Selasa, 26 Agustus 2014

Tahapan Penyelidikan/Penyidikan TP Korupsi supaya lebih Optimal

  

TAHAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI SUPAYA LEBIH OPTIMAL

Penanganan masalah korupsi di Indonesia telah menimbulkan dilematik sosial karena akibat manajemen korupsi dalam birokrasi pemerintahan dan swasta menyebabkan korupsi itu telah membudaya; sedangkan pada sisi lain proses penegakan hukum dalam memberantas korupsi yang dilakukan oleh pemerintah amat lamban, dan kalaupun bisa sampai kepengadilan lebih banyak mengecewakan masyarakat.
Adalah menjadi tanggung jawab bersama untuk mencari pemecahan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan guna mengatasi dilematik yang menimpa masyarakat dalam memberantas korupsi saat ini.

 

MODUS OPERANDI KORUPSI

Dari berbagai kasus yang ditanda tangani Kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya ditemukan bentuk-bentuk cara melakukan korupsi menggunakan modus :
1.     Pemalsuan dokumen, dilakukan dengan cara membuat surat palsu, dokumen palsu atau berita acara palsu, ini sering terjadi dalam pembangunan proyek pisik seperti gedung, jalan, lahan, reboisasi, pengerukan sungai dan berbagai pekerjaan yang memerlukan adanya berita acara pada saat pencairan dana proyek. Dalam dunia perbankan pun sering terjadi dengan membuat surat-surat palsu yang berkaitan dengan agunan kredit yang disebut dengan “mark up” dan juga yang berkaitan dengan proses pencairan dana dalam kegiatan perbankan.
2.     Pemalsuan kwitansi, ini biasanya terjadi pada tanda terima sejumlah uang yang diisikan berbeda dengan besar jumlah pisik dana yang sebenarnya.
3.     Menggelapkan uang/barang milik negara atau kekayaan negara; umumnya dilakukan oleh para Bendaharawan proyek dimana ia seharusnya menyimpan uang tersebut secara baik sesuai ketentuan yang ada, tetapi malah memakai uang tersebut untuk keperluan pribadi.  
4.      Penyogokan atau penyuapan biasanya terjadi antara seseorang memberikan hadiah kepada seorang pegawai negeri dengan maksud agar pegawai negeri itu berbuat atau mengalpakan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

TAHAP-TAHAP PENYIDIKAN DAN TEHNIK PELAKSANAAN.

Penyidikan adalah suatu rangkaian tindakan dari penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti  dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
Rangkaian tindakan penyidik dimaksud, pada hakekatnya bersifat pembatasan hak-hak asasi manusia yang oleh undang-undang diperkenankan dalam rangka penegakan hukum yaitu untuk memulihkan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum yang telah terganggu akibat terjadinya suatu tindak pidana.
Walaupun undang-undang memperkenankan pembatasan hak-hak asasi tersebut demi penegakan hukum, tetapi undang-undang hukum acara kita juga membatasi pelaksanaan penyidikan tersebut sedemikian rupa agar jangan sampai melanggar hak-hak asasi yang paling pokok dari setiap individu yaitu antara lain asas-asas :
1.    Praduga tak bersalah ( Presumton of innocence )
2.    Persamaan dimuka hukum ( Equality before the law )
3.    Hak mempeoleh bantuan hukum/penasihat hukum ( Legal aid/assistance ).
4.    Peradilan yang cepat, sederhana, murah serta bebas dan jujur.
5.    Penagkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus berdasar perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang.
6.    Ganti rugi dan rehabilitasi.
7.    Non self-incrimination.
Pada waktu melakukan rangkaian tindakan tadi, penyidik wajib menghormati asas-asas tersebut.
Rangkaian tindakan untuk mencari dan memgumpulkan bukti tersebut terdiri dari beberapa tahap yaitu :
1.    Tahap penyelidikan.
2.    Tahap penindakan ( pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, -penyitaan ).
3.    Tahap pemeriksaan ( pemeriksaan tersangka dan saksi ).
Setelah ketiga tahap diatas dilaksanakan dan hasilnya telah dianggap cukup, maka dapat di tingkatkan ke tahap evaluasi dan tahap pemberkasan.
Sebelum diberkas, bila dianggap perlu, hasil penyidikan tersebut dapat dipaparkan terlebih dahulu dihadapan pimpinan dan jaksa-jaksa lain sambil didiskusikan apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki/ditambah.
Hampir keseluruhan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang menyangkut penyidikan, berlaku juga dalam penyidikan tindak pidana khusus, sebab seperti dikemukakan dimuka, sesuai dengan bunyi pasal 284 ayat (2) KUHAP, pada dasarnya terhadap semua perkara, ketentuan-ketentuan dalam KUHAP diberlakukan.


TAHAP PENYELIDIKAN :
Menurut Buku Pedoman KUHP, penyelidikan diintrodusir dalam KUHP dengan motivasi perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan yang ketat terhdap penggunaan upaya paksa, dimana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa dilakukan, penyelidikan mendahului tindakan-tindakan lain yaitu untuk
menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Dengan demikian, penggunaan upaya kepentingan umum yang lebih luas.
Pasal 1 butir 5 KUHAP memberikan definisi dari penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
Dari definisi tersebut diatas jelaslah bahwa fungsi penyelidikan merupakan suatu kesatuan dengan fungsi penyidikan, penyelidikan hanya merupakan salah satu cara, salah satu tahap dari penyidikan, yaitu tahap yang seyogyanya dilakukan lebih dahulu sebelum melangkah kepada tahap-tahap penyidikan selanjutnya seperti penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan seksi dan sebagainya.
Kita harus membedakan penyelidikan menurut KUHAP dan penyelidikan sebagai kegiatan intelijen, sebab jenis penyelidikan yang berakhir ini belum menyentuh KUHAP.
Kejaksaan mengenal law intelligence atau intelijen hukum. Dalam pelajaran tentang intelijen, para siswa akan mengetahui peranan apa yang dapat diberikan oleh intelijen untuk mensukseskan suatu penyidikan (termasuk suksesnya penyelidikan KUHAP).
Fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan/pembinaan dari intelijen dapat memberikan manfaat yang besar bila dilakukan secara tepat dan dalam bentuk kordinasi yang baik pada waktu kita melakukan penyidikan / penyelidikan KUHAP.
Penyelidikan diatur dalam KUHAP dalam pasal-pasal 5, 9, 75, 102, 103, 104, 105 dan 111. oleh karena KUHAP menganut pokok pikiran bahwa yang berhak melakukan penyelidikan hanyalah pejabat POLRI, maka bunyi pasal-pasal tersebut harus dibaca dengan penyesuaian seperlunya agar dapat dipergunakan sebagai dasar oleh Jaksa Penyelidik terhadap tindak pidana khusus.
Pada penyidikan tindak pidana khusus, arti tahap penyelidikan ini justru sangat penting, tidak hanya untuk kebutuhan perlindungan hak-hak asasi seperti tersebut diatas, tetapi diharapkan bahwa pada tahap penyelidikan ini, Jaksa penyelidik harus berusaha menguasai “anatomi” kasus yang sedang dihadapi.
Dengan makin canggihnya tehnologi dan berkembangnya berbagai tatanan kehidupan social dan ekonomi, kehidupan ini kelihatan seperti hutan belantara yang tak seorangpun (termasuk Jaksa) mengetahui dengan tepat apa isi hutan belantara itu. Dalam kehidupan ekonomi misalnya, tatanannya penuh dengan  ketentuan-ketentuan perdagangan internasional, perbankan pelayaran atau angkutan lainya, industri dan lain-lain dengan administrasinya yang begitu rumit. Dan terjadinya suatu kasus dalam bidang ekonomi tidak akan terlepas dari masalah-masalah tersebut diatas.
Pada penyidikan tindak pidana korupsi, masalahnya adalah serupa. Tindak Pidana korupsi hampir tidak bisa dipisahkan dari administrasi pemerintah tersebut (termasuk perusahaan-perusahaan milik Negara) begitu luas dan rumit. Misalnya tindak pidana korupsi pada dana proyek padat karya. Pengungkapan tindak pidana ini tidak mungkin dilepaskan dari hal-hal yang menyangkut Struktur Organisasi DEPNAKER, kaitannya dengan PEMDA setempat, ketentuan-ketentuan tentang pengolahan keuangan negara/proyek dan lain sebagainya.
Dari seorang Jaksa Penyelidikan tidak dapat diharapkan bahwa setiap waktu dia “siap pakai’ karena sudah menguasai segala sesuatunya. Dibutuhkan waktu untuk dapat menguasainya dengan baik. Pada tahap penyelidikan kesempatan untuk itu dapat digunakan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan, bahwa seorang Jaksa Penyelidik harus mempunyai kwalitas sebagai berikut :
1.    Menguasai dasar-dasar pengetahuan (secara umum) mengenai bidang kehidupan negara/ekonomi/social yang ada kaitannya dengan kasus yang terjadi,
2.    Berdasar pengatahuan tersebut, pada waktu mendapat perintah untuk melakukan penyelidikan, dia dengan cepat dapat menentukan dari siapa, atau dimana dia dapat memperoleh penjelasan lebih dalam/luas mengenai bidang tersebut.
3.    Mempersiapkan bahan-bahan yang diperoleh selama penyelidikan tersebut dalam bentuk yang lengkap dan teratur sehingga dengan mudah dan tepat dapat dipergunakan pada tahap penindakan.
Dengan penjelasan diatas, tidaklah berarti bahwa tiap penyidikan tindak pidana khusus harus selalu dimulai dengan kegiatan penyelidikan dan sesudah itu baru dilakukan kegiatan penindakannya. Ada kasus-kasus tertentu dimana pada saat itu juga perlu langsung dilakukan kegiatan penindakan (penangkapan, penahanan atau pemeriksaan). Tetapi walaupun demikian, secara bersamaan dapat di tugaskan jaksa yang lain untuk melakukan kegiatan penyelidikan untuk memperoleh masukan-masukan yang diperlukan.
Dibawah ini akan dijelaskan secara singkat kapan dan bagaimana penyelidikan itu dilakukan agar dapat mencapai hasil yang maksimal.
1.    Kapan penyelidikan dimulai.
Pertimbangan untuk mulai melakukan suatu penyelidikan pada dasarnya ditentukan oleh penilaian terhadap suatu infomasi atau data baru yang diperoleh oleh Seksi Penyelidikan.
Informasi atau data baru tersebut dapat diperoleh melalui :
a.    Sumber-sumber tertentu yang dapat dipercayai.
b.    Adanya laporan langsung ke Kejaksaan dari orang yang mengetahui terjadinya suatu tindak pidana khusus.
c.    Hasil Berita Acara yang dibuat oleh Jaksa Penyidik/Penyelidik.
Sumber-sumber informasi yang dapat dipergunakan sangat banyak sekali, mungkin sumber tersebut berupa orang, tilisan dalam media, instansi/perusahaan atau petugas Kejaksaan sendiri dan sebagainya.
Laporan langsung diterima dari orang yang mengetahui terjadinya suatu tindak pidana khusus dapat berupa laporan tertulis dan dapat juga berupa laporan lisan yang oleh jaksa yang menerima laporan tersebut dituangkan dalam bentuk Berita Acara Penerimaan Laporan. Dalam pemerikasaan seorang tersangka atau seorang saksi mungkin ditemukan suatu keterangan tentang adanya suatu tindak pidana khusus yang lain diluar dari tindak pidana yang sedang disidik/diperiksa.
Keterangan seperti itu dapat menjadi sumber untuk pertimbangan perlu tidaknya dilakukan suatu penyelidikan.
2.    Tujuan Penyelidikan.
Tujuan utama dari setiap penyelidikan adalah untuk mengumpulkan keterangan-keterangan/data-data yang dapat dipergunakan untuk :
a.    Menentukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan suatu tindak pidana khusus atau bukan.
b.    Siapa yang dapat dipertanggung jawabkan (secara pidana) terhadap tindak pidana tersebut.
c.    Persiapan pelaksanaan tahap penindakan.
Seperti telah dijelaskan terdahulu, pengetahuan yang mendalam dari Jaksa penyelidik tentang unsur-unsur suatu tindak pidana khusus dan tentang hukum acara yang berlaku mutlak diperlukan untuk dapat menentukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Bila Jaksa penyelidik kurang menguasainya, maka arah penyelidikan menjadi tidak tentu dan mungkin akan menghasilkan suatu kesimpulan yang keliru.
Hasil penyelidikan dapat dipergunakan untuk persiapan pelaksanaan terhadap penindakan, yaitu dalam arti bahwa setelah penyelidikan selesai, Jaksa penyelidik sudah mempunyai gambaran tentang calon tersangka yang perlu diperiksa dan/atau ditangkap dan/atau ditahan, saksi-saksi yang perlu dipanggil, tempat-tempat yang perlu digeledah, barang bukti yang perlu disita dan sebagainya.
3.    Sasaran Penyelidikan.
Melihat apa yang telah dijelaskan pada butir 1 dan 2 diatas, tentunya sasaran penyelidikan itu dapat berupa :
a.    Orang.
b.    Benda/barang/surat.
c.    Tempat/bangunan/alat angkut dsb.
4.    Cara Penyelidikan.
Penyelidikan dapat dilakukan secara :
a.    Terbuka.
b.    Tertutup.
Penyelidikan dengan cara terbuka dilakukan apabila keterangan-keterangan/data-data yang dibubuhkan agak mudah memperolehnya dan apabila dianggap cara tersebut tidak akan mengganggu / menghambat proses penyelidikan selanjutnya.
Perlu diperhatikan ketentuan dalam 104 KUHAP yang menentukan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan dengan cara terbuka tersebut, penyelidik wajib penunjukan tanda pengenal. Oleh karena sampai sekarang Jaksa penyelidik belum pernah dilengkapi dengan tanda pengenal sebagai penyelidik tersebut, maka tanda pengenal sebagai Jaksa dapat dipergunakan atau kalau dilengkapi dengan Surat Perintah Penyelidikan, maka surat Perintah tersebut yang ditunjukkan.
Dalam melakukan penyelidikan dengan cara tertutup, jaksa penyelidik harus dapat menghindarkan diri dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum. Selain itu harus menguasai teknik-teknik penyelidikan cara tertutup seperti wawancara, pengamatan, pengusutan, dan sebagainya.
Teknik-teknik seperti itu dikenal juga dalam dunia intelijen dan pelaksanaannya tidak banyak berbeda.
Baik dalam penyelidikan terbuka maupun dalam penyelidikan tertutup agar dapat dihindari tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan tuntutan ganti rugi.
5.    Rencana Penyelidikan ( Renlid ).
Diatas telah dijelaskan tujuan dari penyelidikan adalah untuk mengetahuai apakah suatu tindak pidana khusus benar telah terjadi dan siapa pelakunya, hasil penyelidikan mana akan dipergunakan sebagai bahan persiapan untuk melakukan penindakan
Agar tujuan tersebut dapat dicapai dengan maksimal, sebaiknya sebelum melakukan kegiatan penyelidikan, terlebih dahulu disusun suatu Rencana Penyelidikan (Renlid). Semua kegiatan selanjutnya harus mempedomani rencana yang telah disusun tersebut agar terarah dan terkendali dengan baik.
Sampai sekarang belum ada petunjuk yang jelas tentang bentuk (form) dari Renlid dimaksud. Oleh karena itu sebagai pedoman dapat dipergunakan form Renlid yang dikenal pada kegiatan pul data Bidang Intelijen dengan penyesuaian seperlunya.
Renlid dimaksud hendaknya memuat :
1.    Sumber Infomasi yang perlu di hubungi (orang, instansi, badan, tempat dll).
2.    Informasi atau alat bukti apa yang dibutuhkan dari sumber tersebut (yang bermanfaat untuk pembuktian tindak pidana).
3.    Cara memperoleh informasi atau alat bukti tersebut (terbuka, tertutup, wawancara, interogasi, pemotretan dll).
4.    Petugas pelaksana.
5.    Batas waktu kegiatan.
Penentuan sumber informasi dan penentuan, tentang informasi apa yang dibutuhkan dari Sumber tersebut, didasarkan pada data-data/infomasi dasar yang telah diperoleh sebelumnya.
Sedang cara memperoleh informasi/alat bukti tergantung pada penilaian terhadap kondisi sumber, apakah mudah atau sukar didekati.
6.    Laporan hasil penyelidikan.
Setelah penyelidikan selesai dilakukan, jaksa penyelidik mengolah data-data yang telah terkumpul dan berdasarkan hasil pengolahan tersebut, disusun suatu Laporan Hasil Penyidikan.
Laporan tersebut memuat :
a.  Sumber data/keterangan.
b.    Data/keterangan apa yang diperoleh dari setiap sumber tersebut.
c.    Barang bukti.
d.    Analisa.
e.    Kesimpulan tentang benar tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana khusus dan siapa pelakunya.
f.     Saran tentang tindakan-tindakan apa yang perlu dilakukan dalam tahap penyidikan selanjutnya.
7.    Pemaparan (ekspose) hasil penyelidikan.
Kadang-kadang dapat terjadi, suatu hasil penyelidikan yang sudah dianggap “matang” untuk ditingkatkan ke tahap penindakan dan pemeriksaan (tahap-tahap inti dari penyidikan atau penyidikan dalam arti sempit), kemudian pada akhir penyidikan ternyata bahwa tidak terdapat cukup alasan untuk melanjutkan ke tingkat penuntutan, sehingga terpaksa dilakukan penghentian penyidikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Pada kejadian seperti ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil penyelidikan yang menjadi dasar dari penyidikan tersebut, sebenarnya belum matang. Padahal seperti kita ketahui, menurut pasal 77 KUHAP, penghentian penyidikan adalah salah satu obyek dari pra-peradilan.
Untuk sejauh mungkin menghindari adanya SP3 tersebut, pimpinan Kejaksaan menentukan kebijaksanaan agar pada setiap akhir tahap penyelidikan selalu dilakukan pra-pemaparan (pra-ekspose) agar terdapat gambaran yang jelas
tentang alat bukti yang mendukung rencana dakwaan ataukah masih perlu dilakukan pengembangan. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam surat Jam Pidsus kepala seluruh Kejati se Indonesia No.B-110/F/Fpy.2/2/1986 tanggal 19 Pebruari 1986.
Tata cara pelaksanaan pra-ekspose tersebut dapat mempedomani tata-cara pelaksanaan pemaparan (ekspose) hasil penyidikan yang akan dijelaskan pada Tahap Pemaparan yang akan dijelaskan kemudian.

TAHAP PENINDAKAN.
Tahap ini dilaksanakan setelah kita yakin bahwa telah terjadi suatu tindak pidana khusus dan untuk memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana tersebut dibutuhkan tindakan-tindakan tertentu yang berupa pembatasan dan “pelanggaran” hak-hak asasi seseorang yang bertanggung jawab terhadap terjadinya tindak pidana dimaksud.
Keyakinan tersebut diatas kita peroleh dari hasil penyelidikan sebelumnya. Menurut istilah hukumnya dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan terdapat bukti permulaan yang cukup kuat bahwa tindak pidana khusus tertentu telah terjadi dan bahwa seseorang tertentu dapat dipersalahkan sebagai pelaku.
Dalam tahap penindakan ini, tindakan-tindakan hukum yang dapat diambil adalah :
a.    Pemanggilan ( tersangka dan saksi ).
b.    Penangkapan.
c.    Penahanan.
d.    Penggeledahan.
e.    Penyitaan.

TAHAP PEMERIKSAAN.
Pada tahap inilah dapat diperoleh alat-alat bukti yang paling pokok sebagaimana ditentukan oleh pasal 184 ayat (2) KUHAP. Bahkan sebenarnya, pada tahap inilah dapat diungkapkan :
a.    Tindak pidana apa sebenarnya yang telah terjadi.
b.    Bagaimana modus operandinya.
c.    Siapa-siapa yang tersangkut ( baik sebagai tersangka maupun saksi ) dan apa peranan masing-masing dalam tindak pidana tersebut.
d.    Apa arti atau peranan barang bukti yang telah disita dalam tindak pidana tersebut ( barang bukti antara lain baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti petunjuk melalui keterangan saksi dan keterangan tersangka ).
Semua keterangan tersebut akan menjadi jelas melalui keterangan orang-orang yang diperiksa, apakah sebagai saksi, sebagai ahli ataupun sebagai tersangka.
Para saksi dan ahli wajib menerangkan kejadian yang sebenarnya, oleh karena itu dari mereka bisa diharapkan keterangan yang jelas dan benar tentang tindak pidana tersebut.
Keterangan para saksi, ahli dan tersangka tersebut dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan.
Berita Acara Pemeriksaan tersangka dengan saksi adalah catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh Jaksa Penyidik atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditanda tangani oleh Jaksa Penyidik dan orang yang diperiksa ( tersangka dan saksi ) yang isinya memuat uraian tentang / mencakup :
1.    Identitas pemeriksa dan orang yang diperiksa.
2.    Unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan.
3.    Waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan.
4.    Catatan mengenai akta/surat dan/atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian penyidikan.

TAHAP EVALUASI.
a.    E v a l u a s i.
Pada tahap evaluasi ini jaksa penyidik melakukan penilaian terhadap semua hasil yang telah dicapai pada tahap-tahap sebelumnya, untuk menjawab pertanyaan : apakh dia telah berhasil mengumpulkan alat bukti yang cukup intuk membuktikan bahwa tindak pidana khusus yang sedang disidik tersebut telah terjadi dan bahwa orang yang telah dieperiksa sebagai tersangka adalah pelakunya dan dapat dipersalahkan terhadap tindak pidana tersebut.
Evaluasi ini dapat dilakukan melalui 3 jenis tindakan :
1.       Inventarisasi :
Pada waktu melakukan inventarisasi ini, jaksa penyidik melakukan pencatatan tentang:
1.1. siapa-siapa yang telah diperiksa baik sebagai saksi, ahli maupun sebagai
                tersangka.
1.2.alat bukti surat apa yang telah berhasil disita.
1.3.Barang bukti apa yang telah berhasil disita.
2.    S e l e k s i :
1.1. Hasil inventarisasi  tadi diseleksi,dikelompokkan sesuai dengan nilai pembuktian masing-masing alat bukti yang telah berhasil dikumpulkan.
1.2. Alat bukti yang telah dikelompokkan tersebut kemudian dihubungkan dengan unsur-unsur tindakan pidana yang disangkakan.
3.            P e n g k a j i a n :
Hasil seleksi tadi kemudian dikaji  untuk dapat menyimpulkan apakah alat-alat bukti  tersebut sudah cukup kuat untuk membuktikan  bahwa tersangka telah memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam pasal yang berisi perumusan  tindak pidana yang disangkakan.
Evaluasi tersebut diatas akan menghasilkan suatu gambaran menyeluruh tentang tindak pidana yang bersangkutan dan tentang alat-alat bukti yang mendukung, demikian juga dengan barang buktinya. Hasil evaluasi ini sangat bermanfaat untuk penyusunan resume.



b. RESUME.
Pimpinan pada umumnya tidak mempunyai cukup waktu untuk membaca semua berkas Berita Acara Pemeriksaan dan hanya membaca resume saja. Oleh karena itu penyusunan resume harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dengan membaca resume, pimpinan mendapat gambaran yang bulat dari tindak pidana yang terjadi, yaitu yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.    bahwa benar tindak pidana telah terjadi.
2.     Peranan masing-masing tersangka yang terlibat.
3.    Siapa-siapa saksinya ( baik yang menguntungkan maupun merugikan ).
4.     Alat bukti lain yang mendukung.
Apabila semua kegiatan penyidikan pada setiap tahap yang telah dijelaskan diatas sudah dilaksanakan dengan baik dan lengkap, maka sebenarnya, keseluruhan tugas penyidikan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan penilaian telah selesai dilakukan.
Tahap pemaparan ( ekspose ) dan tahap pemberkasan berikutnya hanyalah bersifat pelengkap yaitu :
1.    Pada tahap pemaparan ( ekspose ), penilaian kita tadi diuji oleh rekan-rekan jaksa lain.
2.  Tahap pemberkasan hanya berupa pekerjaan administratip untuk menghimpun dokumen-dokumen penyidikan yang telah selesai dibuat.
Keterampilan seorang jaksa dalam penyidikan sangat ditentukan oleh kemampuannya melakukan tahap-tahap penyidikan yang telah dijelaskan dimuka. Tahap-tahap tersebut tidak mungkin dilaksanakan dengan baik tanpa penguasaan yang mendalam tentang hukum pidana, baik dalam arti materi maupun formil, disamping penguasaan “anatomi” dan atau “kondisi” lingkungan yang menyangkut tindak pidana tersebut.

 

TAHAP  PEMAPARAN (EKSPOSE )

Pemaparan ( ekspose )  dilakukan sebelum  dilakukan pemberkasan ( merupakan tahap akhir dari bagian penyidikan ).
Sebenarnya tahap pemaparan ini tidak dikenal dalam hukum acara pidana dan juga tidak pernah disebut-sebut dalam keputusan Jaksa Agung yang mengatur administratip perkara.
Tahap ini timbul adalah berdasar surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No.B-300/PIDSUS /7/1984 tanggal 31 Juli 1984 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia. Surat ini dikeluarkan berdasar alasan praktis, karena dalam praktek penanganan tindak pidana khusus dirasakan adanya kebutuhan untuk lebih dahulu memaparkan hasil kegiatan penyelidikan dan atau penyidikan yang telah dilakukan dengan tujuan agar setiap kegiatan itu dilakukan dapat mencapai hasil yang maksimal.

TINJAUAN MENGENAI SP-3

Aktifitas yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung tentang telah terjadinya suatu Tindak Pidana secara umum dapat disebut tindakan penyidikan.
Sesuai dengan maksud dilakukannya penyidikan tersebut, maka akhir dari aktivitas penyidikan hanya ada dua, yaitu :
·         Penyidikannya lengkap dalam arti memenuhi persyaratan formal dan materil (cukup alat bukti), maka dengan sendirinya perkara tersebut harus diteruskan ke tingkat penuntutan guna dibawa ke persidangan.
·         Hasil penyidikannya tidak lengkap dalam arti tidak memenuhi kelengkapan perlengkapan secara formal dan materil. Akibatnya perkara tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan, apalagi dibawa ke persidangan. Untuk itu penyidikan tersebut harus dihentikan.
Masalahnya sekarang apakah ada dasar hukum yang mengatur secara tegas bahwa penyidik mempunyai hak untuk menghentikan suatu perkara?
Berdasarkan pasal 109 ayat 2 KUHAP kepada penyidik diberikan wewenang untuk menghentikan penyidik suatu perkara, jika :
1.     Tidak terdapat cukup bukti. Pengertian tidak diperoleh bukti yang cukup adalah mengacu kepada pasal 184 KUHAP jo. Pasal 185 KUHAP. Dimana menurut rumusan kedua pasal tersebut untuk dapat ditingkatkannya suatu penyidikan ke tahap penuntutan setidak-tidaknya harus didukung dua alat bukti yang sah, namun demikian jika ternyata dari hasil penyidikan tersebut penyidik belum atau tidak mendapatkan dua alat bukti yang cukup, maka dengan sendirinya perkara yang disidik tersebut tidak dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan. Akibat hukumnya antara lain :
·  Penyidik menghentikan penyidikan perkara tersebut.
·  Penyidik menunda penyelesaian penyidikan perkara tersebut dalam waktu tertentu dengan harapan pada masa penundaan tersebut dapat diperoleh alat bukti tambahan yang mendukung.
Uraian tersebut di atas menunjukan kepada kita bahwa penentuan apakah suatu perkara yang masih dalam tahap penyidikan mempunyai alat bukti yang cukup atau tidak, adalah subjektif dikarenakan yang menjadi dasar untuk dilakukannya penghentian penyidikan atas perkara tersebut adalah kesimpulan dari penyidik.
Kalaupun hal itu didasarkan pada fakta yang terungkap di tingkat penyidikan (khususnya keterangan saksi-saksi) ini pun belum dapat dijadikan dasar yang mutlak, disebabkan saksi-saksi tersebut tidak memberikan keterangan di bawah sumpah. Dengan demikian terlihat bahwa sifat dari penghentian penyidikan yang dilakukan penyidik cenderung tidak obyektif dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Kecenderungan akan subjektifnya penghentian penyidikan tersebut menunjukan bahwa sangat besar kemungkinan pertimbangan yang diambil dalam menentukan tindakan menghentikan penyidikan tersebut tidak mewakili kebenaran dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dikarenakan :
i Penyidik belum mendapatkan bukti cukup, namun dalam waktu relatif singkat menghentikan penyidikan perkara tersebut, padahal kalau seandainya yang bersangkutan bersabar untuk tidak segera menghentikan, melainkan menunda sesaat sambil mengharapkan diperolehnya alat bukti tambahan, besar kemungkinan alat bukti tambahan tersebut akan diperoleh, maka perkara tersebut dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan.
i   Penyidikan sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari faktor kekhilafan dan kesalahan telah mengambil kesimpulan yang salah dalam menghentikan penyidikan tersebut. Bukankah penghentian penyidikan merupakan kesimpulan penyidik?
i   Pendapat penyidik dalam mengambil kesimpulan untuk menghentikan penyidikan tersebut telah dipengaruhi oleh faktor-faktor non yuridis.
i   Penyidikan telah keliru dalam mengambil kesimpulan untuk menghentikan penyidikan perkara tersebut, karena salah dalam menafsirkan unsur-unsur delik yang disangkakan atau keliru dalam menempatkan fakta-fakta yang diperoleh di tingkat penyidikan untuk mendukung unsur-unsur delik yang disangkakan.
2.     Peristiwa yang disidik tersebut ternyata bukan merupakan Tindak Pidana.
Hal lain yang dapat dijadikan alasan untuk menghentikan suatu penyidikan suatu perkara adalah ternyata perkara yang disidik yang dimaksud bukanlah merupakan tindak pidana. Jika Kondisi seperti ini yang ditemui oleh penyidik, maka bagi penyidik tidak ada pilihan lain kecuali menghentikan penyidikan perkara tersebut.
Dalam praktek bukanlah pekerjaan yang gampang untuk menentukan bahwa suatu peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, khususnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan batas-batas atau ruang lingkup perdata, misalnya antara perjanjian hutang piutang dengan penipuan yang menggunakan sarana surat berharga berupa Bilyet Giro yang ketika di uangkan dananya tidak mencukupi.
3.     Penyidikannya harus dihentikan demi hukum dikarenakan alasan-alasan tertentu.
Alasan penghentian ini pada pokoknya sesuai dengan alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78 dan seterusnya, yaitu :
i Nebis in idem, (pasal 76 KUHP) Asas ini memberikan pengertian bahwa seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama jika atas perbuatan itu yang disangkutkan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh pengadilan serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in krachtvan Gewijsde zaak). Asas nebis in idem ini, berfungsi untuk menciptkan kepastian hukum, yang mengatur bahwa seseorang tidak diperbolehkan mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindakan pidana yang dilakukanya. Jadi apabila terhadapnya telah pernah diputuskan suatu peristiwa tindak pidana baik putusan ini berupa pemidanaan, pembebasan ataupun pelepasan dari tuntutan hukum keputusan itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, maka terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemerikasaan, baik penyidikan, penuntutan maupun peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang bersangkutan.

i Tersangka meninggal dunia (pasal 77 KUHP). Eksistensi tersangka dalam suatu perkara mempunyai peran yang penting, bahkan salah satu asas dalam KUHP mengharuskan bahwa peradilan pidana haruslah dihadiri oleh terdakwa, untuk itu jika tersangkanya telah meninggal dunia, baik ditingkat penyidikan ataupun penuntutan/peradilan, maka perkaranya haruslah ditutup demi hukum. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern ini. Yakni, kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang tersebut. Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yang mengerjakan bahwa tanggung jawab seorang dalam hukum pidana, hanya dilimpahkan kepada pelakunya (tidak dapat dialihkan). Dengan meninggalnya si tersangka penyidikan dengan sendirinya berhenti atau hapus menurut hukum. Penyidikan dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya atau siapapun juga.
i Karena kadaluarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78 KUHP.
Apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap sipelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan. Logikanya, Jika terhadap seseorang pelaku tindak pidana telah hapus wewenang untuk menuntutnya di muka sidang pengadilan, maka percuma saja melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang tersebut, sebab penyidikan dimaksud tidak akan lagi berguna bagi kegiatan penuntutan karena itu, jika penyidik menjmpai keadaan seperti ini dalam penyidikan, dia harus segera menghentikan penyidikan dan pemeriksaan.
Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dalam suatu perkara, maka kepada pihak-pihak tertentu (penuntut umum dan pihak ketiga yang merasa dirugikan) dapat mengajukan gugatan praperadilan terhadap keputusan penghentian penyidikan dimaksud (lihat 77 (a) KUHAP), namun demikian disamping diaturnya kontrol mengenai penghentian penyidikan tersebut melalui penuntu umum dan atau melalui pihak ketiga juga diberi kesempatan kepada penyidik yang menghentikan penyidikan tersebut untuk mencabut penghentian penyidikan dimaksud dan membuka kembali perkara tersebut jika dalam kenyataannya terdapat alasan-alasan yang memungkinkan untuk itu, misalnya :
i Di temukan bukti-bukti baru (ini berlaku jika penghentian penidikan yang telah dilakukan didasarkan pada pertimbangan tidak diperolehnya alat bukti yang cukup).
i Ditemukannya alasan-alasan yang baru, misalnya pertimbangan yang dijadikan dasar dalam menghentikan penyidikan yang telah dilakukan ternyata keliru atau tidak tepat
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa point-point penting antara lain:
i Penghentian penyidikan adalah wewenang penyidik yang diberikan oleh Undang-undang sesuai pasal 109 ayat 2 KUHAP.
i Penghentian penyidikan tersebut dalam kenyataannya bukan merupakan putusan pengadilan, hal ini dapat dibuktikan dengan diberi haknya penuntut umum dan pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan sebagaimana yang diatur dalam pasal 80 KUHAP.
Jika kita kaitkan uraian tersebut di atas dengan pencabutan SP 3 perkara atas nama Soeharto, maka dapat diberikan analisis sebagai berikut :
Bahwa penyidik dalam hal ini Jaksa Agung RI telah menunjukkan sikap kesatria dengan jalan mencabut Surat Penghentian Penyidikan perkara atas nama Soeharto, dikarenakan  Jaksa Agung telah menunjukan jiwa besarnya dengan jalan menganulir perbuatan yang telah dilakukan oleh Kejaksaan Agung setelah diketahui ternyata perbuatan tersebut tidak tepat, dalam hal ini penghentian perkara atas nama Soeharto.
Sikap Jaksa Agung yang mencabut SP3 dimaksud dalam kenyataanya tidak bertentangan dengan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis bahkan justru masyarakat khususnya ahli hukum menganggap bahwa sikap Jaksa Agung tersebut sangat tepat, apakah benar?
Jika kita hubungkan dengan prinsip dasar diberikannya hak praperadilan kepada penuntut umum dan pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan terhadap keputusan penghentian penyidikan sebagaimana diatur da;am pasal 77 (a) dan pasal 80 KUHAP yang merupakan control agar penyidik tidak sewenang-wenang menggunakan haknya untuk menghentikan penyidikan suatu perkara, maka Jaksa Agung justru menunjukkan kepada masyarakat bahwa dia
melakukan control terhadap dirinya sendiri; tidak perlu menunggu control masyarakat .
Bukankah kita sependapat bahwa orang yang mengakui kekeliruannya dan berusaha memperbaikinya kekeliruannya tersebut merupakan orang yang baik. Oleh karena itu sungguh sangat aneh bin ajaib jika ada orang yang keberatan dan menyalahkan sikap Jaksa Agung tersebut. Namun demikian kami yakin bahwa kalaupun ada pihak-pihak yang berkeberatan tentunya hal tersebut cenderung emosional, karena telah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, dan menurut kami ini alamiah, tidak perlu diributkan.





     




Tidak ada komentar:

Posting Komentar