Pasal
55 KUHP
(1)
Dipidana sebagai pelaku tindak
pidana (dader) :
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut
serta melakukan perbuatan ;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Ø Pelaku tindak pidana (dader) : mereka …….
1. yang melakukan tindak pidana (pleger)
2. yang menyuruh melakukan tindak pidana (doen pleger)
3. yang turut serta melakukan tindak pidana (medepleger)
4. yang sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
tindak pidana,
·
dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu,
· dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
·
dengan kekerasan, ancaman
atau penyesatan, atau
·
dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan.
yurisprudensi
v MARI No. 7 K/Kr/1960 tanggal 22-11-1969
Ø Keberatan yang diajukan penuntut kasasi : ---
bahwa dalam perkara ini pelaku utamanya tidak diadili ; Tidak dapat diterima,
karena untuk memeriksa perkara terdakwa Pengadilan tidak perlu menunggu
diajukannya terlebih dahulu pelaku utama dalam perkara itu. (i.c. Terdakwa
dipersalahkan atas kejahatan : “Sebagai Pegawai Negeri turut serta membujuk orang
lain melakukan penggelapan dalam jabatan).
v MARI No. 15 K/Kr/1970 tanggal 26-6-1971.
Ø Perbuatan terdakwa II mengancam dengan pistol
tidak memenuhi semua unsur dalam pasal 339 KUHP. Terdakwa I lah yang memukul si
korban dengan sepotong besi yang mengakibatkan meninggalnya korban. Karena itu
untuk terdakwa II, kwalifikasi yang tepat adalah turut melakukan tindak pidana
(medeplegen), sedangkan pembuat materiilnya ialah terdakwa I.
v MARI No. 52 K/Kr/1959 tanggal 12-5-1959.
Ø Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi : ----
bahwa kesalahan penuntut kasasi tidak terbukti karena kawan pelaku pencuri
telah meninggal dunia sehingga penuntut kasasi tidak dapat dinyatakan sebagai
“medepleger” dari orang mati ; Tidak dapat dibenarkan, karena soal apakah
terdakwa bersama orang lain melakukan tindak pidana yang dituduhkan, harus
disandarkan pada saat tindak pidana itu dilakukan dan apakah hal termaksud di
sidang dapat dibuktikan ; bahwa kawan pesertanya kemudian meninggal dunia tidak
mempengaruhi hal tersebut.
v MARI No. 137 K/Kr/1956 tanggal 1-12-1956.
Ø Menyuruh melakukan (doen plegen) suatu tindak
pidana, menurut hukum pidana syaratnya adalah bahwa orang yang disuruh itu
menurut hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya sehingga
oleh karenanya tidak dapat dihukum.
v MARI No. 114 K/Kr/1967 tanggal 11-9-1968.
Ø Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan
Mahkamah Agung : Unuk tertuduh IV sebutan “memalsukan surat” lebih tepat
diganti dengan istilah “memancing pembuatan surat palsu”, karena karya tertuduh
IV dalam perkara ini ialah memberi keterangan-keterangan atau bahan kepada
tertuduh-tertuduh lainnya untuk membuat surat palsu tersebut.
v MARI No. 122 K/Kr/1958 tanggal 16-1-1959
Ø Seorang redaktur yang bertanggung-jawab dengan
sengaja menyuruh memuat suatu karangan yang mengandung isi yang menista orang
lain dalam surat
kabar yang dipimpin olehnya dengan maksud untuk disiarkannya, merupakan
pelaku-peserta (mededader) dari kejahatan menista tersebut.
v HR 15 Januari 1912
Ø “Menyuruh melakukan” adalah menyuruh melakukan
suatu perbuatan yang dapat dihukum oleh orang lain, yang karena paksaan,
kekeliruan atau tidak mengetahui, berbuat tanpa kesalahan, kesengajaan atau
dapat dipertanggungjawabkan.
v HR 19 Maret 1906
Ø Jika kehendak pelaku materiil telah terpengaruh,
sehingga ia melakukan suatu perbuatan karena adanya paksaan, terhadap mana ia
tidak dapat berbuat sesuatu apa, maka terdapatlah “menyuruh melakukan”.
Ø Jika pelaku materiil melakukan perbuatan itu
secara sukarela, karena tergerak oleh salah-satu upaya dari pasal 55 ayat (2),
terjadilah “penganjuran”.
v HR 10 Juni 1912
Ø “Menyuruh
melakukan” telah terbatas terhadap cara dengan mana pelaku materiil
melakukannya. Hal ini dapat terjadi karena orang tidak mengetahui bahwa
perbuatannya dapat dihukum (i.c seorang perempuan telah mencampur susu yang
akan diantar oleh suaminya dengan air tanpa sepengetahuan suaminya).
v HR 20 Juni 1932
Ø Untuk “menyuruh melakukan” diisyaratkan bahwa
pelaku materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Untuk dapat
menjatuhkan hukuman dari keputusan harus ternyata bahwa hal ini telah diperiksa
oleh hakim.
v HR 14 Februari 1916
Ø Apabila pelaku materiil telah berbuat tanpa suatu
kesalahan apapun, maka ia merupakan suatu alat yang tidak berdaya dari pelaku
langsung. Ialah yang melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
Doktrin / Pendapat Tokoh Hukum
yang melakukan (plegen)
v Satochid Kartanegara (Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah
Bagian I), Jakarta
: Balai Lektur Mahasiswa, hal.500.
Ø …………….
dicantumkannya perumusan tersebut dalam pasal 55 adalah berkelebihan, sebab
andaikata perumusan itu tidak dicantumkan dalam pasal tersebut, tokh akan dapat
diketahui siapa pelakunya, yaitu dalam :
a. Delict dengan perumusan formil.
Pelakunya
adalah barangsiapa “yang memenuhi rumusan
delict”
b. Delict dengan perumusan materiil.
Pelakunya
adalah barangsiapa “yang menimbulkan
akibat yang dilarang”
a. Delict yang memiliki unsur kedudukan
atau kualitas (hoedanigeid en qualiterit)
Pelakunya
adalah mereka “yang memiliki unsur, kedudukan
atau kualitas”, sebagai yang ditentukan itu, yaitu misalnya kejahatan di
dalam jabatan, yang dapat melakukan adalah hanya pejabat negeri.
v Moeljatno (Hukum Pidana. Delik-delik Penyertaan),
Tanpa Penerbit, 1979, hal.35-36.
Ø Bahwa
disebutnya pelaku (pleger) di dalam
pasal 55 (1) 1e KUHP adalah dengan alasan sebagai berikut :
1. bahwa
pleger (melakukan, penyusun) di situ
menunjuk kepada dilakukannya perbuatan dengan penyertaan lain-lain orang
mungkin ada pembantu-pembantunya atau mungkin ada penganjur-penganjurnya (uitlokkers, penyusun) atau mungkin
orang-orang ikut serta melakukan.
2. kalau
ia melakukan atau mewujudkan perbuatannya hanya sendirian saja, tentu plegen (melakukan, penyusun) semacam itu
tidak dapat dimasukkan ajaran penyertaan.
Ø Pengertian
pleger (pelaku) yaitu : “………. untuk
rumusan delik yang disusun secara formal mengenai orangnya yang melakukan
perbuatan tingkah laku seperti yang tercantum dalam rumusan delik. Kalau
rumusan delik itu disusun secara material, maka siapa yang menimbulkan akibat
seperti rumusan delik, yang harus kita tentukan dengan ajaran kausalitas.”
yang menyuruh
melakukan (doen pleger)
v Mr.J.E.Jonkers dalam bukunya “Handboek” van het
Nederlands Indische Strafrecht” (sebagaimana yang dikutip oleh Soenarto Soedibroto,
SH dalam bukunya “KUHAP dan KUHAP”, Edisi Keempat).
Ø Pada
“doen plegen”, pelaku yang melakukan perbuatan itu dinamakan “willoos werktuig”
atau “manus ministra” atau7 “manus domina”.
Ø “Manus
ministra” berbuat karena pelbagai alasan, seperti :
1. adanya daya
paksa (over macht) ;
2. tidak
dapat dipertanggungjawabkan (ontvereken baar) ;
3. berbuat
untuk melaksanakan ketentuan undang-undang atas perintah jabatan ;
4. tidak
mengetahui keadaan yang sebenarnya.
v R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap
pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996. Hal.73.
Ø Di sini
sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh
(pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang menyuruh peristiwa pidana, akan
tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian toch ia dipandang dan dihukum
sebagai orang yang melakukan sendiri peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh
orang lain. Yang disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat
(instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya, misalnya dalam hal-hal sebagai berikut :
§ Tidak
dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 44 KUHP.
§ Telah
melakukan perbuatan itu karena terp…aksa oleh kekuasaan yang tidak dapat
dihindarkan (overmacht) menurut pasal 48.
§ Telah
melakaukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak syah menurut pasal
51.
§ Telah
melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali. Geen straf
zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).
v P.A.F.Lamintang (Dasar-Dasar Untuk Mempelajari
Hukum Pidana Yang berlaku di Indonesia), Bandung
: Sinar Baru, 1984, hal.583. yang mengutip pendapat Simons (1937).
Ø Bahwa
untuk adanya doen plegen ex. pasal 55
ayat (1) angka 1 KUHP, maka orang dibuat sehingga melakukan (yang disuruh
melakukan) haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Apabila
orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar (penyusun : dapat
dipertanggung jawabkan) seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 44 KUHP ;
2. Apabila
orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman
mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan ;
3. Apabila
orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana sama sekali tidak mempunyai
unsur schuld (penyusun : kesalahan),
bail dolus maupun culpa (penulis : kesengajaan maupun
kelalaian), atau pun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan
oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut ;
4. Apabila
orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana tidak memenuhi unsur oogmerk (penulis : niat), padahal unsur
tersebut telah disyaratkan didalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana
tersebut di atas ;
5. Apabila
orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya dibawah
pengaruh suatu overmacht (penulis :
daya paksa), dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan
perlawanan ;
6. Apabila
orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melakukan suatu perintah padahal perintah jabatan
tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak
berwenang memberikan perintah semacam itu ;
7. Apabila
orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedaniged atau sifat tertentu seperti yang
telah disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai sifat yang harus dimiliki
oleh pelakunya sendiri.
v MvT (Memorie
van Toelichting), sebagaimana yang diterjemahkan dengan bebas dari buku
Hazewinkel Suringa, 1989 : 372 oleh Prof.Mr.Dr.Lit.A.Z.Abidin dan
Prof.Dr.Jur.A.Hamzah (dalam bukunya : Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik –
Percobaan, penyertaan dan Gabungan Delik dan Hukum Penetensier ; Jakarta, Sumber Ilmu Jaya,
2002, hal.181).
Ø Doen
pleger atau orang yang membuat orang lain melakukan (pembuat-pelaku) atau pun
orang yang menyuruh orang lain melakukan termasuk juga sebagai pembuat (dader) ialah barangsiapa tidak sendiri
mewujudkan peristiwa (delik), tetapi dengan perantaraan orang lain, sebagai
alat dalam tangannya, jikalau orang lain itu berada dalam keadaan tidak
mengetahui, atau mengalami kekhilafan (error
in fact) tentang keadaan atau pun dalam keadaan daya paksa (overmacht), bertindak tanpa kesengajaan
atau kelalaian atau pun tidak mampu bertanggung jawab.
v Moeljatno (Hukum Pidana. Delik-delik Penyertaan),
Tanpa Penerbit, 1979, hal.50.
Ø “doen plegen” juga disebut “middelijk dadaerschap” yang maksudnya
ialah : apabila seseorang mempunyai kehendak untuk melaksanakan suatu perbuatan
pidana, akan tetapi seseorang yang mempunyai kehendak itu tidak mau
melakukannya sendiri, tetapi mempergunakan orang lain yang disuruh
melakukannya. Pengertian doen plegen
harus memenuhi syarat yang penting bahwa orang yang disuruh itu haruslah
orang-orang yang tidak dapat dipidana.
Ø Adapun
kemungkinan-kemungkinan tidak dipidananya orang yang disuruh, yaitu karena :
1. tidak
mempunyai kesengajaan – kealpaan ataupun kemampuan bertanggung jawab.
2. a. berdasarkan pasal 44 KUHP.
b. dalam keadaan daya paksa – pasal 48 KUHP.
c. berdasarkan pasal 51 ayat (2) KUHP.
d. orang yang disuruh tidak mempunyai
sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik, misalnya pasal 413-437 KUHP.
yang turut serta
melakukan (medepleger)
v MvT (Memorie
van Toelichting), sebagaimana yang dikutip oleh Prof.Mr.Dr.Lit.A.Z.Abidin dan
Prof.Dr.Jur.A.Hamzah (dalam bukunya : Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik –
Percobaan, penyertaan dan Gabungan Delik dan Hukum Penetensier ; Jakarta, Sumber Ilmu Jaya,
2002, hal.181).
Ø Menurut
M.v.T pelaku peserta ialah barangsiapa dengan sengaja untuk melakukan delik
turut kerjasama. Oleh karena itu undang-undang tidak menjelaskan arti medeplegen dan M.v.T tidak menguraikan
lebih lanjut tentang penjelasannya, maka timbullah perbedaan pendapat diantara
para ahli hukum pidana di Nederland.
v Moeljatno, SH, Prof. ; Hukum Pidana Delik-delik
Percobaan – Delik-delik Penyertaan, 1983, hal.111. sebagaimana dikutip oleh Ali
Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum
Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122 : 84.
Ø KUHP
tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana kriteria turut serta itu. Memorie van
Toelichting (MvT) menerangkan bahwa jika peserta-peserta itu langsung turut
serta dalam pelaksanaan perbuatan pidana (rechstreek
deelnemen aan de uitvoering van het feit). Dalam hal ini Mvt tidak
menjelaskan lebih lanjut.
Ø MvT
menerangkan perbedaan antara turut serta dalam pasal 55 KUHP dengan pembantuan
dalam pasal 56 KUHP adalah : Mededader
(orang yang turut sereta melakukan) adalah secara langsung turut serta pada
pelaksanaan perbuatan (rechtstreek
deelnement aan de uitvoering van het feit). Sedangkan medeplictige (pembantu) dalam pelaksanaan perbuatan hanya memberi
bantuan yang sedikit atau banyak berfaedah (min
of meer afdende hulp verleent). Batas tersebut seakan-akan ditentukan menurut
sifat perbuatnnya. MvT tidak menegaskan kriteria turut serta dalam pelaksanaan
perbuatan pidana agar seseorang dapat dikenakan pasal penyertaan.
v R. Soesilo ; KUHP serta komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor,
1976, hal.62 sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak
Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122.
Ø Bahwa
turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan. Sedikitnya harus ada
dua orang yang melakukan (pleger) dan
orang yang turut serta melakukan (medeplegen)
peristiwa pidana itu. Kedua orang itu diminta melakukan perbuatan pelaksanaan
anasir atau elemen dari peristiwa pidana tersebut. Tidak boleh hanya melakukan
perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, karena
jika hanya menolong tidak termasuk medepleger,
tetapi dihukum sebagai membantu melakukan (medeplichtege).
Jadi dikatakan turut serta melakukan perbuatan pidana jika telah melakukan
perbuatan pelaksanaan dan melaksanakan anasir atau elemen dari peristiwa
pidana.
v EY Kanter dan SR Sianturi, SH ; Azas-azas Hukum
Pidana di Indonesia dan Penerapannya. sebagaimana dikutip oleh Ali
Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum
Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122.
Ø Bentuk
pelaku penyertaan harus ditandai dengan tindakan pelaksanaan (uitvoerings handeling). Jika peserta itu
turut dalam tindakan pelaksanaan, maka ia adalah pelaku peserta, tetapi jika
baru tahap persiapan pelaksanaan (voorbereidings
handeling) yang terjadi, maka ia adalah pembantu. Perlu diingat kembali
bahwa adalah sangat sulit untuk mengambil batas yang tegas antara tindakan
pelaksanaan dengan persiapan pelaksanaan.
v Ali Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan
Mahkamah Agung tentang Hukum Pidana, Ikahi, 2000, hal.121.
Ø Van Hamel
berpendapat ; perbuatan medepleger
itu harus merupakan daderschap yang
lengkap dan orang yang medepleger
harus melakukan seluruh perbuatan pelaksanaan. Noyon dan Jonkers
sependapat dengan Van Hamel.
Ø Menurut Simons,
hanya mereka yang melakukan perbuatan yang dapat digolongkan dalam
perbuatan-perbuatan pelaksanaan strafbaar
feit yang mungkin menjadi mededader.
Artinya, dianggap turut serta walaupun tidak memenuhi semua unsur, tetapi harus
memenuhi keadaan pribadi (persoolijke
hoedangheid) pelaku sebagaimana dirumuskan dalam delik. Van Hattum
dan Pompe hampir sependapat dengan Simon.
Ø Lengemeyer
berpendapat ; bahwa peserta memungkinkan melakukan pelaksanaan untuk seluruhnya
maupun untuk sebagian dijadikan medepleger
sekalipun perlu ditambah syarat asal apa yang diperbuat itu adalah penting
untuk perbuatan delik.
v Moeljatno, SH, Prof. ; Hukum Pidana Delik-delik
Percobaan – Delik-delik Penyertaan, 1983, hal.111. sebagaimana dikutip oleh Ali
Boediarto, SH ; Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum
Pidana, Ikahi, 2000, hal.120-122 : 84.
Ø Prof.Moeljatno,
SH
berpendapat ; Setidak-tidaknya mereka semua melakukan unsur perbuatan pidana.
Ini tidak berarti bahwa masing-masing harus melakukan, bahkan yang dilakukan
peserta tergantung pada masing-masing keadaan. Yang pasti adalah adanya kerja
sama yang erat antara mereka ketika melakukan pidana. Kenyataannya, sangat
sulit membedakan turut serta dengan pembantuan. Untuk membedakannya, jika turut
serta, orang yang turut serta mempunyai kerja sama yang erat dalam melakukan
perbuatan pidana. Sedangkan dalam pembantuan, orang yang membantu hanya
melakukan peranan yang tidak penting.
v P.A.F.Lamintang (Dasar-Dasar Untuk Mempelajari
Hukum Pidana Yang berlaku di Indonesia), Bandung
: Sinar Baru, 1984, hal.588.
Ø Oleh
karena itu di dalam bentuk deelneming
ini selalu terdapat seorang pelaku dan seorang atau lebih pelaku yang turut
melakukan tindak pidana yng dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut
sebagai suatu mededaderschap. Dengan
demikian, maka medeplegen itu
disamping merupakan bentuk deelneming,
maka ia juga merupakan suatu bentuk daderschap.
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |