PENAFSIRAN UNSUR-UNSUR PASAL TINDAK PIDANA dalam KUHP
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Pasal
303 KUHP
KUHP
terjemahan Drs. P.AF. Lamintang, SH & C. Djisman Samosir, SH
(Hukum
Pidana Indonesia ; Cetakan Ketiga, 1990, Sinar Baru, Bandung, 1990, hal.185)
(1) Dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya
Rp 25.000.000,- (dua puluh lima
juta rupiah), barangsiapa tanpa mempunyai hak untuk itu :
1. dengan sengaja melakukan sebagai suatu usaha, menawarkan atau
memberikan kesempatan untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta di
dalam sesuatu usaha semacam itu ;
2. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan kepada
khalayak ramai untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta di dalam
sesuatu usaha semacam itu dengan tidak memandang apakah pemakaian kesempatan
itu digantungkan pada sesuatu syarat atau pada pengetahuan mengenai sesuatu
cara atau tidak ;
3. turut serta didalam permainan judi sebagai usaha.
(2) Apabila orang yang bersalah melakukan
kejahatan tersebut di dalam pekerjaannya, maka ia dapat dicabut haknya untuk
melakukan pekerjaan itu.
(3) Yang dimaksud dengan permainan judi adalah
setiap permainan yang pada umumnya menggantungkan kemungkinan diperolehnya
keuntungan itu pada faktor kebetulan, juga apabila kesempatan itu menjadi lebih
besar dengan keterlatihan yang lebih tinggi atau dengan ketangkasan yang lebih
tinggi dari pemainnya. Termasuk ke dalam pengertian permainan judi adalah juga
pertarohan atau hasil pertandingan atau permainan-permainan yang lain, yang
tidak diadakan antara mereka yang turut serta sendiri di dalam permainan itu,
demikian pula setiap pertarohan yang lain.
Þ
Unsur - unsur
pasal 303 ayat (1) ke-1 (yang pertama)
a. unsur subjektif : dengan sengaja
b. unsur objektif : 1. barangsiapa
2. tanpa mempunyai hak untuk itu
3. melakukan
sebagai usaha
4. menawarkan atau memberikan kesempatan
5. untuk bermain judi.
dengan sengaja
v Drs. P.A.F LAMINTANG, SH ; Delik-Delik Khusus – Tindak
Pidana – Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma
Kepatutan ; Mandar Maju, Bandung, Cetakan I, 1990, hal.
Ø Zij atau mereka, ini berarti bahwa yang dapat
dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 170 ayat
(1) KUHP itu adalah “orang banyak”, artinya orang-orang yang telah turut ambil
bagian dalam tindak kekerasan terhadap orang-orang atau barang-barang yang
dilakukan secara terbuka dan secara bersama-sama. Tapi ini tidak berarti bahwa
semua orang yang ikut serta dalam kerusuhan seperti itu menjadi dapat dipidana.
Yang dapat dipidana hanyalah mereka yang secara nyata telah turut melakukan
sendiri perbuatan seperti itu. Kenyataan bahwa seseorang itu berada di
tengah-tengah gerombolan orang banyak yang melakukan kekerasan-kekerasan
terhadap orang-orang atau barang-barang, tidak
dengan sendirinya membuat orang tersebut dapat dipidana.
v Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER
; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem,
1954, hal.661 (sebagaimana dikutip oleh
Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan
terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi
Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.298)
Ø Hal yang
dikemukakan oleh SMIDT sebagaimana tersebut di atas adalah sesuai dengan keterangan yang terdapat di
dalam Memorie van Toelichting yang
mengatakan bahwa : Niemand kan daaraan worden
schuldig verklaard dan die werkelijk geweld pleegt, yang artinya : “Tidak
seorang pun dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana tersebut kecuali mereka
yang secara nyata-nyata telah melakukan kekerasan”.
v Drs. P.A.F LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus –
Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan
bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.297.
Ø Keterangan
yang terdapat di dalam Memorie van Toelichting
tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara ketentuan pidana yang diatur dalam
KUHP dengan ketentuan yang diatur dalam KUHP Jerman yang mengatur tindak pidana
yang sama, karena menurut KUHP Jerman siapa pun yang berada di tengah-tengah
gerombolan manusia seperti dimaksudkan di atas itu tetap dapat dijatuhi pidana,
walaupun mereka secara nyata tidak melakukan sesuatu kekerasan terhadap
orang-orang atau barang-barang.
v SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni
AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.324-325.
Ø Subjeknya
di sini adalah barangsiapa. Dalam
bahasa aslinya adalah “Zij”, bukan ”hij”. Namun delik ini tidak mungkin
dilakukan oleh hanya satu orang saja, kendati dalam hal terjadi suatu akibat
seperti tersebut ayat (2) mungkin hanya satu orang saja yang
dipertanggungjawabkan pidana berdasarkan ayat (2) tersebut. Dalam hal ini
kepada selebihnya yang tidak turut serta “mengakibatkan” akibat tersebut,
diterapkan ayat (1). Karenanya menjadi pertanyaan, berapa orang seharusnya
petindaknya agar memenuhi unsur subjek delik ini ?
ü Beberapa
sarjana berpendapat tidak cukup hanya dua orang saja. Alasannya antara lain
ialah, bahwa istilah “dengan tenaga bersama” lebih mengindikasikan suatu
gerombolan manusia. Kemudian ditambahkan jika dua orang subjek sudah dipandang
memenuhi unsur subjek delik ini, mengapa tidak digunakan saja istilah “dua
orang atau lebih” yang tidak asing lagi dalam terminologi hukum pidana ? lihat
antara lain pasal 167, 168, 363, 365 dsb-nya.
ü Sementara
sarjana lainnya (antara lain : Noyon) berpendapat bahwa subjek ini sudah
memenuhi syarat jika ada dua orang (atau lebih).
ü Selanjutnya
penting untuk diperhatikan bahwa pembuatan delik ini menurut penjelasannya (memorie van toelichting) tidak ditujukan
kepada kelompok, massa,
gerombolan masyarakat yang tidak turut melakukan kekerasan tersebut. Delik ini
hanya ditujukan kepada orangt-orang diantara gerombolan-masyarakat tersebut
yang benar-benar secara terbuka dan tenaga bersama melakukan kekerasan
tersebut.
ü Bahwa di
dalam praktek peradilan Indonesia
ternyata delik ini telah diterapkan dimana terdakwanya hanya terdiri dari dua
orang, yaitu berdasarkan Law Report 1973 hal.33.
terang-terangan
/ secara terbuka
v Prof. Mr. D. SIMONS ; Leerboek van het Nederlandse
Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.261, 262 (sebagaimana
dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam
bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan
serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.302-303)
Ø Karena
pasal 170 ayat (1) KUHP itu telah tidak memberikan sesuatu pembatasan tentang
arti dari kata openlijk geweld atau
kekerasan yang dilakukan secara terbuka itu sendiri, maka setiap kekerasan jika
hal tersebut dilakukan secara terbuka dan dilakukan secara bersama-sama dengan
orang banyak, dapat dimasukkan dalam pengertiannya.
Ø Selanjutnya
telah dikatakan oleh profesor SIMONS, bahwa dengan memperhatikan sejarah
terbentuknya pasal ini dan dengan memperhatikan penempatannya dalam Bab V dari
Buku II KUHP, Hoge Raad (tanggal 12 April 1897,W.6955 ; tanggal 15 Maret
1915,N.J.1915 hal.751,W.9798 ; tanggal 22 Desember 1919,N.J.1920
hal.86,W.10515) berpendapat bahwa yang dapat dimasukkan kedalam pengertian openlijk geweld menurut pasal 170 ayat
(1) KUHP itu hanyalah “kekerasan-kekerasan yang mengganggu ketertiban umum”,
dengan alasan bahwa persyaratan tersebut dapat diketahui dari adanya kata openlijk atau secara terbuka didalam rumusan pasal 170 ayat (1) KUHP itu
sendiri.
Ø Di lain
pihak profesor van HAMEL telah bermaksud untuk membatasi pengertian dari kata kekerasan tersebut berdasarkan kenyataan
bahwa perbuatan itu harus dilakukan secara openlijk,
maka yang dimaksud dengan openlijk geweld
atau kekerasan secara terbuka itu
hanyalah kekerasan yang dapat dilihat oleh setiap orang.
v Prof. Mr. G.A. van HAMEL (sebagaimana dikutip oleh
Prof. Mr. D. SIMONS dalam bukunya :
Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen –
Batavia, 1941, hal.262) dan dikutip pula oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam
bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan
serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung,
1986, hal.303.
Ø Yang
dimaksudkan dengan openlijk geweld
atau kekerasan secara terbuka itu
hanyalah kekerasan yang dapat dilihat
oleh setiap orang.
v Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER
; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem,
1954, hal.664 (sebagaimana dikutip oleh Drs.
P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap
Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh
dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.303-304)
Ø Profesor-profesor
NOYON-LANGEMEIJER ternyata mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat dari
profesor van HAMEL tentang kata openlijk geweld tersebut di atas. Tentang hal
tersebut berkatalah profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER antara lain bahwa :
“Kekerasan itu harus dilakukan secara terbuka, artinya harus dapat dilihat oleh
umum. Kekerasan tersebut tidak perlu dilakukan di tempat umum. Undang-undang
membuat perbedaan antara dua kata tersebut. Dengan demikian kekerasan itu juga
dapat dilakukan di dalam rumah, akan tetapi agar dapat dipidana, perbuatan
tersebut harus harus dapat dilihat oleh umum. Sungguhpun demikian, bahwa kata openlijk itu juga perlu dibatasi
demikian rupa, hingga tidak setiap kekerasan yang sebenarnya dapat dilihat oleh
umum, akan tetapi yang dalam kenyataannya tidak terlihat oleh umum itu juga
harus dimasukkan ke dalam pengertian openlijk
geweld atau kekerasan yang dilakukan secara terbuka.
Ø Menurut
profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER, sesuai dengan arrest-arrest Hoge Raad
masing-masing tertanggal 12 April 1897, W.6955, tertanggal 22 Desember 1919,
N.J. 1920 halaman 86, W.10515 dan tertanggal 13 Juni 1944, N.J. 1944 No.578,
kejahatan ini merupakan suatu kejahatan terhadap ketertiban umum. Jika sifat
keterbukaan itu ternyata tidak ada, maka perbuatan-perbuatan yang dilakukan
orang itu juga hanya dapat dipandang sebagai penganiayaan, sebagai kekerasan
terhadap orang-orang, sebagai perusakan atau sebagai penghancuran.
Ø Itulah
pula sebabnya, menurut profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER, Hoge Raad dalam
arrestnya tertanggal 30 Desember 1912, N.J.1913 halaman 365, W.9440 telah
memutuskan, bahwa pasal ini tidak dapat diberlakukan terhadap kekerasan yang
dilakukan orang di suatu tempat yang terpencil atau yang menyendiri, dimana
ketertiban umum itu tidak akan menjadi terpengaruh karenanya.
v Prof. Mr. D. SIMONS ; Leerboek van het Nederlandse
Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.262
(sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F.
LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa,
Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan
Kesehatan ; Binacipta, Bandung,
1986, hal.304-305)
Ø Berkenaan
dengan adanya pendapat yang berbeda-beda mengenai arti dari kata openlijk geweld seperti yang telah
dibicarakan di atas itu, dengan menunjuk pada nota dari profesor de VRIES
tentang arti dari kata openlijk geweld
tersebut, profesor SIMONS antara lain telah mengatakan bahwa : “Menurut
pendapat saya semua pembatasan itu cukup dapat dibenarkan oleh arti dari kata secara terbuka itu sendiri”.
Ø Tentang
pengertian dari kata openlijk geweld
tersebut akhirnya profesor SIMONS juga mengakui, bahwa suatu kekerasan itu
hanya dapat dipandang sebagai suatu kekerasan yang dilakukan secara terbuka,
jika kekerasan tersebut telah terjadi
dengan “dapat dilihat oleh umum”, dan tidaklah perlu bahwa kekerasan itu
harus dilakukan di tempat umum. Tentang hal tersebut berkatalah profesor SIMONS
selengkapnya sebagai berikut : “Suatu tindak kekerasan itu terjadi secara
terbuka, jika tindak kekerasan tersebut terjadinya dapat dilihat oleh umum ; dilakukannya tindak kekerasan itu di tempat umum tidaklah cukup.
Selanjutnya juga masih harus diisyaratkan, bahwa orang yang bersalah itu mengetahui
bahwa tindak kekerasan, dalam tindak kekerasan mana ia telah mengambil bagian
itu, telah dilakukan orang secara terbuka dan secara bersama-sama”.
v Arrest HR 12 April
1897, W.6955 ; 15 Maret 1915, N.J.1915 hal.751, W.9798 ; 22
Desember 1919, N.J.1920 hal.86, W.10515. (sebagaimana
dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus –
Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan
bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.303)
Ø Bahwa
yang dapat dimasukkan ke dalam pengertian openlijk
geweld menurut pasal 170 ayat (1) KUHP itu hanyalah “kekerasan-kekerasan
yang mengganggu ketertiban umum”, dengan alasan bahwa persyaratan tersebut
dapat diketahui dari adanya kata openlijk
atau secara terbuka didalam rumusan
pasal 170 ayat (1) KUHP itu sendiri.
v Arrest HR 2 Maret 1908 (sebagaimana dikutip oleh R. SOENARTO
SOERODIBROTO, SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.106).
Ø Pasal ini
tidak menyatakan sebagai dapat dihukum setiap perbuatan yang dilakukan dengan
menggunakan kekerasan dan tenaga bersama secara sengaja terhadap barang-barang
yang berada di tempat umum. Akan tetapi hanya perbuatan yang dilakukan dengan
kekerasan yang dilakukan di muka umum dan dengan demikian melanggar ketertiban
umum. Dengan “secara terang-terangan dan menggunakan kekerasan” diartikan apa
yang disebut vis publica terhadap
orang atau barang.
Ø “Secara
terang-terangan” berarti tidak secara bersembunyi, jadi tidak perlu di muka
umum, cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat
melihatnya.
v Arrest HR 2 Maret 1908, W.8674 ; 30 Desember 1912, N.J.1913, 365, W.9440
; 22 Desember 1919, N.J.1920, 86, W.10515 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F.
LAMINTANG,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia
; Sinar Baru, Bandung,
Cet. Ketiga, 1990, Hal.120).
Ø Pasal ini
tidak menentukan sebagai perbuatan yang dapat dihukum, setiap tindakan kekerasan
yang dilakukan dengan sengaja dan dilakukan secara bersama-sama terhadap
barang-barang yang berada di tempat yang terbuka, melainkan hanya kekerasan
yang dilakukan secara terbuka dan karenanya menyebabkan terganggunya ketertiban
umum. Dengan “kekerasan secara terbuka” dimaksudkan, bahwa vis publica atau force
ouverte dari Code Penal pasal 440 atau Pemploi
public et flagrant de violence itu dilakukan terhadap manusia atau barang.
v Arrest HR 30 Nopember 1931, N.J.1932, 461, W.12440 (sebagaimana dikutip
oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, Cet. Ketiga, 1990, Hal.120).
Ø Beberapa
orang yang di jalan umum secara bersama-sama dengan isyarat-isyarat yang
bersifat mendesak memaksa orang lain datang mendekati mereka dan kemudian
mendorong-dorong orang itu telah melakukan kekerasan secara terbuka.
v Arrest HR 30 Nopember 1931, N.J.1932, halaman 461, W.12440 (sebagaimana
dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG,SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa,
Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan
Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.305.
Ø Beberapa
orang yang “di atas jalan umum” secara bersama-sama dengan isyarat-isyarat yang
mendesak menyuruh seseorang untuk mendekat dan kemudian telah mendorong-dorong
orang tersebut, mereka itu telah melakukan kekerasan secara terbuka.
v Putusan MARI No. 10 K/Kr/1975 tanggal 17-3-1976 (sebagaimana dikutip oleh R.
SOENARTO SOERODIBROTO, SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.105).
Ø Openlijk dalam naskah asli
pasal 170 Wetboek van Stafrecht lebih
tepat diterjemahkan “secara terang-terangan”, istilah mana mempunyai arti yang
berlainan dengan openbaar atau
“dimuka umum”.
Ø “Secara
terang-terangan” berarti tidak secara bersembunyi, jadi tidak perlu di muka
umum, cukup apabila tidak diperlukan apa ada kemungkinan orang lain dapat
melihatnya.
v Drs.P.A.F LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus –
Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan
bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.302, 305.
Ø Mengenai
sifatnya yang harus terbuka dari
suatu kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama oleh pelaku dengan sejumlah
orang lainnya terhadap orang-orang atau barang-barang seperti yang dimaksudkan
dalam pasal 170 ayat (1) KUHP itu, ternyata undang-undang pun tidak memberikan
penjelasannya.
Ø Dari
yurisprudensi kita hanya mengetahui sedikit tentang apa yang dimaksudkan dengan
openlijk geweld atau “kekerasan yang
dilakukan secara terbuka” atau kekerasan yang sifatnya terbuka, yakni dari
beberapa arrest Hoge Raad 2 Maret 1908,
W.8674 ; 30 Desember 1912, N.J.1913, 365, W.9440 ; 22 Desember 1919, N.J.1920,
86, W.10515, yang pada dasarnya telah mengatakan sebagai berikut : “Pasal ini
tidak menyatakan sebagai dapat dipidana yaitu setiap kesengajaan melakukan
kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama terhadap barang-barang yang
terdapat di tempat yang terbuka, melainkan hanya kekerasan yang dilakukan secara terbuka hingga mendatangkan
gangguan terhadap ketertiban umum. Yang dimaksudkan dengan kekerasan yang dilakukan secara terbuka atau kekerasan yang sifatnya terbuka itu ialah vis publica (kekuatan umum), force
ouverte (kekerasan terbuka) menurut pasal 440 C.P. atau l’emploi public et flagarant de violence
(penggunaan dari kekerasan orang banyak) yang dilakukan terhadap orang-orang
dan barang-barang.”
Ø Untuk
mencegah kesalahpahaman seolah-olah tindak kekerasan yang dilakukan secara
bersama-sama di tempat umum itu tidak
dapat disebut sebagai tindak kekerasan yang sifatnya terbuka dan dilakukan
secara bersama, berikut ini dapat dilihat arrest Hoge Raad tertanggal 30
Nopember 1931,N.J.1932 halaman 461,W.12440, yang antara lain memutuskan bahwa :
“Beberapa orang yang di jalan umum secara bersama-sama dengan isyarat-isyarat
yang bersifat mendesak memaksa orang lain datang mendekati mereka dan kemudian
mendorong-dorong orang itu telah melakukan kekerasan secara terbuka.”
v SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni
AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.325 ; 326.
Ø Yang
dimaksud dengan secara terbuka atau terang-terangan (openlijk) di sini ialah
bahwa tindakan itu dapat disaksikan umum. Jadi apakah tindakan itu dilakukan di
tempat umum atau tidak, tidak dipersoalkan. Pokoknya dapat dilihat oleh umum.
Bahkan dalam praktek peradilan, jika tindakan itu dilakukan di tempat yang
sepi, tidak ada manusia, penerapan delik ini dipandang tidak tepat. Cukup delik
penganiayaan saja yang diterapkan.
Ø Dalam
rangka penerapan delik ini, perlu pula diperhatikan bahwa delik ini berada
dibawah judul : Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Karenanya, jika tindakan
itu terjadi dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan “gangguan terhadap
ketertiban umum”, maka tidak tepat penerapan pasal ini.
v R. SOENARTO SOERODIBROTO, SH ; KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.106.
Ø Meskipun
perbuatan penggunaan kekerasan tidak dilihat oleh orang lain, akan tetapi jika
dilakukan di suatu tempat yang dapat dilihat oleh orang lain, maka unsur openlijk atau “secara terang-terangan”
telah dinyatakan terbukti.
v R. SOESILO ; KUHP Serta Komentar-komentarnya
Lengkap pasal demi Pasal, Politea Bogor, Tahun 1996, hal.147.
Ø Kekerasan
itu harus dilakukan “dimuka umum”, karena kejahatan ini memang dimasukkan
kedalam golongan ketertiban umum. Dimuka
umum artinya ditempat publik dapat melihatnya.
v Prof. DR. ANDI HAMZAH, SH ; Delik-delik kekerasan
dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan, CV Sumber Ilmu Jaya, Jakarta,
Cet. Ke-II, 1999, hal.8, 9.
Ø Kekerasan
yang dilakukan di muka umum (disebut juga kejahatan terhadap ketertiban umum),
yaitu di tempat orang banyak (publik) dapat melihat perbuatan kekerasan
tersebut.
Ø Perusakan
barang, luka dan mati sebagai akibat, berbeda dengan perusakan barang (pasal
406 KUHP), di dalam pasal 170 KUHP tidak disebutkan bahwa barang itu kepunyaan
orang lain. Hakim dalam memutuskan harus meresapi jiwa dan sejarah pasal itu.
Disini ada vis publica, force ouverte seperti dalam pasal 440
Code Penal. Di sini delik dilakukan untuk mengganggu openbare orde (ketertiban umum). Kepentingan umum tidak terganggu
dengan merusak barang sendiri, jadi hakim harus tahu bahwa yang akan dilindungi
dengan pasal 170 KUHP ini ialah ketertiban umum, yang kalau barang sendiri yang
rusak berarti tidak mengganggu ketertiban umum yang akan dilindungi itu., jadi
tidak perlu dipidana. Walaupun dalam rumusan delik tidak disebut bahwa merusak
barang sendiri bukan delik.
v Prof. DR. WIRJONO PRODJODIKORO, SH ; Tindak-Tindak
Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Eresco, Jakarta-Bandung, Cet. Ke-III, 1980,
hal.171.
Ø “Secara
terang-terangan” (openlijk) berarti “tidak secara bersembunyi”. Jadi tidak
perlu dimuka umum (in het openbaar), cukup, apabila tidak diperdulikan, apa ada
kemungkinan orang lain dapat melihatnya.
v Brigjen.Pol.Drs.H.A.K.MOCH.ANWAR,SH ; Hukum Pidana
Bagian Khusus – KUHP Buku II – Jilid II, Alumni, Bandung, 1981, hal.117.
Ø Kekerasan
harus dilakukan secara terbuka yang berarti dapat terlihat oleh publik, tetapi
tidak perlu dilakukan dimuka umum.
Ø Kekerasan
ini dapat dilakukan di dalam sebuah rumah, tetapi harus tampak dari luar rumah
untuk dapat dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Terhadap kekerasan
yang dilakukan di tempat yang sunyi, dimana ketenteraman umum tidak terlibat,
tidak dapat diperlakukan pasal ini.
Ø Tidak
semua kekerasan yang tampak, tetapi apabila tidak dapat terlihat oleh publik,
dapat dianggap sebagai kekerasan yang dilakukan secara terbuka.
Ø Kejahatan
yang terdapat dalam pasal ini adalah kejahatan terhadap ketertiban umum.
Ketiadaan keterbukaan dari pada kekerasan yang dilakukan, tidak dapat dinyatakan
sebagai kejahatan yang diatur dalam pasal ini. Perbuatan tersebut diatas hanya
dapat dikwalifisir sebagai penganiayaan. Syarat terbuka ini tidak hanya
meliputi unsur melakukan kekerasan, tetapi juga meliputi “tindakan kekuatan
bersama”. Para pelaku tidak perlu terlihat,
hanya tindakan kekerasannya saja yang harus tampak. Para
pelaku dapat saja bersembunyi tetapi tindakan dengan kekuatan bersama, tidak
boleh tersembunyi terhadap publik.
dengan tenaga bersama /
secara bersama-sama
v Drs.P.A.F LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus –
Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan
bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.306.
Ø Baik dari
undang-undang maupun dari yurisprudensi, penulis ternyata telah tidak berhasil
mendapatkan penjelasan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan kata met verenigde krachten atau “secara
bersama-sama” tersebut, hingga penulis terpaksa harus melihat kedalam doktrin
untuk mengetahui arti yang sebanarnya dari kata tersebut. Didalam doktrin
sendiri ternyata tidak terdapat suatu communis
opinio doctorum (kesamaan pendapat diantara para ahli) tentang apa yang
sebenarnya telah dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang dengan kata met verenigde krachten atau “secara
bersama-sama” tersebut.
v Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER
; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem,
1954, hal.665 (sebagaimana dikutip oleh
Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan
terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi
Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.306)
Ø Profesor-profesor
NOYON-LANGEMEIJER berpendapat, bahwa kata berenigde
krachten itu harus diartikan sebagai verenigde
personen atau beberapa orang dalam satu ikatan. Menurut profesor-profesor
tersebut, dalam hal ini para pelaku itu setidak-tidaknya perlu mengetahui bahwa
dalam suatu tindak kekerasan itu terlibat beberapa orang didalamnya. Bahwa
adanya dua orang yang melakukan suatu
tindakan itu sudah cukup untuk
mengatakan, bahwa tindakan tersebut telah dilakukan met verenigde krachten. Tentang hal tersebut berkatalah
profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER antara lain bahwa : “Dua orang saja sudah
dapat melakukan suatu tindakan secara bersama-sama. Dalam pasal ini tidak
ditentukan secara tegas tentang berapa banyaknya orang yang harus terlibat
dalam tindak pidana yang bersangkutan., agar tindak pidana tersebut dapat
disebut sebagai telah dilakukan secara
bersama-sama, lain halnya dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 214
KUHP. Dimana pun undang-undang berbicara tentang bersama-sama di situ selalu disebut dua orang atau lebih.”
v Prof. Mr. G.A. van HAMEL (sebagaimana dikutip oleh
Prof. Mr. D. SIMONS dalam bukunya :
Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen –
Batavia, 1941, hal.262) dan dikutip pula oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam
bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan
serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung,
1986, hal.307.
Ø Profesor
van HAMEL ternyata telah bermaksud untuk mencari perbedaan antara pengertian met verenigde krachten atau dengan
tenaga-tenaga yang disatukan dengan pengertian met twees of meer verenigde personen atau dengan dua orang atau
lebih secara bersama-sama. Profesor van HAMEL berpendapat bahwa dalam met verenigde krachten atau dalam dengan tenaga-tenaga yang disatukan itu
diisyaratkan, bahwa para pelaku dari tindak kekerasan itu telah menyatukan
tenaga-tenaga mereka untuk melakukan tindak kekerasan secara terbuka, baik
dengan diperjanjikan terlebih dahulu ataupun oleh suatu impuls atau oleh suatu dorongan
kolektif yang timbul secara kebetulan atau bersifat seketika itu juga.
v Prof. Mr. D. SIMONS ; Leerboek van het Nederlandse
Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.262
(sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F.
LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa,
Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan
Kesehatan ; Binacipta, Bandung,
1986, hal.307).
Ø Profesor
SIMONS berpendapat bahwa suatu tindak kekerasan itu hanya dapat disebut sebagai
telah dilakukan met verenigde krachten
atau dengan tenaga-tenaga yang disatukan yakni jika dalam tindak kekerasan
tersebut terlibat banyak orang atau segerombolan orang, dan menganggap
adanya dua orang yang terlibat didalamnya sebagai tidak mencukupi. Tentang hal
tersebut berkatalah profesor SIMONS antara lain bahwa : “Suatu kekerasan itu
hanya dapat dilakukan dengan tenaga-tenaga yang disatukan, jika tindak
kekerasan itu telah diikuti oleh sejumlah
besar orang atau oleh suatu gerombolan
orang, hingga adanya suatu kumpulan yang terdiri dari dua orang saja tidak
cukup untuk maksud tersebut. Penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam
pasal ini ternyata sesuai dengan pengertian yang sifatnya terbatas itu. Kecuali
dari itu kata dengan tenaga-tenaga yang
disatukan itu mempunyai arti yang lain dari sekedar dengan dua orang atau lebih secara bersama seperti yang telah
dipergunakan oleh pembentuk undang-undang didalam beberapa pasal.”
Ø Berkenaan
dengan pendapat profesor van HAMEL tersebut di atas, profesor SIMONS
mengatakan, bahwa pada tindakan yang dilakukan secara bersama-sama pun orang
dapat mensyaratkan hal yang sama, akan tetapi didamping hal tersebut orang juga
perlu mensyaratkan adanya suatu bewuste
samenwerking atau suatu kesadaran pada diri para pelaku bahwa mereka itu
melakukan suatu kerjasama, hingga perbedaan antara met verenigde krachten dengan met
twees of meer verenigde personen itu perlu dicari seperti yang telah
dilakukan oleh profesor van HAMEL.
v SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni
AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.325-326.
Ø Yang
dimaksud dengan tenaga-bersama di
sini ialah bahwa beberapa tenaga dipersatukan oleh mereka yang mempunyai tenaga
itu. Ini tidak berarti, dalam melakukan kekerasan terhadap orang misalnya,
semua tangan menyekap orang itu, kemudian semua kaki menendangnya, kemudian
semua tangan menghempaskannya. Jika ada yang menyekap, yang lain memukul dan
yang lain menendang, telah terjadi penggunaan tenaga bersama.
Ø Unsur
kesalahan di sini adalah berupa kesengajaan. Hal ini tersimpulkan dari
perumusan “dengan tenaga bersama melakukan”, yang berarti setidak-tidaknya ada
saling pengertian mengenai yang dilakukan dengan tenaga bersama itu. Apakah
“saling pengertian” itu terjadi jauh sebelum kejadian itu atau pada waktu
kejadian itu, dalam hal ini tidak dipersoalkan.
v R. SOESILO, SH ; KUHP Serta Komentar-komentarnya
Lengkap pasal demi Pasal, Politea Bogor, Tahun 1996, hal.147.
Ø Kekerasan
itu harus dilakukan “bersama-sama”, artinya oleh sedikit-dikitnya “dua orang
atau lebih”. Orang-orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut
melakukan kekerasan, tidak dapat turut dikenakan pasal ini.
v Prof. DR. ANDI HAMZAH, SH ; Delik-delik kekerasan
dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan, CV Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. Ke-II, 1999,
hal.8.
Ø Kekerasan
yang dilakukan bersama orang lain atau kekerasan yang sedikitnya dilakukan oleh
dua orang atau lebih.
v Prof. DR. WIRJONO PRODJODIKORO, SH ; Tindak-Tindak
Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Eresco, Jakarta-Bandung, Cet. Ke-III, 1980,
hal.171.
Ø Unsur
“bersama-sama” (met vereenigde krachten) memperlukan adanya dua pelaku atau
lebih, yang bersekongkol saling menolong dalama melakukan kekerasan.
v Brigjen.Pol.Drs.H.A.K.MOCH.ANWAR,SH ; Hukum Pidana
Bagian Khusus – KUHP Buku II – Jilid II, Alumni, Bandung, 1981, hal.116-117.
Ø Kekerasan
dilakukan dengan kekuatan bersama, dan untuk mengadakan kekuatan bersama
kekerasan harus dilakukan oleh beberapa orang secara bersatu. Dan para pelaku
masing-masing mengetahui bahwa terdapat orang-orang lain yang turut serta
melakukan perbuatannya. Tindakan dengan kekuatan bersama sudah terdapat oleh
hanya 2 orang saja. Kekuatan bersama dapat dilakukan oleh 2 orang atau lebih.
“menggunakan kekerasan
v Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus –
Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan
bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.300.
Ø Undang-undang
sendiri telah tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang yang dimaksudkan
dengan kekerasan, melaiankan di dalam
pasal 89 KUHP “hanya menyamakan” dengan melakukan
kekerasan yaitu perbuatan “membuat dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya”.
v Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER
; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem,
1954, hal.470,662,662 (sebagaimana dikutip oleh
Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan
terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi
Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.300,301,302).
Ø Profesor-profesor
NOYON – LANGEMEIJER telah mengartikan geweld
atau kekerasan itu sebagai krachtdadig optreden atau sebagai
bertindak dengan mempergunakan kekuatan atau tenaga, jadi bukan bertindak
secara biasa, akan tetapi penggunaan kekuatan atau tenaga yang tidak begitu
kuat pun dapat dimasukkan ke dalam pengertiannya.
Ø Mengenai
dalam bentuk perbuatan yang bagaimana kekerasan
itu dapat dilakukan orang, Profesor-profesor NOYON – LANGEMEIJER telah
memberikan penjelasaannya sebagai berikut : “Kekerasan itu dapat berupa perusakan barang-barang atau berupa penganiayaan ; jika hal tersebut terjadi
maka terdapat suatu gabungan dari kejahatan-kejahatan itu, akan tetapi cukup
kiranya jika dalam hal ini terdapat kemungkinan
yang dapat menjurus ke arah itu, jadi kekerasan itu belum mempunyai arti sebagai penganiayaan atau perusakan, dan dianggap sebagai sudah ada yaitu misalnya jika orang
telah melemparkan batu-batu ke sebuah rumah ; dengan demikian perbuatan
merampok sebuah toko roti, yakni dalam peristiwa mana sejumlah roti telah
dilemparkan ke jalanan tanpa secara khusus merusak roti-roti tersebut, dapat
dimasukkan ke dalam pengertian melakaukan kekerasan”.
Ø Dijelaskan
lebih lanjut oleh profesor-profesor NOYON – LANGEMEIJER bahwa tindak pidana
yang dilarang dalam pasal 170 ayat (1) KUHP itu adalah melakukan kekerasan. Jadi berbeda dengan perbuatan-perbuatan
melakukan kekerasan seperti yang dimaksud dalam pasal-pasal 146, 211 atau pasal
212 KUHP, dalam tindak pidana - tindak pidana mana perbuatan-perbuatan melakukan
kekerasan itu hanya merupakan “cara” untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain,
maka dalam pasal 170 ayat (1) KUHP ini, perbuatan melakukan kekerasan itu merupakan “tujuan” atau doel dari tindak pidana seperti yang
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang di dalam ketentuan pidana seperti yang
telah diaturnya dalam pasal 170 ayat (1) KUHP tersebut.
v Prof. Mr. D. SIMONS ; Leerboek van het Nederlandse
Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.261
(sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F.
LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan terhadap Nyawa,
Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan
Kesehatan ; Binacipta, Bandung,
1986, hal.300)
Ø Orang
dapat berbicara tentang adanya suatu kekerasan
jika dalam suatu peristiwa itu orang telah menggunakan kekuatan atau tenaga
badaniah yang tidak terlalu ringan.
v SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni
AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.326.
Ø Melakukan
kekerasan di sini hanya pada suatu tingkat tertentu, yang tidak membuat si
objek hancur atau luka, ataupun lebih parah lagi. Karena jika demikian halnya
yang diterapkan adalah ayat (2). Melakukan kekerasan di sini, selain merupakan
tindakan yang terlarang juga merupakan tujuan yang terdekatnya. Jadi bukan
sebagai sarana untuk tujuan lain seperti misalnya pada delik pasal 146, 173,
212, 368 dan lain sebagainya serta juga bukan sebagai sekedar kenakalan seperti
tersebut dalam pasal 489. Karena itu secara tegas pada ayat (3) ditentukan
bahwa penerapan pasal 89 terhadap delik ini disimpangi.
Ø Di ayat
(2) ke-1 di satu fihak ditentukan / dirumuskan tujuan terdekat yang kedua yaitu
“dengan sengaja menghancurkan barang”, dan dilain fihak luka orang itu adalah
merupakan suatu akibat dari kesengajaan melakukan kekerasan terhadapnya. Hal
ini adalah suatu perumusan yang tidak atau kurang sempurna seperti halnya
perumusan pada ayat (1). Jika secara harafiah mengikuti ketentuan pada ayat (2)
ke-1 tersebut, jika kesengajaan itu adalah untuk membuat tidak terpakai
(onbruikbaar maken), merusak (beschadigen), atau menghilangkannya (wegmaken),
maka tidak dapat diterapkan ayat (2) tersebut karena yang ditentukan hanya
kesengajaan menghancurkan (vernielen). Padahal dalam praktek sukar membedakan
antara : membuat tidak terpakai (onbruikbaar maken), merusak (beschadigen) dan
menghancurkan (vernielen) tersebut. Karenanya pengertian menghancurkan
(vernielen) itu sebaiknya dianut yang mencakup keseluruhannya tersebut di atas.
v R. SOESILO, SH ; KUHP Serta Komentar-komentarnya
Lengkap pasal demi Pasal, Politea Bogor, Tahun 1996, hal.146-147, 98.
Ø Yang
dilarang dalam pasal ini ialah : “melakukan kekerasaan”. Melakukan kekerasan artinya : mempergunakan tenaga atau kekuatan
jasmani tidak kecil secara yang tidak syah, misalnya memukul dengan tangan atau
dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dsb.
Ø Melakukan kekerasan dalam
pasal ini bukan merupakan suatu alat atau
daya upaya untuk mencapai sesuatu seperti halnya dalam pasal 146, 211, 212
dan lain-lainnya, akan tetapi merupakan suatu tujuan. Disamping itu tidak
pula masuk kenakalan dalam pasal 489, penganiayaan dalam pasal 351 dan
merusak barang dalam pasal 406 dan sebagainya.
v Prof. DR. ANDI HAMZAH, SH ; Delik-delik kekerasan
dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan, CV Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. Ke-II, 1999,
hal7-8.
Ø Yang
dilarang ialah perbuatan kekerasan yang merupakan tujuan dan bukan merupakan alat
atau daya upaya untuk mencapai suatu kekerasan, yang dilakukan biasanya
merusak barang atau menganiaya atau dapat pula mengakibatkan sakitnya orang
atau rusaknya barang, walaupun dia tidak bermaksud menyakiti orang atau merusak
barang. Misalnya perbuatan melempar batu kepada kerumunan orang atau kepada
suatu barang, mengobrak-abrik barang dagangan hingga berantakan atau
membalikkan kendaraan (Noyon-Langemeijer-Remmelink, Komentar pasal 141 Sr).
Jadi, biasanya kelompok atau massa
yang marah dan beringas, tanpa pikir akibat perbuatannya, mereka melakukan
tindakan kekerasan, sehingga terjadi kerusuhan, kebakaran, orang lain luka atau
bahkan mati.
v Prof. DR. WIRJONO PRODJODIKORO, SH ; Tindak-Tindak
Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Eresco, Jakarta-Bandung, Cet. Ke-III, 1980,
hal.170.
Ø Kini
kekerasan adalah tujuan, bukan sarana untuk tujuan lain. Maka tidak
perlu ada akibat tertentu dari kekerasan. Apabila kekerasannya misalnya berupa
melemparkan batu ke arah seorang atau suatu barang, maka tidak perlu orang atau
barang itu kena lemparan batu itu.
v Brigjen.Pol.Drs.H.A.K.MOCH.ANWAR,SH ; Hukum Pidana
Bagian Khusus – KUHP Buku II – Jilid II, Alumni, Bandung, 1981, hal.116.
Ø Perbuatan
yang dilarang adalah perbuatan melakukan kekerasan terhadap orang atau barang.
Dalam hal ini kekerasannya harus benar-benar dilakukan dan melakukan kekerasan
ini tidak tergantung atas akibat yang timbul terhadap orang atau barang.
Ø Kekerasan
dapat terdiri atas perusakan barang atau penganiayaan. Apabila kedua perbuatan
ini dilakukan, maka hal ini menimbulkan gabungan dari beberapa kejahatan.
Kekerasan itu dilakukan secara terbuka dan dengan kekuatan yang terkumpul,
hingga kejahatan ini merupakan kejahatana terhadap ketertiban umum, dimana
korban yang dirugikan kurang diperhatikan.
Ø Kejahatan
dalam pasal 170 (1) ini sudah terlaksana dengan misalnya dengan perbuatan
melempar batu ke sebuah rumah, mengambil roti dari sebuah toko, roti mana
dilempar ke jalan.
Ø Perbuatana
kekerasan merupakan tujuan, bukan
merupakan sarana untuk mencapai
tujuan lain.
terhadap orang atau barang /
terhadap orang-orang atau barangt-barang
v Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus –
Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan
bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.308,309.
Ø Tegen personen of goederen atau terhadap orang-orang atau barang-barang,
artinya bahwa kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang secara terbuka dan
secara bersama-sama itu harus ditujukan terhadap orang-orang atau barang-barang.
Ø Perlu
dicatat bahwa para penerjemah di Indonesia pada umumnya telah
menerjemahkan kata personen (persoon
dalam bentuk jamak) dan kata geoderen
(goed dalam bentuk jamak) didalam rumusan pasal 170 ayat (1) KUHP itu dengan
kata orang dan barang (dalam bentuk tunggal). Kesalahan-kesalahan yang nampaknya
kecil dan tidak mempunyai arti sama sekali seperti itu, kadang-kadang mempunyai
akibat yang sangat merugikan bagi penegakan hukum di tanah air.
Kesalahan-kesalahan seperti itu sudah barang tentu tidak akan dapat diketahui
oleh para pembaca, jika para pembaca tidak mempunyai kesempatan untuk
membandingkan rumusan-rumusan tindak pidana - tindak pidana yang terdapat
didalam kitab-kitab penerjemahan itu dengan rumusan-rumusan yang asli didalam
bahasa Belanda yang terdapat didalam Wetboek van Strafrecht voor Indonesie.
Ø Pendapat
dari profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER sebagaimana tersebut dibawah adalah
memang benar, akan tetapi kelirulah pendapat mereka yang mengatakan bahwa
apabila suatu kekerasan itu telah ditujukan terhadap
satu orang atau terhadap sebuah benda, maka para pelakunya tetap dapat
dipersalahkan karena melanggar larangan yang diatur dalam pasal 170 KUHP.
Pendapat dari profesor-profesor NOYON-LANGEMEIJER tersebut akan membuat pasal
200, 406 atau 410 KUHP menjadi tidak ada artinya, karena sebagai contoh mereka
telah menunjuk pada perbuatan menghancurkan sebuah rumah.
v Prof. Mr. T.J. NOYON – Prof. Mr. G.E. LANGEMEIJER
; Het Wetboek van Strafrecht I, S. Gouda Quint – D. Brouwer en Zoon, Arnhem,
1954, hal.309, 664 (sebagaimana dikutip oleh
Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH dalam bukunya : Delik-delik Khusus – Kejahatan
terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi
Nyawa, Tubuh dan Kesehatan ; Binacipta, Bandung, 1986, hal.309, 310).
Ø Profesor-profesor
NOYON-LANGEMEIJER mengatakan bahwa adanya rumusan dalam bentuk jamak yakni terhadap orang-orang atau barang-barang
itu akan membuat perbuatan melakukan kekerasan terhadap satu orang atau terhadap sebuah
benda menjadi tidak dapat dipidana.
Ø Menurut profesor-profesor
NOYON-LANGEMEIJER, pada umumnya yang dimaksudkan dengan barang-barang itu adalah harta-harta
kekayaan. Mereka berpendapat bahwa tidak ada satu pun alasan untuk tidak
memasukkan juga kedalam pengertiannya yakni barang-barang
bernyawa seperti binatang-binatang. Harus pula dimasukkan kedalam
pengertiannya yakni bukan hanya barang-barang
bergerak melainkan juga barang-barang tidak bergerak.
v SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni
AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.325.
Ø Walaupun
di sini tidak dicantumkan milik siapa barang
tersebut, namun jika beberapa orang secara terbuka dengan tenaga bersama
melakukan kekerasan kepada barang mereka bersama, misalnya lima orang pemilik
suatu bangunan tua, dengan tenaga bersama menghancurkan bangunan itu dalam
rangka menggantinya dengan bangunan baru, yang ditonton oleh banyak orang,
bukanlah suatu tindakan merusak dalam delik ini.
v R. SOESILO, SH ; KUHP Serta Komentar-komentarnya
Lengkap pasal demi Pasal, Politea Bogor, Tahun 1996, hal.147.
Ø Kekerasan
itu harus ditujukan terhadap “orang atau barang”. Hewan atau binatang masuk
pula dalam pengertian barang. Pasal ini tidak membatasi, bahwa orang (badan)
atau barang itu harus “kepunyaan orang lain”, sehingga milik sendiri masuk pula dalam pasal ini,
meskipun tidak akan terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau
barangnya sendiri sebagai tujuan ;
kalau sebagai alat atau daya upaya
untuk mencapai sesuatu hal, mungkin bisa juga terjadi.
v Arrest HR 27 April
1896 (sebagaimana dikutip oleh R. SOENARTO SOERODIBROTO, SH dalam
bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad
; PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.106).
Ø Penggunaan
kekerasan terhadap suatu detasemen Polisi adalah mungkin. Pasal 170 KUHP tidak
membedakan antara kekerasan terhadap pegawai negeri dan terhadap orang-orang
lain. Berbeda dengan pasal 212 KUHP, ketentuan ini tidak mensyaratkan bahwa
dilakukan perlawanan.
v Arrest HR 27 April
1896, W.6806 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus –
Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan
bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.310)
Ø Tindak
kekerasan terhadap suatu detasemen polisi itu dapat sajja terjadi. Pasal 170
KUHP tidak membuat perbedaan antara tindak kekerasan terhadap pegawai negeri
dengan tindak kekerasan terhadap orang-orang lainnya. Berbeda dengan ketentuan
pidana yang diatur dalam pasal 212 KUHP, ketentuan pidana yang diatur dalam
pasal 170 KUHP ini tidak mensyaratkan bahwa para pelaku harus melakukan suatu
perlawanan.
v Arrest HR 27 April
1896, W.6806 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F. LAMINTANG,SH
dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia
; Sinar Baru, Bandung,
Cet. Ketiga, 1990, Hal.120).
Ø Tindakan
kekerasan terhadap sebuah detasemen Polisi adalah mungkin, karena pasal 170
KUHP ini tidak mengadakan perbedaan antara pegawai negeri dan orang-orang
lainnya. Akan tetapi berbeda dengan pasal 212 KUHP, ketentuan ini tidak
mensyaratkan tentang adanya perlawanan.
v Prof. DR. ANDI HAMZAH, SH ; Delik-delik kekerasan
dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan, CV Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. Ke-II, 1999,
hal.8.
Ø Kekerasan
yang dilakukan tersebut ditujukan kepada orang atau barang atau hewan,
binatang, baik itu kepunyaan sendiri maupun kepunyaan orang lain.
ex. ayat (2) ke-1
jika dengan sengaja menghancurkan barang
atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan
luka-luka
ex. ayat (2) ke-2
jika kekerasan mengakibatkan luka berat
ex. ayat (2) ke-3
jika kekerasan mengakibatkan maut
v SR. SIANTURI, SH ; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni
AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.326.
Ø Dalam
ayat ini di satu fihak ditentukan/dirumuskan tujuan terdekat yang kedua yaitu
“dengan sengaja menghancurkan barang”, dan di lain fihak luka orang itu adalah
merupakan suatu akibat dari kesengajaan melakukan kekerasan terhadapnya. Hal
ini adalah suatu perumusan yang tidak atau kurang sempurna seperti halnya
perumusan ayat (1).
Ø Jika
secara harafiah mengikuti ketentuan ayat (2) ke-1 ini, maka jika kesengajaan
itu adalah untuk membuat tidak terpakai
(onbruuikbaar maken), merusak
(beschadigen) atau menghilangkannya
(wegmaken), tidak dapat diterapkan ayat (2) tersebut karena yang ditentukan
hanya kesengajaan menghancurkan
(vernielen). Padahal dalam praktek sukar membedakan antara : membuat tidak
terpakai, merusak dan menghancurkan tersebut. Karenanya pengertian
menghancurkan itu sebaiknya dianut yang mencakup keseluruhannya tersebut di
atas.
v Arrest HR 19
November 1894 (sebagaimana dikutip oleh R. SOENARTO SOERODIBROTO,
SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan
Hoge Raad ; PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Ed.5, Cet.10, 2004, Hal.106).
Ø Pada
pasal 170 KUHP pelaku tidak bertanggung jawab untuk akibat-akibat parah dari
perbuatan-perbuatan para pelaku peserta ; hal mana merupakan pengecualian
terhadap pasal 55 KUHP.
v Arrest HR 19 Nopember 1894, W.6584 (sebagaimana dikutip oleh Drs. P.A.F.
LAMINTANG,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia
; Sinar Baru, Bandung,
Cet. Ketiga, 1990, Hal.120).
Ø Didalam
pelanggaran pasal 170 KUHP ini, seorang pelaku itu tidak dipertnggung jawabkan
terhadap akibat-akibat yang memberatkan yang dilakukan oleh lain-lain peserta
di adalam kejahatan. Ini adalah suatu pengecualian terhadap pasal 55 KUHP.
v Prof. DR. WIRJONO PRODJODIKORO, SH ; Tindak-Tindak
Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Eresco, Jakarta-Bandung, Cet. Ke-III, 1980,
hal.171.
Ø Apabila
akibat-akibat dari a, b dan c (ke-1, ke-2 dan ke-3) ini hanya disebabkan oleh
perbuatan salah seorang dari para pelaku, maka untuk pelaku-pelaku yang lain
tambahan hukuman tidak berlaku.
v Brigjen.Pol.Drs.H.A.K.MOCH.ANWAR,SH ; Hukum Pidana
Bagian Khusus – KUHP Buku II – Jilid II, Alumni, Bandung, 1981, hal.117-118.
Ø Ayat (2)
memperberat ancaman hukuman bagi yang bersalah telah melakukan kejahatan dalam
ayat (1), apabila :
· mereka
secara pribadi merusak barang.
· perbuatannya
tersebut menyebabkan :
- luka pada
orang lain ;
- luka
berat pada orang lain ;
- mati pada
orang lain.
Ø Sebenarnya
kurang tepat untuk memperlakukan pemberatan ini terhadap semua peserta dari
perbuatan kekerasan itu, hingga perbuatan dari orang lain (peserta lain)
dipertanggung jawabkan kepada peserta yang tidak menimbulkan akibat-akibat
tersebut. Ketentuan dalam ayat (2) dimaksudkan, agar gabungan antara perbuatan
kekerasan dan penganiayaan atau perusakan tidak dimungkinkan. Dan kejahatan
penganiayaan dan perusakan tersebut merupakan masalah yang memperberat hukuman.
v Drs.P.A.F LAMINTANG, SH ; Delik-delik Khusus –
Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan
bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hal.295-296.
Ø Tindak
pidana menghilangkan nyawa orang lain
dalam pasal 170 ayat (2) angka 3 KUHP dapat terjadi dalam kerusuhan-kerusuhan
yang sering terjadi di tanah air sebagai ungkapan dari perasaan-perasaan tidak
puas terhadap sesuatu hal yang melibatkan sejumlah besar orang. Dalam
kerusuhan-kerusuhan seperti itu seringkali terdapat banyak orang yang melibatkan
diri di dalamnya, tanpa asanya “sesuatu unsur
schuld” pada diri mereka masing-masing melainkan hanya karena terpengaruh
oleh kegiatan-kegiatan atau teriakan-teriakan massa, hingga cara berpikir mereka itu
sebenarnya sudah tidak bersifat otonom lagi. Itulah pula sebabnya mengapa
pembentuk undang-undang telah memberikan ancaman pidana yang lebih ringan
terhadap pelaku-pelaku dari perbuatan menghilangkan
nyawa orang lain dalam peristiwa-peristiwa semacam itu dibandingkan dengan
ancaman-ancaman pidana dalam pasal-pasal KUHP lainnya terhadap pelaku-pelaku
dari tindak pidana yang sejenis.
Ø Ketentuan
pidana yang diatur dalam pasal 170 KUHP itu juga dapat dipandang sebagai salah
satu “ketentuan pidana yang bersifat khusus” dari ketentuan pidana yang
bersifat umum seperti yang diatur dalam pasal 338 KUHP, hingga apabila dalam
kerusuhan seperti yang dimaksudkan di atas, kekerasan yang dilakukan oleh
seseorang itu ternyata telah menyebabkan meninggalnya seseorang, maka orang
tersebut harus dituntut menurut ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 170
ayat (2) angka 3 KUHP dan bukan menurut ketentuan pidana yang diatur dalam
pasal 338 KUHP. Hal mana adalah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal
63 ayat (2) KUHP yang mengatakan : “Jika bagi suatu tindak pidanba yang diatur
dalam suatu ketentuan pidana yang bersifat umum itu terdapat suatu ketentuan
yang bersifat khusus, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang
diberlakukan”.
Ø Apa
akibat hukumnya jika dalam peristiwa di atas, penuntut umum tetap berkeras
untuk mendakwa pelakunya sebagai pelaku dari tindak pidana yang diatur dalam
pasal 338 KUHP ?. Walaupun yang didakwakan oleh penuntut umum itu mungkin saja
dapat dibuktikan di sidang pengadilan, akan tetapi karena yang didakwakan
terhadap pelaku itu bukan merupakan tindak pidana yang seharusnya didakwakan
terhadap pelaku, maka hakim akan memutuskan pembebasan dari segala tuntutan
hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) bagi pelaku.
Bayar Pakai Dengan Pulsa AXIS XL TELKOMSEL
BalasHapusAnda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vit
Capsa Susun, Bandar Poker,QQ Online, Adu Q, dan Bandar Q
Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain
Sabung Ayam S1288, CF88, SV388, Sportsbook, Casino Online,
Togel Online, Bola Tangkas Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO GOPAY
Whatsapp : 0812-222-2996
POKERVITA
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |