TAHAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI SUPAYA LEBIH OPTIMAL
Penanganan masalah korupsi di Indonesia
telah menimbulkan dilematik sosial karena akibat manajemen korupsi dalam
birokrasi pemerintahan dan swasta menyebabkan korupsi itu telah membudaya;
sedangkan pada sisi lain proses penegakan hukum dalam memberantas korupsi yang
dilakukan oleh pemerintah amat lamban, dan kalaupun bisa sampai kepengadilan
lebih banyak mengecewakan masyarakat.
Adalah menjadi tanggung jawab bersama
untuk mencari pemecahan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan guna mengatasi
dilematik yang menimpa masyarakat dalam memberantas korupsi saat ini.
MODUS OPERANDI KORUPSI
Dari berbagai kasus yang ditanda
tangani Kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya ditemukan bentuk-bentuk
cara melakukan korupsi menggunakan modus :
1.
Pemalsuan dokumen, dilakukan dengan
cara membuat surat
palsu, dokumen palsu atau berita acara palsu, ini sering terjadi dalam
pembangunan proyek pisik seperti gedung, jalan, lahan, reboisasi, pengerukan
sungai dan berbagai pekerjaan yang memerlukan adanya berita acara pada saat
pencairan dana proyek. Dalam dunia perbankan pun sering terjadi dengan membuat
surat-surat palsu yang berkaitan dengan agunan kredit yang disebut dengan “mark
up” dan juga yang berkaitan dengan proses pencairan dana dalam kegiatan
perbankan.
2.
Pemalsuan kwitansi, ini biasanya
terjadi pada tanda terima sejumlah uang yang diisikan berbeda dengan besar
jumlah pisik dana yang sebenarnya.
3.
Menggelapkan uang/barang milik negara
atau kekayaan negara; umumnya dilakukan oleh para Bendaharawan proyek dimana ia
seharusnya menyimpan uang tersebut secara baik sesuai ketentuan yang ada,
tetapi malah memakai uang tersebut untuk keperluan pribadi.
4.
Penyogokan atau penyuapan biasanya
terjadi antara seseorang memberikan hadiah kepada seorang pegawai negeri dengan
maksud agar pegawai negeri itu berbuat atau mengalpakan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya.
TAHAP-TAHAP
PENYIDIKAN DAN TEHNIK PELAKSANAAN.
Penyidikan adalah suatu rangkaian
tindakan dari penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
Rangkaian
tindakan penyidik dimaksud, pada hakekatnya bersifat pembatasan hak-hak asasi
manusia yang oleh undang-undang diperkenankan dalam rangka penegakan hukum
yaitu untuk memulihkan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
umum yang telah terganggu akibat terjadinya suatu tindak pidana.
Walaupun
undang-undang memperkenankan pembatasan hak-hak asasi tersebut demi penegakan
hukum, tetapi
undang-undang hukum acara kita juga membatasi pelaksanaan penyidikan tersebut
sedemikian rupa agar jangan sampai melanggar hak-hak asasi yang paling pokok
dari setiap individu yaitu antara lain asas-asas :
1.
Praduga tak bersalah ( Presumton of
innocence )
2.
Persamaan dimuka hukum ( Equality
before the law )
3.
Hak mempeoleh bantuan hukum/penasihat
hukum ( Legal aid/assistance ).
4.
Peradilan yang cepat, sederhana, murah
serta bebas dan jujur.
5.
Penagkapan, penahanan, penggeledahan
dan penyitaan harus berdasar perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang.
6.
Ganti rugi dan rehabilitasi.
7.
Non self-incrimination.
Pada
waktu melakukan rangkaian tindakan tadi, penyidik wajib menghormati asas-asas
tersebut.
Rangkaian
tindakan untuk mencari dan memgumpulkan bukti tersebut terdiri dari beberapa
tahap yaitu :
1.
Tahap penyelidikan.
2.
Tahap penindakan ( pemanggilan,
penangkapan, penahanan, penggeledahan, -penyitaan ).
3.
Tahap pemeriksaan ( pemeriksaan
tersangka dan saksi ).
Setelah
ketiga tahap diatas dilaksanakan dan hasilnya telah dianggap cukup, maka dapat
di tingkatkan ke tahap evaluasi dan tahap pemberkasan.
Sebelum diberkas, bila dianggap perlu,
hasil penyidikan tersebut dapat dipaparkan terlebih dahulu dihadapan pimpinan
dan jaksa-jaksa lain sambil didiskusikan apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan
yang perlu diperbaiki/ditambah.
Hampir
keseluruhan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang menyangkut penyidikan, berlaku
juga dalam penyidikan tindak pidana khusus, sebab seperti dikemukakan dimuka,
sesuai dengan bunyi pasal 284 ayat (2) KUHAP, pada dasarnya terhadap semua
perkara, ketentuan-ketentuan dalam KUHAP diberlakukan.
TAHAP
PENYELIDIKAN :
Menurut
Buku Pedoman KUHP, penyelidikan diintrodusir dalam KUHP dengan motivasi perlindungan
hak asasi manusia dan pembatasan yang ketat terhdap penggunaan upaya paksa,
dimana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa dilakukan,
penyelidikan mendahului tindakan-tindakan lain yaitu untuk
menentukan
apakah suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dilakukan penyidikan
atau tidak. Dengan demikian, penggunaan upaya kepentingan umum yang lebih luas.
Pasal
1 butir 5 KUHAP memberikan definisi dari penyelidikan yaitu serangkaian
tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
Dari
definisi tersebut diatas jelaslah bahwa fungsi penyelidikan merupakan suatu
kesatuan dengan fungsi penyidikan, penyelidikan hanya merupakan salah satu
cara, salah satu tahap dari penyidikan, yaitu tahap yang seyogyanya dilakukan
lebih dahulu sebelum melangkah kepada tahap-tahap penyidikan selanjutnya
seperti penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan seksi dan
sebagainya.
Kita
harus membedakan penyelidikan menurut KUHAP dan penyelidikan sebagai kegiatan
intelijen, sebab jenis penyelidikan yang berakhir ini belum menyentuh KUHAP.
Kejaksaan
mengenal law intelligence atau intelijen hukum. Dalam pelajaran tentang
intelijen, para siswa akan mengetahui peranan apa yang dapat diberikan oleh
intelijen untuk mensukseskan suatu penyidikan (termasuk suksesnya penyelidikan
KUHAP).
Fungsi
penyelidikan, pengamanan dan penggalangan/pembinaan dari intelijen dapat
memberikan manfaat yang besar bila dilakukan secara tepat dan dalam bentuk
kordinasi yang baik pada waktu kita melakukan penyidikan / penyelidikan KUHAP.
Penyelidikan
diatur dalam KUHAP dalam pasal-pasal 5, 9, 75, 102, 103, 104, 105 dan 111. oleh
karena KUHAP menganut pokok pikiran bahwa yang berhak melakukan penyelidikan
hanyalah pejabat POLRI, maka bunyi pasal-pasal tersebut harus dibaca dengan
penyesuaian seperlunya agar dapat dipergunakan sebagai dasar oleh Jaksa
Penyelidik terhadap tindak pidana khusus.
Pada
penyidikan tindak pidana khusus, arti tahap penyelidikan ini justru sangat
penting, tidak hanya untuk kebutuhan perlindungan hak-hak asasi seperti
tersebut diatas, tetapi diharapkan bahwa pada tahap penyelidikan ini, Jaksa
penyelidik harus berusaha menguasai “anatomi” kasus yang sedang dihadapi.
Dengan
makin canggihnya tehnologi dan berkembangnya berbagai tatanan kehidupan social
dan ekonomi, kehidupan ini kelihatan seperti hutan belantara yang tak
seorangpun (termasuk Jaksa) mengetahui dengan tepat apa isi hutan belantara
itu. Dalam kehidupan ekonomi misalnya, tatanannya penuh dengan ketentuan-ketentuan perdagangan
internasional, perbankan pelayaran atau angkutan lainya, industri dan lain-lain
dengan administrasinya yang begitu rumit. Dan terjadinya suatu kasus dalam
bidang ekonomi tidak akan terlepas dari masalah-masalah tersebut diatas.
Pada
penyidikan tindak pidana korupsi, masalahnya adalah serupa. Tindak Pidana
korupsi hampir tidak bisa dipisahkan dari administrasi pemerintah tersebut
(termasuk perusahaan-perusahaan milik Negara) begitu luas dan rumit. Misalnya
tindak pidana korupsi pada dana proyek padat karya. Pengungkapan tindak pidana
ini tidak mungkin dilepaskan dari hal-hal yang menyangkut Struktur Organisasi
DEPNAKER, kaitannya dengan PEMDA setempat, ketentuan-ketentuan tentang
pengolahan keuangan negara/proyek dan lain sebagainya.
Dari
seorang Jaksa Penyelidikan tidak dapat diharapkan bahwa setiap waktu dia “siap
pakai’ karena sudah menguasai segala sesuatunya. Dibutuhkan waktu untuk dapat
menguasainya dengan baik. Pada tahap penyelidikan kesempatan untuk itu dapat
digunakan.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan, bahwa seorang Jaksa Penyelidik
harus mempunyai kwalitas sebagai berikut :
1.
Menguasai dasar-dasar pengetahuan
(secara umum) mengenai bidang kehidupan negara/ekonomi/social yang ada
kaitannya dengan kasus yang terjadi,
2.
Berdasar pengatahuan tersebut, pada
waktu mendapat perintah untuk melakukan penyelidikan, dia dengan cepat dapat
menentukan dari siapa, atau dimana dia dapat memperoleh penjelasan lebih
dalam/luas mengenai bidang tersebut.
3.
Mempersiapkan bahan-bahan yang
diperoleh selama penyelidikan tersebut dalam bentuk yang lengkap dan teratur
sehingga dengan mudah dan tepat dapat dipergunakan pada tahap penindakan.
Dengan
penjelasan diatas, tidaklah berarti bahwa tiap penyidikan tindak pidana khusus
harus selalu dimulai dengan kegiatan penyelidikan dan sesudah itu baru
dilakukan kegiatan penindakannya. Ada
kasus-kasus tertentu dimana pada saat itu juga perlu langsung dilakukan kegiatan
penindakan (penangkapan, penahanan atau pemeriksaan). Tetapi walaupun demikian,
secara bersamaan dapat di tugaskan jaksa yang lain untuk melakukan kegiatan
penyelidikan untuk memperoleh masukan-masukan yang diperlukan.
Dibawah
ini akan dijelaskan secara singkat kapan dan bagaimana penyelidikan itu
dilakukan agar dapat mencapai hasil yang maksimal.
1.
Kapan penyelidikan dimulai.
Pertimbangan
untuk mulai melakukan suatu penyelidikan pada dasarnya ditentukan oleh
penilaian terhadap suatu infomasi atau data baru yang diperoleh oleh Seksi
Penyelidikan.
Informasi
atau data baru tersebut dapat diperoleh melalui :
a.
Sumber-sumber tertentu yang dapat
dipercayai.
b.
Adanya laporan langsung ke Kejaksaan
dari orang yang mengetahui terjadinya suatu tindak pidana khusus.
c.
Hasil Berita Acara yang dibuat oleh
Jaksa Penyidik/Penyelidik.
Sumber-sumber
informasi yang dapat dipergunakan sangat banyak sekali, mungkin sumber tersebut
berupa orang, tilisan dalam media, instansi/perusahaan atau petugas Kejaksaan
sendiri dan sebagainya.
Laporan
langsung diterima dari orang yang mengetahui terjadinya suatu tindak pidana
khusus dapat berupa laporan tertulis dan dapat juga berupa laporan lisan yang
oleh jaksa yang menerima laporan tersebut dituangkan dalam bentuk Berita Acara
Penerimaan Laporan. Dalam pemerikasaan seorang tersangka atau seorang saksi
mungkin ditemukan suatu keterangan tentang adanya suatu tindak pidana khusus
yang lain diluar dari tindak pidana yang sedang disidik/diperiksa.
Keterangan
seperti itu dapat menjadi sumber untuk pertimbangan perlu tidaknya dilakukan
suatu penyelidikan.
2.
Tujuan Penyelidikan.
Tujuan
utama dari setiap penyelidikan adalah untuk mengumpulkan
keterangan-keterangan/data-data yang dapat dipergunakan untuk :
a.
Menentukan apakah suatu peristiwa yang
terjadi merupakan suatu tindak pidana khusus atau bukan.
b.
Siapa yang dapat dipertanggung jawabkan
(secara pidana) terhadap tindak pidana tersebut.
c.
Persiapan pelaksanaan tahap penindakan.
Seperti
telah dijelaskan terdahulu, pengetahuan yang mendalam dari Jaksa penyelidik
tentang unsur-unsur suatu tindak pidana khusus dan tentang hukum acara yang
berlaku mutlak diperlukan untuk dapat menentukan apakah telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Bila Jaksa penyelidik kurang menguasainya,
maka arah penyelidikan menjadi tidak tentu dan mungkin akan menghasilkan suatu
kesimpulan yang keliru.
Hasil
penyelidikan dapat dipergunakan untuk persiapan pelaksanaan terhadap
penindakan, yaitu dalam arti bahwa setelah penyelidikan selesai, Jaksa
penyelidik sudah mempunyai gambaran tentang calon tersangka yang perlu
diperiksa dan/atau ditangkap dan/atau ditahan, saksi-saksi yang perlu
dipanggil, tempat-tempat yang perlu digeledah, barang bukti yang perlu disita
dan sebagainya.
3.
Sasaran Penyelidikan.
Melihat
apa yang telah dijelaskan pada butir 1 dan 2 diatas, tentunya sasaran
penyelidikan itu dapat berupa :
a.
Orang.
b.
Benda/barang/surat.
c.
Tempat/bangunan/alat angkut dsb.
4.
Cara Penyelidikan.
Penyelidikan
dapat dilakukan secara :
a.
Terbuka.
b.
Tertutup.
Penyelidikan
dengan cara terbuka dilakukan apabila keterangan-keterangan/data-data yang
dibubuhkan agak mudah memperolehnya dan apabila dianggap cara tersebut tidak
akan mengganggu / menghambat proses penyelidikan selanjutnya.
