan diri
sendiri atau orang lain itu merupakan tujuan terdekat. Jadi, kalau keuntungan
itu akan diperoleh secara tidak langsung, artinya masih diperlukan tahap-tahap
tertentua untuk mencapainya, maka bukanlah pemerasan (J.M. van Bemmelen –
W.F.C. van Hattum).
Melawan
hukum di sini merupakan tujuan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain. Jadi, pembuat mengetahui bahwa perbuatannya untuk menguntungkan diri
sendiri itu melawan hukum. Maksud di sini merupakan suatu yang subjektif.
Bagaimana jika ternyata kemudian, bahwa sebenarnya ia tidak melawan hukum /
Misalnya A memaksa B untruk menyerahkan wasiat dari paman yang bernama X,
sedangkan A pikir ia tidak berhak untuk minta itu. Yang berhak ialah Y.
Ternyata kemudian dia juga berhak atas wasiat itu. Ini bukan pemerasan menurut
J.M van Bemmelen – W.F.C. van Hattum.
ARUAN
SAKIDJO, SH.MH & DR. BAMBANG POERNOMO, SH
Hukum Pidana Dasar Aturan umum Hukum
Pidana Kodifikasi (Ghalia Indonesia, Agustus 1990,hal. 117-118).
Menurut
doktrin, perbuatan pidana yang tidak selesai dilaksanakan itu dinamakan
“percobaan”. Di dalam hukum pidana arti
beberapa istilah yang diapakai dalam Bab IX Buku I KUHP tidak dijumpai rumusan
pengertian atau definisi tentang apa yang dimaksud dengan istilah pecobaan (poging)
tersebut, tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-syarat supaya
percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum, yaitu sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, sebagai berikut :
1. adanya “niat” atau “maksud” (voornemen),
Menurut Memorie van
Toelichting, bahwa “niat“ tersebut adalah niat untuk melakukan perbuatan yang
oleh undang-undang dipandang sebagai kejahatan .
Menurut yurisprudensi
(arrest HR 6 Februari 1951), niat sering disamakan dengan kesengajaan.
Menurut pandangan Prof.
Moeljatno, mengenai unsur niat ini jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi
niat secara potensial dapat berubah menjadi kesengajaan apabila sudah
ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang
diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak
berwujud (percobaan selesai) disitu niat menjadi kesengajaan, sama dengan kalau
menghadapi delik selesai. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi
kejahatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah
kepada perbuatan, yaitu sifat melawan hukum yang subyektif (subjectieve onrechtselement). Oleh karena
niat tidak sama dan tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat
jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila timbul kejahatan. Untuk itu
diperlukan pembuktian tersendiri, bahwa isi yang yang tertentu tadi juga sudah
ada sejak niat belum ditunaikan menjadi perbuatan. (Moeljatno, Delik
Percobaan dan penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal.16-17).
2. adanya
permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering), dan
Menurut Memorie van
Toelichting dan pendapat para ahli, bahwa yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
permulaan pelaksanaan dari kejahatan.
Menurut Prof. Moeljatno,
dalam menentukan adanya “permulaan pelaksanaan” dalam delik percobaan ada dua
faktor yang harus diperhatikan yaitu yaitu sifat atau inti dari delik
percobaan., dan sifat atau inti dari delik pada umumnya. Mengingat kedua faktor
tersebut, maka dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila seseorang telah
melakukan perbuatan :
(a) yang secara obyektif mendekatkan kepada
delik yang dituju, atau harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik
tersebut ;
(b) secara subyektif tidak ada keragu-raguan
lagi, bahwa apa yang telah dilakukan terdakwa itu ditujukan atau diarahkan
kepada delik tertentu tadi ;
(c) bahwa apa yang telah dilakukan oleh
terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
(Moeljatno, Delik Percobaan
dan penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal.28-29).
3. pelaksanaan
tersebut tidak selesai bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri.
Dalam tahun 1924 Hoge Raad
menetapkan bahwa syarat untuk percobaan yang dapat dipidana yaitu bahwa
kejahatan tidak selesai semata-mata disebabkan oleh keadaan yang tidak
bergantung dari kehendak pembuat, mengakibatkan pembuat tersebut tidak
dipidana kalau pengunduran dirinya secara sukarela telah membantu tidak
selesainya kejahatan itu. Namun demikian harus disadari, bahwa sangat sulit
untuk membuktikan unsur ketiga ini ini (pelaksanaan tersebut tidak selesai
bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri) karena redaksinya yang negatif : negativa
non sunt probanda. Karena itulah pembuktian unsur ini dalam praktek menjadi
dugaan, yang meskipun dimasukkan sebagai unsur oleh jaksa dalam tuntutannya,
tetapi baru dianggap sebagai tidak terbukti oleh hakim kalau ada bantahan yang
cukup dari terdakwa. (Prof.Dr.D.Schaffmeister, dkk ; Hukum Pidana, Liberty
Yogyakarta, Cet. Ke-1, 1995, hal.222).
Oleh karena itu, dalam
rangka untuk memudahkan pelaksanaan tugas penuntut umum, Lamintang P.A.F (Dasar-Dasar
Untuk mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku di Indonesia. Bandung ; Sinar Baru,
1984, Hal.545-546) mengusulkan cara yang paling praktis untuk dikerjakan
adalah : menyebutkan keadaan-keadaan
yang mana saja yang telah menghambat pelaksanaan kejahatan yang dilakukan oleh
tertuduh dan menjelaskan keadaan-keadaan yang bergantung pada kemauan tertuduh,
dan hanya keadaan-keadaan itulah pelaksanaan kejahatan yang dilakukan oleh
tertuduh menjadi tidak selesai. Demikian pula dalam konteks ini, Van Hattum (sebagaimana
yang dikutip oleh Prof. A.Z. Abidin & Prof. A. Hamzah (Bentuk-Bentuk Khusus
Perwujudan Delik – Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik – dan Hukum
Penetensier ; Sumber Ilmu Jaya, 2002, Hal.92) menyebutkan contoh-contoh
“keadaan-keadaan yang semata-mata tidak bergantung pada kehendak pembuat
delik”, yaitu sebagai berikut :
-
pelaku
telah tertangkap tangan pada waktu mulai melakukan perbuatan untuk mewujudkan
kejahatan.
-
Korban
memberikan perlawanan.
-
Korban
melarikan diri.
-
Senjata
api yang digunakan rusak, sehingga tembakan pelaku tidak mengenai sasaran
(korban), dan
-
Korban
ternyata tidak meninggal dunia karena lukanya, dan kemudian sembuh.
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |