Senin, 25 Agustus 2014

Pasal 368 KUHP, Unsur, Penafsiran dan Penjelasan



PENAFSIRAN UNSUR-UNSUR PASAL
368 jo. 53 KUHP

Pasal 368 KUHP

(1)   Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara maksimum 9 tahun.
(2)   Ketentuan Pasal 365 ayat kedua, ketiga dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Pasal 53 KUHP

(1)   Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2)   Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi 1/3.
(3)   ……………..
(4)   ……………..

5.    unsur perbuatan mana tidak sampai selesai dilaksanakan bukan semata-mata disebabkan atas kehendaknya terdakwa sendiri   ;


*  HR 17 Januari 1921
      *  Penyerahan sesuatu barang merupakan unsur dari kejahatan ini, yang baru terjadi apabila orang terhadap siapa kekerasan dilakukan telah kehilangan penguasaannya atas barang itu.

 * Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro, SH
      Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (Eresco Jakarta-Bandung, cet. Ke-III, 1980, hal.28-29)
      *  Unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum” sangat penting, oleh karenanya sudah cukup, apabila sifat pelanggaran hukum dari menguntungkan diri sendiri ini tercakup dalam maksud si pelaku. Jadi si pelaku tetap salah, meskipun kemudian ternyata, bahwa ternyata ia memang berhak menguntungkan diri sendiri. Misalnya barang yang diminta dengan kekerasan itu, kemudian ternyata miliknya si pelaku sendiri, hal mana tidak diketahui oleh si pelaku pada waktu ia melakukan pemerasan. Dalam hal ini maka ia tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana pemerasan, tetapi ia dapat dihukum berdasar Pasal 335 ayat (1) nomor (1) KUHP, yang melarang tiap perbuatan paksaan dengan kekerasan.

 * R. SUSILO
      KUHP, Lengkap Komentarnya Pasal Demi Pasal
      *  “Memaksa” artinya melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri. (Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.139-140).
      *  “melawan hak” = melawan hukum, tidak berhak atau bertentangan dengan hukum.
      *  Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa perbuatan itu sudah boleh di9katakan sebagai perbuatan pelaksanaan, apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana, jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih hyarus dipandang sebagai perbuatan persiapan. (hal.69) (Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.139-140).

 * Prof.Dr.Andi Hamzah, SH
      Delik-delik Kekerasan dan Delik-delik Yang Berkaitan Dengan Kerusuhan (CV Sumber Ilmu Jaya, Cet.ketiga Maret 2000, hal.78).
      *  Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, berarti menguntungkan diri sendiri atau orang lain itu merupakan tujuan terdekat. Jadi, kalau keuntungan itu akan diperoleh secara tidak langsung, artinya masih diperlukan tahap-tahap tertentua untuk mencapainya, maka bukanlah pemerasan (J.M. van Bemmelen – W.F.C. van Hattum).
      *  Melawan hukum di sini merupakan tujuan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Jadi, pembuat mengetahui bahwa perbuatannya untuk menguntungkan diri sendiri itu melawan hukum. Maksud di sini merupakan suatu yang subjektif. Bagaimana jika ternyata kemudian, bahwa sebenarnya ia tidak melawan hukum / Misalnya A memaksa B untruk menyerahkan wasiat dari paman yang bernama X, sedangkan A pikir ia tidak berhak untuk minta itu. Yang berhak ialah Y. Ternyata kemudian dia juga berhak atas wasiat itu. Ini bukan pemerasan menurut J.M van Bemmelen – W.F.C. van Hattum.
     
*  ARUAN SAKIDJO, SH.MH & DR. BAMBANG POERNOMO, SH
      Hukum Pidana Dasar Aturan umum Hukum Pidana Kodifikasi (Ghalia Indonesia, Agustus 1990,hal. 117-118).
      *  Menurut doktrin, perbuatan pidana yang tidak selesai dilaksanakan itu dinamakan “percobaan”.  Di dalam hukum pidana arti beberapa istilah yang diapakai dalam Bab IX Buku I KUHP tidak dijumpai rumusan pengertian atau definisi tentang apa yang dimaksud dengan istilah pecobaan (poging) tersebut, tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-syarat supaya percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, sebagai berikut :
1.   adanya “niat” atau “maksud” (voornemen),
Menurut Memorie van Toelichting, bahwa “niat“ tersebut adalah niat untuk melakukan perbuatan yang oleh undang-undang dipandang sebagai kejahatan .
Menurut yurisprudensi (arrest HR 6 Februari 1951), niat sering disamakan dengan kesengajaan.
Menurut pandangan Prof. Moeljatno, mengenai unsur niat ini jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial dapat berubah menjadi kesengajaan apabila sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak berwujud (percobaan selesai) disitu niat menjadi kesengajaan, sama dengan kalau menghadapi delik selesai. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi kejahatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu sifat melawan hukum yang subyektif  (subjectieve onrechtselement). Oleh karena niat tidak sama dan tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila timbul kejahatan. Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri, bahwa isi yang yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum ditunaikan menjadi perbuatan. (Moeljatno, Delik Percobaan dan penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal.16-17).

 2.  adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering), dan

Menurut Memorie van Toelichting dan pendapat para ahli, bahwa yang dimaksudkan dalam hal ini adalah permulaan pelaksanaan dari kejahatan.
Menurut Prof. Moeljatno, dalam menentukan adanya “permulaan pelaksanaan” dalam delik percobaan ada dua faktor yang harus diperhatikan yaitu yaitu sifat atau inti dari delik percobaan., dan sifat atau inti dari delik pada umumnya. Mengingat kedua faktor tersebut, maka dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila seseorang telah melakukan perbuatan :
(a)    yang secara obyektif mendekatkan kepada delik yang dituju, atau harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut ;
(b)    secara subyektif tidak ada keragu-raguan lagi, bahwa apa yang telah dilakukan terdakwa itu ditujukan atau diarahkan kepada delik tertentu tadi ;
(c)     bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
(Moeljatno, Delik Percobaan dan penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal.28-29).

 3.  pelaksanaan tersebut tidak selesai bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri.

Dalam tahun 1924 Hoge Raad menetapkan bahwa syarat untuk percobaan yang dapat dipidana yaitu bahwa kejahatan tidak selesai semata-mata disebabkan oleh keadaan yang tidak bergantung dari kehendak pembuat, mengakibatkan pembuat tersebut tidak dipidana kalau pengunduran dirinya secara sukarela telah membantu tidak selesainya kejahatan itu. Namun demikian harus disadari, bahwa sangat sulit untuk membuktikan unsur ketiga ini ini (pelaksanaan tersebut tidak selesai bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri) karena redaksinya yang negatif : negativa non sunt probanda. Karena itulah pembuktian unsur ini dalam praktek menjadi dugaan, yang meskipun dimasukkan sebagai unsur oleh jaksa dalam tuntutannya, tetapi baru dianggap sebagai tidak terbukti oleh hakim kalau ada bantahan yang cukup dari terdakwa. (Prof.Dr.D.Schaffmeister, dkk ; Hukum Pidana, Liberty Yogyakarta, Cet. Ke-1, 1995, hal.222).
Oleh karena itu, dalam rangka untuk memudahkan pelaksanaan tugas penuntut umum, Lamintang P.A.F (Dasar-Dasar Untuk mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku di Indonesia. Bandung ; Sinar Baru, 1984, Hal.545-546) mengusulkan cara yang paling praktis untuk dikerjakan adalah :  menyebutkan keadaan-keadaan yang mana saja yang telah menghambat pelaksanaan kejahatan yang dilakukan oleh tertuduh dan menjelaskan keadaan-keadaan yang bergantung pada kemauan tertuduh, dan hanya keadaan-keadaan itulah pelaksanaan kejahatan yang dilakukan oleh tertuduh menjadi tidak selesai. Demikian pula dalam konteks ini, Van Hattum (sebagaimana yang dikutip oleh Prof. A.Z. Abidin & Prof. A. Hamzah (Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik – Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik – dan Hukum Penetensier ; Sumber Ilmu Jaya, 2002, Hal.92) menyebutkan contoh-contoh “keadaan-keadaan yang semata-mata tidak bergantung pada kehendak pembuat delik”, yaitu sebagai berikut :
-          pelaku telah tertangkap tangan pada waktu mulai melakukan perbuatan untuk mewujudkan kejahatan.
-          Korban memberikan perlawanan.
-          Korban melarikan diri.
-          Senjata api yang digunakan rusak, sehingga tembakan pelaku tidak mengenai sasaran (korban), dan
-          Korban ternyata tidak meninggal dunia karena lukanya, dan kemudian sembuh.
 

1 komentar:

  1. PROMO WOW..... ANAPoker

    + Bonus Extra 10% (New Member)
    + Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
    + Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
    + Bonus 20.000 (ALL Members)
    BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
    POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10

    BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON

    Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
    - Minimal Deposit Yang terjangakau
    - WD tanpa Batas

    Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
    WhatsApp | 0852-2255-5128 |

    BalasHapus