Perlu
diperhatikan ketentuan dalam 104 KUHAP yang menentukan bahwa dalam melaksanakan
tugas penyelidikan dengan cara terbuka tersebut, penyelidik wajib penunjukan
tanda pengenal. Oleh karena sampai sekarang Jaksa penyelidik belum pernah
dilengkapi dengan tanda pengenal sebagai penyelidik tersebut, maka tanda pengenal
sebagai Jaksa dapat dipergunakan atau kalau dilengkapi dengan Surat Perintah
Penyelidikan, maka surat
Perintah tersebut yang ditunjukkan.
Dalam
melakukan penyelidikan dengan cara tertutup, jaksa penyelidik harus dapat
menghindarkan diri dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum. Selain itu harus menguasai teknik-teknik
penyelidikan cara tertutup seperti wawancara, pengamatan, pengusutan, dan
sebagainya.
Teknik-teknik
seperti itu dikenal juga dalam dunia intelijen dan pelaksanaannya tidak banyak
berbeda.
Baik
dalam penyelidikan terbuka maupun dalam penyelidikan tertutup agar dapat
dihindari tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan tuntutan ganti rugi.
5.
Rencana Penyelidikan ( Renlid ).
Diatas
telah dijelaskan tujuan dari penyelidikan adalah untuk mengetahuai apakah suatu
tindak pidana khusus benar telah terjadi dan siapa pelakunya, hasil
penyelidikan mana akan dipergunakan sebagai bahan persiapan untuk melakukan
penindakan
Agar
tujuan tersebut dapat dicapai dengan maksimal, sebaiknya sebelum melakukan
kegiatan penyelidikan, terlebih dahulu disusun suatu Rencana Penyelidikan
(Renlid). Semua kegiatan selanjutnya harus mempedomani rencana yang telah
disusun tersebut agar terarah dan terkendali dengan baik.
Sampai
sekarang belum ada petunjuk yang jelas tentang bentuk (form) dari Renlid
dimaksud. Oleh karena itu sebagai pedoman dapat dipergunakan form Renlid yang
dikenal pada kegiatan pul data Bidang Intelijen dengan penyesuaian seperlunya.
Renlid
dimaksud hendaknya memuat :
1.
Sumber Infomasi yang perlu di hubungi
(orang, instansi, badan, tempat dll).
2.
Informasi atau alat bukti apa yang
dibutuhkan dari sumber tersebut (yang bermanfaat untuk pembuktian tindak
pidana).
3.
Cara memperoleh informasi atau alat
bukti tersebut (terbuka, tertutup, wawancara, interogasi, pemotretan dll).
4.
Petugas pelaksana.
5.
Batas waktu kegiatan.
Penentuan
sumber informasi dan penentuan, tentang informasi apa yang dibutuhkan dari
Sumber tersebut, didasarkan pada data-data/infomasi dasar yang telah diperoleh
sebelumnya.
Sedang
cara memperoleh informasi/alat bukti tergantung pada penilaian terhadap kondisi
sumber, apakah mudah atau sukar didekati.
6.
Laporan hasil penyelidikan.
Setelah
penyelidikan selesai dilakukan, jaksa penyelidik mengolah data-data yang telah
terkumpul dan berdasarkan hasil pengolahan tersebut, disusun suatu Laporan
Hasil Penyidikan.
Laporan
tersebut memuat :
a. Sumber data/keterangan.
b.
Data/keterangan apa yang diperoleh dari
setiap sumber tersebut.
c.
Barang bukti.
d.
Analisa.
e.
Kesimpulan tentang benar tidaknya telah
terjadi suatu tindak pidana khusus dan siapa pelakunya.
f.
Saran tentang tindakan-tindakan apa
yang perlu dilakukan dalam tahap penyidikan selanjutnya.
7.
Pemaparan (ekspose) hasil penyelidikan.
Kadang-kadang
dapat terjadi, suatu hasil penyelidikan yang sudah dianggap “matang” untuk
ditingkatkan ke tahap penindakan dan pemeriksaan (tahap-tahap inti dari
penyidikan atau penyidikan dalam arti sempit), kemudian pada akhir penyidikan
ternyata bahwa tidak terdapat cukup alasan untuk melanjutkan ke tingkat penuntutan,
sehingga terpaksa dilakukan penghentian penyidikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3).
Pada
kejadian seperti ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil penyelidikan yang
menjadi dasar dari penyidikan tersebut, sebenarnya belum matang. Padahal
seperti kita ketahui, menurut pasal 77 KUHAP, penghentian penyidikan adalah
salah satu obyek dari pra-peradilan.
Untuk
sejauh mungkin menghindari adanya SP3 tersebut, pimpinan Kejaksaan menentukan
kebijaksanaan agar pada setiap akhir tahap penyelidikan selalu dilakukan
pra-pemaparan (pra-ekspose) agar terdapat gambaran yang jelas
tentang
alat bukti yang mendukung rencana dakwaan ataukah masih perlu dilakukan
pengembangan. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam surat
Jam Pidsus kepala seluruh Kejati se Indonesia No.B-110/F/Fpy.2/2/1986
tanggal 19 Pebruari 1986.
Tata
cara pelaksanaan pra-ekspose tersebut dapat mempedomani tata-cara pelaksanaan
pemaparan (ekspose) hasil penyidikan yang akan dijelaskan pada Tahap Pemaparan
yang akan dijelaskan kemudian.
TAHAP
PENINDAKAN.
Tahap
ini dilaksanakan setelah kita yakin bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
khusus dan untuk memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana tersebut
dibutuhkan tindakan-tindakan tertentu yang berupa pembatasan dan “pelanggaran”
hak-hak asasi seseorang yang bertanggung jawab terhadap terjadinya tindak
pidana dimaksud.
Keyakinan
tersebut diatas kita peroleh dari hasil penyelidikan sebelumnya. Menurut
istilah hukumnya dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan terdapat bukti
permulaan yang cukup kuat bahwa tindak pidana khusus tertentu telah terjadi dan
bahwa seseorang tertentu dapat dipersalahkan sebagai pelaku.
Dalam tahap penindakan ini, tindakan-tindakan hukum yang
dapat diambil adalah :
a.
Pemanggilan ( tersangka dan saksi ).
b.
Penangkapan.
c.
Penahanan.
d.
Penggeledahan.
e.
Penyitaan.
TAHAP
PEMERIKSAAN.
Pada tahap inilah dapat diperoleh alat-alat bukti yang
paling pokok sebagaimana ditentukan oleh pasal 184 ayat (2) KUHAP. Bahkan sebenarnya,
pada tahap inilah dapat diungkapkan :
a.
Tindak pidana apa sebenarnya yang telah
terjadi.
b.
Bagaimana modus operandinya.
c.
Siapa-siapa yang tersangkut ( baik
sebagai tersangka maupun saksi ) dan apa peranan masing-masing dalam tindak
pidana tersebut.
d.
Apa arti atau peranan barang bukti yang
telah disita dalam tindak pidana tersebut ( barang bukti antara lain baru
mempunyai kekuatan sebagai alat bukti petunjuk melalui keterangan saksi dan
keterangan tersangka ).
Semua keterangan tersebut akan menjadi jelas melalui
keterangan orang-orang yang diperiksa, apakah sebagai saksi, sebagai ahli
ataupun sebagai tersangka.
Keterangan para saksi, ahli dan tersangka tersebut
dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan.
Berita Acara Pemeriksaan tersangka dengan saksi adalah
catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh
Jaksa Penyidik atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditanda tangani
oleh Jaksa Penyidik dan orang yang diperiksa ( tersangka dan saksi ) yang
isinya memuat uraian tentang / mencakup :
1.
Identitas pemeriksa dan orang yang
diperiksa.
2.
Unsur-unsur tindak pidana yang
dipersangkakan.
3.
Waktu, tempat dan keadaan pada waktu
tindak pidana dilakukan.
4.
Catatan mengenai akta/surat dan/atau
benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian
penyidikan.
TAHAP
EVALUASI.
a.
E v a l u a s i.
Pada tahap evaluasi ini jaksa penyidik melakukan penilaian
terhadap semua hasil yang telah dicapai pada tahap-tahap sebelumnya, untuk
menjawab pertanyaan : apakh dia telah berhasil mengumpulkan alat bukti yang
cukup intuk membuktikan bahwa tindak pidana khusus yang sedang disidik tersebut
telah terjadi dan bahwa orang yang telah dieperiksa sebagai tersangka adalah
pelakunya dan dapat dipersalahkan terhadap tindak pidana tersebut.
Evaluasi
ini dapat dilakukan melalui 3 jenis tindakan :
1. Inventarisasi :
1. Inventarisasi :
Pada
waktu melakukan inventarisasi ini, jaksa penyidik melakukan pencatatan tentang:
1.1. siapa-siapa yang telah diperiksa baik sebagai saksi, ahli maupun sebagai
1.1. siapa-siapa yang telah diperiksa baik sebagai saksi, ahli maupun sebagai
tersangka.
1.2.alat bukti surat apa yang telah
berhasil disita.
1.3.Barang bukti apa
yang telah berhasil disita.
2.
S e l e k s i :
1.1. Hasil
inventarisasi tadi
diseleksi,dikelompokkan sesuai dengan nilai pembuktian masing-masing alat bukti
yang telah berhasil dikumpulkan.
1.2. Alat
bukti yang telah dikelompokkan tersebut kemudian dihubungkan dengan unsur-unsur
tindakan pidana yang disangkakan.
3.
P e n g k a j i a n :
Hasil
seleksi tadi kemudian dikaji untuk dapat
menyimpulkan apakah alat-alat bukti
tersebut sudah cukup kuat untuk membuktikan bahwa tersangka telah memenuhi unsur-unsur
yang disebutkan dalam pasal yang berisi perumusan tindak pidana yang disangkakan.
Evaluasi tersebut diatas akan menghasilkan suatu gambaran
menyeluruh tentang tindak pidana yang bersangkutan dan tentang alat-alat bukti
yang mendukung, demikian juga dengan barang buktinya. Hasil evaluasi ini sangat
bermanfaat untuk penyusunan resume.
b. RESUME.
Pimpinan
pada umumnya tidak mempunyai cukup waktu untuk membaca semua berkas Berita
Acara Pemeriksaan dan hanya membaca resume saja. Oleh karena itu penyusunan
resume harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dengan membaca resume, pimpinan
mendapat gambaran yang bulat dari tindak pidana yang terjadi, yaitu yang
mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.
bahwa benar tindak pidana telah
terjadi.
2.
Peranan masing-masing tersangka yang
terlibat.
3.
Siapa-siapa saksinya ( baik yang
menguntungkan maupun merugikan ).
4.
Alat bukti lain yang mendukung.
Apabila semua kegiatan penyidikan pada setiap tahap yang
telah dijelaskan diatas sudah dilaksanakan dengan baik dan lengkap, maka
sebenarnya, keseluruhan tugas penyidikan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan
dan penilaian telah selesai dilakukan.
Tahap pemaparan ( ekspose ) dan tahap pemberkasan berikutnya
hanyalah bersifat pelengkap yaitu :
1.
Pada tahap pemaparan ( ekspose ),
penilaian kita tadi diuji oleh rekan-rekan jaksa lain.
2. Tahap
pemberkasan hanya berupa pekerjaan administratip untuk menghimpun
dokumen-dokumen penyidikan yang telah selesai dibuat.
Keterampilan seorang jaksa dalam penyidikan sangat
ditentukan oleh kemampuannya melakukan tahap-tahap penyidikan yang telah
dijelaskan dimuka. Tahap-tahap tersebut tidak mungkin dilaksanakan dengan baik
tanpa penguasaan yang mendalam tentang hukum pidana, baik dalam arti materi
maupun formil, disamping penguasaan “anatomi” dan atau “kondisi” lingkungan
yang menyangkut tindak pidana tersebut.
TAHAP PEMAPARAN (EKSPOSE )
Pemaparan ( ekspose ) dilakukan sebelum dilakukan pemberkasan ( merupakan tahap akhir
dari bagian penyidikan ).
Sebenarnya tahap pemaparan ini tidak dikenal dalam hukum
acara pidana dan juga tidak pernah disebut-sebut dalam keputusan Jaksa Agung
yang mengatur administratip perkara.
Tahap ini timbul adalah berdasar surat Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus No.B-300/PIDSUS /7/1984 tanggal 31 Juli 1984 yang
ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia. Surat ini dikeluarkan berdasar alasan
praktis, karena dalam praktek penanganan tindak pidana khusus dirasakan adanya
kebutuhan untuk lebih dahulu memaparkan hasil kegiatan penyelidikan dan atau
penyidikan yang telah dilakukan dengan tujuan agar setiap kegiatan itu
dilakukan dapat mencapai hasil yang maksimal.
TINJAUAN MENGENAI SP-3
Aktifitas yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka
mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung tentang telah terjadinya suatu Tindak
Pidana secara umum dapat disebut tindakan penyidikan.
Sesuai
dengan maksud dilakukannya penyidikan tersebut, maka akhir dari aktivitas
penyidikan hanya ada dua, yaitu :
·
Penyidikannya lengkap dalam arti
memenuhi persyaratan formal dan materil (cukup alat bukti), maka dengan
sendirinya perkara tersebut harus diteruskan ke tingkat penuntutan guna dibawa
ke persidangan.
·
Hasil penyidikannya tidak lengkap dalam
arti tidak memenuhi kelengkapan perlengkapan secara formal dan materil.
Akibatnya perkara tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat untuk ditingkatkan ke
tahap penuntutan, apalagi dibawa ke persidangan. Untuk itu penyidikan tersebut
harus dihentikan.
Masalahnya
sekarang apakah ada dasar hukum yang mengatur secara tegas bahwa penyidik
mempunyai hak untuk menghentikan suatu perkara?
Berdasarkan
pasal 109 ayat 2 KUHAP kepada penyidik diberikan wewenang untuk menghentikan
penyidik suatu perkara, jika :
1.
Tidak terdapat cukup bukti. Pengertian
tidak diperoleh bukti yang cukup adalah mengacu kepada pasal 184 KUHAP jo.
Pasal 185 KUHAP. Dimana menurut rumusan kedua pasal tersebut untuk dapat
ditingkatkannya suatu penyidikan ke tahap penuntutan setidak-tidaknya harus
didukung dua alat bukti yang sah, namun demikian jika ternyata dari hasil
penyidikan tersebut penyidik belum atau tidak mendapatkan dua alat bukti yang cukup,
maka dengan sendirinya perkara yang disidik tersebut tidak dapat ditingkatkan
ke tahap penuntutan. Akibat hukumnya antara lain :
· Penyidik menghentikan penyidikan perkara
tersebut.
· Penyidik menunda penyelesaian penyidikan
perkara tersebut dalam waktu tertentu dengan harapan pada masa penundaan
tersebut dapat diperoleh alat bukti tambahan yang mendukung.
Uraian
tersebut di atas menunjukan kepada kita bahwa penentuan apakah suatu perkara
yang masih dalam tahap penyidikan mempunyai alat bukti yang cukup atau tidak,
adalah subjektif dikarenakan yang menjadi dasar untuk dilakukannya penghentian
penyidikan atas perkara tersebut adalah kesimpulan dari penyidik.
Kalaupun
hal itu didasarkan pada fakta yang terungkap di tingkat penyidikan (khususnya
keterangan saksi-saksi) ini pun belum dapat dijadikan dasar yang mutlak,
disebabkan saksi-saksi tersebut tidak memberikan keterangan di bawah sumpah.
Dengan demikian terlihat bahwa sifat dari penghentian penyidikan yang dilakukan
penyidik cenderung tidak obyektif dan bertentangan dengan rasa keadilan
masyarakat. Kecenderungan akan subjektifnya penghentian penyidikan tersebut
menunjukan bahwa sangat besar kemungkinan pertimbangan yang diambil dalam
menentukan tindakan menghentikan penyidikan tersebut tidak mewakili kebenaran
dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dikarenakan :
i
Penyidik belum mendapatkan bukti cukup, namun dalam waktu relatif singkat
menghentikan penyidikan perkara tersebut, padahal kalau seandainya yang
bersangkutan bersabar untuk tidak segera menghentikan, melainkan menunda sesaat
sambil mengharapkan diperolehnya alat bukti tambahan, besar kemungkinan alat
bukti tambahan tersebut akan diperoleh, maka perkara tersebut dapat
ditingkatkan ke tahap penuntutan.
i Penyidikan sebagai manusia biasa yang tidak
terlepas dari faktor kekhilafan dan kesalahan telah mengambil kesimpulan yang
salah dalam menghentikan penyidikan tersebut. Bukankah penghentian penyidikan
merupakan kesimpulan penyidik?
i Pendapat penyidik dalam mengambil kesimpulan
untuk menghentikan penyidikan tersebut telah dipengaruhi oleh faktor-faktor non
yuridis.
i Penyidikan telah keliru dalam mengambil
kesimpulan untuk menghentikan penyidikan perkara tersebut, karena salah dalam
menafsirkan unsur-unsur delik yang disangkakan atau keliru dalam menempatkan
fakta-fakta yang diperoleh di tingkat penyidikan untuk mendukung unsur-unsur
delik yang disangkakan.
2.
Peristiwa yang disidik tersebut
ternyata bukan merupakan Tindak Pidana.
Hal
lain yang dapat dijadikan alasan untuk menghentikan suatu penyidikan suatu
perkara adalah ternyata perkara yang disidik yang dimaksud bukanlah merupakan
tindak pidana. Jika Kondisi seperti ini yang ditemui oleh penyidik, maka bagi
penyidik tidak ada pilihan lain kecuali menghentikan penyidikan perkara tersebut.
Dalam
praktek bukanlah pekerjaan yang gampang untuk menentukan bahwa suatu peristiwa
yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, khususnya mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan batas-batas atau ruang lingkup perdata, misalnya antara
perjanjian hutang piutang dengan penipuan yang menggunakan sarana surat
berharga berupa Bilyet Giro yang ketika di uangkan dananya tidak mencukupi.
3.
Penyidikannya harus dihentikan demi
hukum dikarenakan alasan-alasan tertentu.
Alasan
penghentian ini pada pokoknya sesuai dengan alasan hapusnya hak menuntut dan
hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana
yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78 dan seterusnya, yaitu :
i
Nebis in idem, (pasal 76 KUHP) Asas ini memberikan pengertian bahwa seseorang
tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama
jika atas perbuatan itu yang disangkutkan telah pernah diadili dan telah
diputus perkaranya oleh pengadilan serta putusan itu telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (in krachtvan Gewijsde zaak). Asas nebis in idem ini, berfungsi
untuk menciptkan kepastian hukum, yang mengatur bahwa seseorang tidak
diperbolehkan mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindakan pidana yang
dilakukanya. Jadi apabila terhadapnya telah pernah diputuskan suatu peristiwa
tindak pidana baik putusan ini berupa pemidanaan, pembebasan ataupun pelepasan
dari tuntutan hukum keputusan itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap,
maka terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemerikasaan, baik
penyidikan, penuntutan maupun peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang
bersangkutan.
i Tersangka meninggal dunia (pasal 77 KUHP).
Eksistensi tersangka dalam suatu perkara mempunyai peran yang penting, bahkan
salah satu asas dalam KUHP mengharuskan bahwa peradilan pidana haruslah
dihadiri oleh terdakwa, untuk itu jika tersangkanya telah meninggal dunia, baik
ditingkat penyidikan ataupun penuntutan/peradilan, maka perkaranya haruslah
ditutup demi hukum. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal
pada abad modern ini. Yakni, kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang tersebut.
Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yang
mengerjakan bahwa tanggung jawab seorang dalam hukum pidana, hanya dilimpahkan
kepada pelakunya (tidak dapat dialihkan). Dengan meninggalnya si tersangka
penyidikan dengan sendirinya berhenti atau hapus menurut hukum. Penyidikan dan
pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya atau siapapun juga.
i Karena kadaluarsa, seperti yang dijelaskan
dalam pasal 78 KUHP.
Apabila
telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam pasal 78
KUHP, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap sipelaku tindak
pidana tidak boleh lagi dilakukan. Logikanya, Jika terhadap seseorang pelaku
tindak pidana telah hapus wewenang untuk menuntutnya di muka sidang pengadilan,
maka percuma saja melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang tersebut,
sebab penyidikan dimaksud tidak akan lagi berguna bagi kegiatan penuntutan
karena itu, jika penyidik menjmpai keadaan seperti ini dalam penyidikan, dia
harus segera menghentikan penyidikan dan pemeriksaan.
Untuk
menghindari terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dalam suatu perkara, maka
kepada pihak-pihak tertentu (penuntut umum dan pihak ketiga yang merasa
dirugikan) dapat mengajukan gugatan praperadilan terhadap keputusan penghentian
penyidikan dimaksud (lihat 77 (a) KUHAP), namun demikian disamping diaturnya
kontrol mengenai penghentian penyidikan tersebut melalui penuntu umum dan atau
melalui pihak ketiga juga diberi kesempatan kepada penyidik yang menghentikan
penyidikan tersebut untuk mencabut penghentian penyidikan dimaksud dan membuka
kembali perkara tersebut jika dalam kenyataannya terdapat alasan-alasan yang
memungkinkan untuk itu, misalnya :
i Di
temukan bukti-bukti baru (ini berlaku jika penghentian penidikan yang telah
dilakukan didasarkan pada pertimbangan tidak diperolehnya alat bukti yang
cukup).
i Ditemukannya alasan-alasan yang baru, misalnya
pertimbangan yang dijadikan dasar dalam menghentikan penyidikan yang telah
dilakukan ternyata keliru atau tidak tepat
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa
point-point penting antara lain:
i Penghentian penyidikan adalah wewenang penyidik
yang diberikan oleh Undang-undang sesuai pasal 109 ayat 2 KUHAP.
i Penghentian penyidikan tersebut dalam
kenyataannya bukan merupakan putusan pengadilan, hal ini dapat dibuktikan
dengan diberi haknya penuntut umum dan pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk
mengajukan gugatan praperadilan sebagaimana yang diatur dalam pasal 80 KUHAP.
Jika
kita kaitkan uraian tersebut di atas dengan pencabutan SP 3 perkara atas nama
Soeharto, maka dapat diberikan analisis sebagai berikut :
Bahwa
penyidik dalam hal ini Jaksa Agung RI telah menunjukkan sikap kesatria dengan
jalan mencabut Surat Penghentian Penyidikan perkara atas nama Soeharto,
dikarenakan Jaksa Agung telah menunjukan
jiwa besarnya dengan jalan menganulir perbuatan yang telah dilakukan oleh
Kejaksaan Agung setelah diketahui ternyata perbuatan tersebut tidak tepat,
dalam hal ini penghentian perkara atas nama Soeharto.
Sikap
Jaksa Agung yang mencabut SP3 dimaksud dalam kenyataanya tidak bertentangan dengan
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis bahkan justru masyarakat khususnya
ahli hukum menganggap bahwa sikap Jaksa Agung tersebut sangat tepat, apakah
benar?
Jika
kita hubungkan dengan prinsip dasar diberikannya hak praperadilan kepada
penuntut umum dan pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan
praperadilan terhadap keputusan penghentian penyidikan sebagaimana diatur da;am
pasal 77 (a) dan pasal 80 KUHAP yang merupakan control agar penyidik tidak
sewenang-wenang menggunakan haknya untuk menghentikan penyidikan suatu perkara,
maka Jaksa Agung justru menunjukkan kepada masyarakat bahwa dia
melakukan
control terhadap dirinya sendiri; tidak perlu menunggu control masyarakat .
Bukankah
kita sependapat bahwa orang yang mengakui kekeliruannya dan berusaha
memperbaikinya kekeliruannya tersebut merupakan orang yang baik. Oleh karena
itu sungguh sangat aneh bin ajaib jika ada orang yang keberatan dan menyalahkan
sikap Jaksa Agung tersebut. Namun demikian kami yakin bahwa kalaupun ada pihak-pihak
yang berkeberatan tentunya hal tersebut cenderung emosional, karena telah
dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, dan menurut kami ini alamiah, tidak
perlu diributkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar