Senin, 25 Agustus 2014

Pasal 406 KUHP, Unsur, Penafsiran dan Penjelasan



KUHP terjemahan Prof. Moeljatno, SH ; Jakarta : Bumi Aksara, 1999.
Bab  XXVII.    Tentang penghancuran atau perusakan barang.

Pasal 406 KUHP

(1)      Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda paling banyak Rp 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).

(2)     Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.       


“ dengan sengaja ”

*  SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya ; Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, hal.675-676).

     *  Bahwa pada dasarnya delik ini adalah delik sengaja, kecuali untuk barang-barang tertentu (tersebut pasal 409) yang digunakan untuk umum. Ini berarti jika kehancuran / kerusakan itu terjadi karena suatu kealpaan, maka penyelesaiannya adalah di bidang hukum Perdata atau di bidang hukum Administrasi.

     *  Kendati unsur sengaja ditempatkan di awal perumusan, rupanya tidak dimaksudkan mencakupi bagian-unsur “melawan hukum” yang untuk itu digunakan kata-sambung “dan”. Dengan perkataan lain tidak dipersyaratkan apakah sipetindak mengetahui atau tidak bahwa tindakannya itu melawan hukum atau tidak. Namun bahwa tindakannya itu bersifat melawan hukum haruslah terbukti. Dengan menggunakan cara penafsiran pembalikan (argumentum a contrario), maka jika kerusakan itu terjadi karena kealpaan, tidak merupakan delik, melainkan diselesaikan secara hukum perdata (atau hukum administrasi). Baca pasal 179, 180, 198 dsb-nya.

*  Brigjen.Pol.Drs.HAK.Moch.Anwar,SH (Hukum Pidana Bagian Khusus – KUHP Buku II Jilid I ; Alumni, 1982, Bandung, cet.ketiga, 1982, hal. 76-77).

     *  Penempatan unsur dengan sengaja dimuka unsur-unsur lain berarti, bahwa unsur-unsur yang terletak dibelakang unsur dengan sengaja diliputi oleh unsur dengan sengaja. Jadi perbuatan-perbuatan didalam unsur-unsur yang terletak dibelakang unsur dengan sengaja harus dilakukan dengan sengaja. 

     *  Pelaku harus melakukan unsur-unsur yang terletak di belakang itu dengan sengaja untuk dapat dipersalahkan melakukan kejahatannya. Tetapi dalam pasal 406 (1) ini ternyata, unsur dengan sengaja dipisahkan dari unsur dengan melawan hukum dengan kata “dan”.

     *  Apabila kata “dan” tidak ada, maka unsur dengan sengaja meliputi seluruh yang ada dibelakangnya atau yang disebut kemudian. Jadi pelaku harus tahu, bahwa penghancuran atau pengrusakan itu dilakukan dengan melawan hukum. Apabila ia tidak tahu, bahwa perusakan atau penghancuran itu adalah melawan hukum, maka ia tidak dapat dihukum. Tetapi diantara 2 unsur itu terdapat kata “dan”, hingga menurut Hoge Raad justru kata “dan” ini memberikan arti bahwa unsur dengan sengaja tidak meliputi unsur dengan melawan hukum. Meskipun pelaku tidak mengetahui bahwa penghancuran atau perusakan itu adalah melawan hukum, maka pelaku tetap dapat dipersalahkan menurut pasal 406 (1). Ini yang disebut dengan “melawan hukum yang obyektif”.

     *  Terhadap pendapat ini banyak tidak menyetujui. Tentang hal ini terdapat juga pendapat lain yang menyatakan bahwa kata “dan” itu tidak mempunyai arti apapun didalam perumusan kejahatan itu, hanya untuk memberi bunyi yang baik pada kalimatnya. Dalam ini pelaku harus mengetahui : 
      bahwa penghancuran dan perusakan dilakukan dengan melawan hukum ;
      bahwa penghancuran atau yang dirusakkan adalah suatu barang ;
      bahwa barang itu seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

*  Prof. Dr. Andi Hamzah, SH (Delik-delik kekerasan dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan ; CV. Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, cet. ke-II, 1999, hal.100).

     *  Kesengajaan di sini meliputi melawan hukum dan menghancurkan, merusakkan, dst itu. 

*  Drs.P.A.F.Lamintang,SH & C.Djisman Samosir,SH (Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, cet. ketiga, 1990, hal.254).

     *  Perkataan dengan sengaja dan secara melawan hukum di dalam kedua ayat dari pasal ini adalah terjemahan dari perkataan opzettelijk en wederrechtelijk. Berkenaan dengan terdapatnya perkataan dan atau en diantara perkataan-perkataan opzettelijk dan wederrechtelijk tersebut terdapat perbedaan faham antara Hoge Raad dan Profesor Mr W.P.J. Pompe di satu fihak dan Profesor Mr D. Simons di lain fihak mengenai persoalan apakah unsur wederrechtelijk itu diliputi oleh opzet atau tidak. Hoge Raad dan Profesor Mr W.P.J. Pompe berpendapat, bahwa karena diantara perkataan-perkataan opzettelijk dan wederrechtelijk itu terdapat perkataan en, maka unsur wederrechtelijk itu tidak diliputi oleh opzet, sehingga orang yang melakukan pengrusakan benda itu tidaklah perlu untuk mengetahui bahwa perbuatannya itu adalah bertentangan hukum. Profesor Mr D. Simons berpendapat, bahwa unsur wederrechtelijk itu diliputi pula oleh opzet, dengan alasan bahwa perkataan en tersebut tidaklah mempunyai maksud tertentu dan hanyalah untuk memenuhi syarat tata bahasa yang baik. Berbeda dengan pengertian benda di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penggelapan dan penipuan, maka yang dapat dijadikan objek dari kejahatana pengrusakan ini bukan saja terbatas pada benda-benda bergerak, melainkan juga meliputi benda-benda yang tidak bergerak.

*  Drs.P.A.F.Lamintang,SH (Delik-Delik Khusus – Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan ; Sinar Baru, Bandung, cet. pertama, 1989, hal.280-281,283-284 dst-nya).

     *  Seperti yang telah diketahui oleh para pembaca, sejak KUHP terbentuk, orang telah mengartikan opzet atau kesengajaan itu sebagai willens en wetens.

     *  Justru karena undang-undang sendiri tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan kata opzet itu maka dunia ilmu pengetahuan hukum pidana telah mengembangkan pengertian opzet itu sehingga diterimanya secara umum, baik dalam praktek peradilan maupun di dalam doktrin tentang adanya tiga bentuk opzet, masing-masing yakni : opzet als oogmerk, opzet bij zekerheidsbewustzijn dan opzet biz mogelijkheidsbewustzijn, dimana bentuk opzet yang terakhir itu di dalam doktrin juga sering disebut sebagai voorwaardelijk opzet atau dolus eventualis.  

     *  Karena kata-kata willens en wetens sebagaimana yang telah penulis katakan di atas itu mempunyai pengertian yang sifatnya umum, maka di dalam doktrin pun orang telah mengembangkan pengertian kata-kata tersebut, sehingga diperoleh suatu ketentuan yang dewasa ini telah diterima secara umum tentang apa yang dapat gewild atau dikehendaki atau dimaksud dan tentang apa yang dapat geweten atau diketahui, yakni bahwa yang dapat gewild atau dikehendaki ataupun dimaksud itu hanyalah perbuatan-perbuatan, sehingga terhadap perbuatan-perbuatan orang dapat mengatakan bahwa orang dapat mempunyai suatu opzet als oogmerk ; sedangkan yang dapat geweten atau diketahui itu ialah keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan-perbuatan, hingga terdapat keadaan-keadaan itu orang dapat mengatakan bahwa orang hanya dapat mempunyai suatu opzet als wetenschap.        

     *  Jika pengertian opzet di atas kita terapkan pada tindak pidana yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP, maka yang dapat dikehendaki itu hanyalah perbuatan-perbuatan ‘menghancurkan’, ‘merusakkan’, ‘membuat sehingga tidak dapat dipakai’ dan ‘menghilangkan’, sedangkan keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan-perbuatan tersebut, seperti : melawan hukum, benda, sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain itu, orang hanya dapat mengetahuinya saja.

     *  Mengingat unsur dengan sengaja itu oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan dengan tegas sebagai unsur subjektif di dalam rumusan pasal 406 ayat (1) KUHP, maka agar hakim dapat menyatakan seseorang terdakwa terbukti memenuhi unsur tersebut, ia harus dapat membuktikan bahwa terdakwa memang menghendaki atau bermaksud untuk melakukan perbuatan-perbuatan ‘menghancurkan’, ‘merusakkan’, ‘membuat sehingga tidak dapat dipakai’ atau ‘menghilangkan’ atau setidak-tidaknya menyadari bahwa perbuatannya itu pasti akan menyebabkan ‘hancurnya’, ‘rusaknya’, ‘tidak dapat dipakainya’ atau ‘hilangnya’ suatu benda (yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain). Kecuali itu hakim juga harus dapat membuktikan bahwa terdakwa memang mengetahui bahwa yang ia hancurkan, rusakkan, buat tidak dapat dipakai atau hilangkan itu ialah sebuah benda dan bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.       

     *  Jika kehendak, maksud, kesadaran atau pengetahuan terdakwa itu ternyata tidak dapat dibuktikan, ataupun salah satu dari kehendak, maksud, kesadaran atau pengetahuan terdakwa itu ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus memberikan putusan bebas bagi terdakwa.       

     *  Mengingat tindak pidana yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP itu merupakan suatu tindak pidana yang ditunjukan terhadap harta kekayaan orang lain, timbullah pertanyaan yakni : apakah hakim juga harus membuktikan tentang adanya maksud pelaku untuk merugikan orang lain ?

ü  Menurut profesor Simons, tidaklah perlu bahwa merugikan orang lain itu harus merupakan tujuan dari apa yang dilakukan oleh pelaku. Dengan menunjuk pada bunyinya arrest Hoge Raad tanggal 21 Mei 1900, W.7461, berkatalah profesor Simons antara lain bahwa : “kesengajaan itu harus dianggap terbukti, jika pelaku mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat menimbulkan kerugian ataupun dapat menduga bahwa kemungkinan besar perbuatannya dapat menimbulkan kerugian”.      

Dari uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa menurut profesor Simons, kata opzettelijk atau dengan sengaja di dalam rumusan pasal 406 ayat (1) KUHP itu tidak perlu harus diartikan semata-mata sebagai opzet als oogmerk saja, melainkan juga dapat diartikan sebagai opzet bij zekerheidsbewustzijn atau opzet biz mogelijkheidsbewustzijn.

ü  Dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggah 15 Mei 1984, W.6514 dan tanggal 7 Januari 1907, W.8485 Hoge Raad, antara lain telah memutuskan bahwa : “Untuk kejahatan ini dipersyaratkan, bahwa pelaku melakukan perbuatannya dengan maksud untuk mendatangkan kerugian yang timbul. Maksud tersebut tidak diisyaratkan dalam pasal 489 KUHP”.

Berdasarkan arrest Hoge Raad tersebut dinyatakan bahwa untuk kejahatan yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP itu diisyaratkan bahwa perbuatan pelaku itu harus dilakukan dengan maksud untuk menimbulkan kerugian bagi orang lain. Menurut Hoge Raad jika maksud seperti itu tidak ada pada pelaku, maka yang ia lakukan itu bukan merupakan tindak pidana seperti yang dimaksud dalam pasal 406 ayat (1) KUHP, melainkan hanya merupakan tindak pidana ‘kenakalan’ atau ‘baldadigheid’ seperti yang dimaksud dalam pasal 489 KUHP.

Catatan oleh Drs. P.A.F. Lamintang, SH :    

Kiranya perlu diketahui oleh para pembaca, bahwa pada akhir abad ke-19 atau pada awal abad ke-20, kata-kata ‘maksud pelaku’ itu ialah Hoge Raad telah diartikan semata-mata sebagai ‘subjectief doel’ atau tujuan subjektif dari pelaku ataupun yang di dalam bahasa Belanda juga sering disebut sebagai ‘oogmerk’ pelaku, sehingga pada waktu itu kata ‘opzet’ hanyalah semata-mata diartikan sebagai ‘opzet als oogmerk’ saja.  

Hal mana dapat dimengerti karena undang-undang sendiri ternyata telah tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan kata ‘opzet’ atau ‘dengan sengaja’, sedang di dalam doktrin pun belum ada pendapat dari para ahli hukum pidana tentang kata atau tentang kata-kata tersebut.    

Seperti yang telah diketahui oleh para pembaca, berkat pendapat-pendapat dari para ahli hukum pidanalah, kepada kata ‘opzet’ atau ‘dengan sengaja’ itu kemudian telah diberikan arti yang lebih luas yakni bukan lagi semata-mata sebagai ‘opzet als oogmerk’ saja, melainkan juga sebagai ‘opzet bij zekerheidsbewustzijn’ dan sebagai ‘opzet bij mogelijkheidsbewustzijn’ ataupun yang lazim juga disebut ‘voorwaardelijk opzet’ atau ‘dolus eventualis’.

ü  Demikian pula arrest Hoge Raad tanggal 1 Mei 1893, W.6344 yang berbunyi antara lain bahwa : “Seorang nakhoda yang telah melemparkan muatan kapalnya ke laut semata-mata dengan maksud untuk dapat berlayar lebih cepat, tidaklah bermaksud untuk mendatangkan kerugian bagi pemilik barang-barang tersebut”

Dari arrest Hoge Raad tersebut di atas, orang dapat mengetahui bahwa Hoge Raad secara konsisten mensyaratkan keharusan adanya maksud pelaku untuk ‘merugikan orang lain’, walaupun ‘maksud untuk merugikan orang lain’ itu bukan merupakan unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP.

ü  Menurut Drs.P.AF.Lamintang,SH : Dengan demikian untuk dapat menyatakan seorang benar telah melanggar larangan yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP itu, dewasa ini hakim tidak perlu lagi membuktikan tentang adanya ‘oogmerk’ atau ‘maksud’ orang tersebut untuk merugikan orang lain, melainkan cukup jika pada waktu melakukan perbuatannya itu ia ‘mempunyai kesadaran’ bahwa perbuatannya ‘secara pasti’  akan mendatangkan kerugian bagi orang lain atau setidak-tidaknya ‘mempunyai kesadaran’ bahwa perbuatannya ‘mungkin’ dapat mendatangkan kerugian bagi orang lain.  

     *  Timbul kini pertanyaan yakni : putusan apakah yang kiranya paling tepat harus diberikan hakim bagi seorang terdakwa yang didakwa telah melanggar larangan yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP, sedangkan terdakwa tersebut ternyata tidak terbukti telah mempunyai maksud untuk ‘merugikan orang lain’ ? Karena ‘maksud untuk merugikan orang lain’ itu bukan merupakan unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP melainkan hanya dianggap sebagai melekat pada tindak pidana tersebut, maka hakim harus memberikan putusan bebas dari tuntutan hukum bagi terdakwa.

     *  Karena dalam arrest-arrest Hoge Raad tersebut di atas telah dikatakan bahwa perbuatan pelaku itu harus dilakukan dengan maksud untuk mendatangkan kerugian yang timbul (bagi orang lain), timbullah pertanyaan : Apakah dengan demikian perbuatan pelaku itu harus dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan diri pelaku sendiri atau orang lain ?  

ü  Menurut Prof. van Bemmelen dan Prof. van Hattum, tindak pidana ini seringkali telah dilakukan bukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri, bahkan keuntungan seperti itu biasanya tidak perlu merupakan akibat dari apa yang dilakukan oleh pelaku.

*  Putusan Hoge Raad 15 Mei 1894, W. 6514 ; 7 Januari 1907, W. 8485 (sebagaimana dikutip oleh Drs.P.A.F.Lamintang,SH & C.Djisman Samosir,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, cet. ketiga, 1990, hal.254).

     *  Untuk kejahatan ini diisyaratkan bahwa perbuatan si pelaku itu mempunyai maksud untuk menimbulkan akibat yang merugikan.

*  Putusan Hoge Raad 1 Mei 1983, W. 6344 (sebagaimana dikutip oleh Drs.P.A.F.Lamintang,SH & C.Djisman Samosir,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, cet. ketiga, 1990, hal.254).

     *  Seorang nakhoda yang telah melemparkan muatannya ke laut dengan maksud untuk dapat berlayar lebih cepat, karena alasan itu semata-mata tidaklah mempunyai maksud untuk merugikan pemilik dari barang-barang tersebut.  

*  Putusan Hoge Raad 3 Desember 1923, N.J. 1924, 188 (sebagaimana dikutip oleh Drs.P.A.F.Lamintang,SH & C.Djisman Samosir,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, cet. ketiga, 1990, hal.254).

     *  Maksud untuk membuat jalan baginya sebagai jalan setapak, tidak menutup kemungkinan tentang adanya maksud si pelaku untuk merusak penutup halaman.  

*  Putusan Hoge Raad 15 Mei 1894 (sebagaimana dikutip oleh R.Soenarto Soerodibroto,SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada ; Ed.5 Cet.10, 2004 ; hal.265).

     *  Untuk kejahatan ini diisyaratkan bahwa pelaku berbuat dengan kesengajaan untuk menimbulkan kerusakan yang diakibatkan perbuatannya.

*  Putusan Hoge Raad 21 Desember 1914 (sebagaimana dikutip oleh R.Soenarto Soerodibroto,SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada ; Ed.5 Cet.10, 2004 ; hal.267).

     *  Perbuatan tertuduh merusak rumah, tidak dapat dituntut karena tertuduh adalah istri dari pemilik rumah tersebut.

     *  Kesengajaan pelaku tidak perlu ditujukan terhadap melawan hukumnya perbuatan. Adalah cukup bahwa perbuatannya dilakukan dengan sengaja dan bahwa perbuatan itu adalah melawan hukum.

     *  Kata penghubung “dan” menempatkan pengertian “sengaja” dan “melawan hukum” sejajar. Kata melawan hukum tidak dikuasai oleh kata sengaja.

*  Putusan Hoge Raad 1 Mei 1893 (sebagaimana dikutip oleh R.Soenarto Soerodibroto,SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada ; Ed.5 Cet.10, 2004 ; hal.265).

     *  Seorang nakhoda kapal yang melempar kedalam laut barang-barang dari muatannya agar supaya kapalnya dapat lepas, tidak karena hanya itu saja, mempunyai kesengajaan untuk menimbulkan kerugian terhadap pemilik barang.

*  Putusan Hoge Raad 3 Desember 1923 (sebagaimana dikutip oleh R.Soenarto Soerodibroto,SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada ; Ed.5 Cet.10, 2004 ; hal.265).

     *  Tujuan untuk dapat masuk suatu jalan kecil, tidak meniadakan kesengajaan agar untuk mencapai maksud tersebut, merusak pagar jalan kecil itu.

“ melawan hukum ”

*  SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya ; Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, hal.676)

     *  Kendati unsur sengaja ditempatkan di awal perumusan, rupanya tidak dimaksudkan mencakupi bagian-unsur “melawan hukum” yang untuk itu digunakan kata-sambung “dan”. Dengan perkataan lain tidak dipersyaratkan apakah sipetindak mengetahui atau tidak bahwa tindakannya itu melawan hukum atau tidak. Namun bahwa tindakannya itu bersifat melawan hukum haruslah terbukti. Dengan menggunakan cara penafsiran pembalikan (argumentum a contrario), maka jika kerusakan itu terjadi karena kealpaan, tidak merupakan delik, melainkan diselesaikan secara hukum perdata (atau hukum administrasi). Baca pasal 179, 180, 198 dsb-nya.

*  Brigjen.Pol.Drs.HAK.Moch.Anwar,SH (Hukum Pidana Bagian Khusus – KUHP Buku II Jilid I ; Alumni, 1982, Bandung, cet.ketiga, 1982, hal. 76-77)

     *  Apabila kata “dan” tidak ada, maka unsur dengan sengaja meliputi seluruh yang ada dibelakangnya atau yang disebut kemudian. Jadi pelaku harus tahu, bahwa penghancuran atau pengrusakan itu dilakukan dengan melawan hukum. Apabila ia tidak tahu, bahwa perusakan atau penghancuran itu adalah melawan hukum, maka ia tidak dapat dihukum. Tetapi diantara 2 unsur itu terdapat kata “dan”, hingga menurut Hoge Raad justru kata “dan” ini memberikan arti bahwa unsur dengan sengaja tidak meliputi unsur dengan melawan hukum. Meskipun pelaku tidak mengetahui bahwa penghancuran atau perusakan itu adalah melawan hukum, maka pelaku tetap dapat dipersalahkan menurut pasal 406 (1). Ini yang disebut dengan “melawan hukum yang obyektif”.

     *  Terhadap pendapat ini banyak tidak menyetujui. Tentang hal ini terdapat juga pendapat lain yang menyatakan bahwa kata “dan” itu tidak mempunyai arti apapun didalam perumusan kejahatan itu, hanya untuk memberi bunyi yang baik pada kalimatnya. Dalam ini pelaku harus mengetahui : 
      bahwa penghancuran dan perusakan dilakukan dengan melawan hukum ;
      bahwa penghancuran atau yang dirusakkan adalah suatu barang ;
      bahwa barang itu seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

*  Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH (Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia ; PT.Eresco, Jakarta-Bandung, cet. ke-III, 1980, hal.60)

     *  Oleh karena kata sengaja terpisah dari kata-kata melanggar hukum, maka si pelaku tidak perlu tahu, bahwa ia melanggar hukum dengan perbuatannya. Tetapi ia harus tahu, bahwa barang itu kepunyaan orang lain, seluruhnya atau sebagian. Apabila misalnya ia mengira, bahwa ia sudah mendapat idzin dari pemilik barang untuk berbuat, tetapi sebenarnya idzin itu tidak ada, maka ia tetap bersalah.

*  Prof. Dr. Andi Hamzah, SH (Delik-delik kekerasan dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan ; CV. Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, cet. ke-II, 1999, hal.100).

     *  Dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Maret 1958, Reg.263/Kr/K/1957, dikatakan bahwa perbuatan mencabuti tanaman padi di sawah kepunyaan orang lain, dengan alasan dia tidak tahu kalau perbuatannya itu melawan hukum karena status dalam sengketa, dipidana berdasarkan pasal ini. 

*  Drs.P.A.F.Lamintang,SH (Delik-Delik Khusus – Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan ; Sinar Baru, Bandung, cet. pertama, 1989, hal.285 s/d 295).

     *  Seperti yang telah diketahui, bahwa di dalam Memorie van Toelichting telah dijelaskan yakni bahwa apabila di dalam suatu rumusan tindak pidana itu terdapat kata opzettelijk atau ‘dengan sengaja’, maka kata tersebut menguasai atau meliputi semua unsur yang terdapat dibelakangnya. Mengingat unsur wederrechtelijk itu di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP terdapat dibelakang kata ‘dengan sengaja’, timbullah pertanyaan yakni : Apakah unsur wederrechtelijk atau ‘secara melawan hukum’ itu juga diliputi oleh unsur ‘dengan sengaja’, sehingga untuk dapat menyatakan seorang terdakwa terbukti memenuhi unsur ‘secara melawan hukum’ itu, hakim juga harus membuktikan bahwa bahwa terdakwa memang mengetahui bahwa yang ia lakukan itu bersifat melawan hukum ?     

ü  Menurut hemat penulis (Drs.P.A.F.Lamintang,SH), karena undang-undang pidana yang berlaku itu tidak mengenal apa yang disebut dollus malus ataupun yang didalam doktrin juga sering disebut boos opzet, maka untuk dapat menyatakan seorang terdakwa terbukti memenuhi unsur ‘secara melawan hukum’ yang terdapat didalam rumusan pasal 406 ayat (1) KUHP, hakim tidak perlu membuktikan tentang adanya pengetahuan terdakwa, bahwa perbuatan yang ia lakukan itu bersifat melawan hukum, melainkan cukup jika menurut penilaian hakim, perbuatannya itu memang bersifat demikian.      

Dicantumkannya kata-kata ‘secara melawan hukum’ didalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP itu ialah dengan maksud agar perbuatan mereka yang ‘berdasarkan sesuatu hak’ dengan sengaja menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai atau menghilangkan suatu benda yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, jangan sampai termasuk didalam pengertian tindak pidana yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP. Beberapa contoh dari perbuatan-perbuatan seperti itu ialah :
a.  perbuatan seorang kontraktor bangunan menghancurkan sebuah gedung berdasarkan suatu perjanjian kerja dengan pemiliknya karena di tempat gedung tersebut berada, akan dibangu8n sebuah gedung yang baru ;
b. perbuatan seorang montir mobil menghapus cat sebuah mobil atas permintaan pemiliknya untuk diganti dengan cat yang baru ;
c. perbuatan seorang nakhoda melemparkan hasil industri atau hasil pertanian kedalam laut atas perintah pemiliknya yakni untuk mempertahankan harga dan lain-lain.

ü  Tanpa menyebutkan alasannya, Prof. Simons mengatakan antara lain bahwa : “…….. pelaku tidak perlu mengetahui tentang sifatnya yang melawan hukum dari apa yang ia lakukan”.

ü  Dengan menunjuk pada arrest Hoge Raad tanggal 21 Desember 1914, NJ.1915 halaman 376, W.9756, Prof. van Bemmelen dan Prof. van Hattum mengatakan antara lain bahwa : “Dipakainya kata sambung ‘dan’ antara kata ‘dengan sengaja’ dengan kata ‘secara melawan hukum’ itu mempunyai akibat yakni bahwa ‘kesengajaan’ itu tidak perlu ditujukan pada sifatnya yang melawan hukum”.

ü  Arrest Hoge Raad tanggal 21 Desember 1914, NJ.1915 halaman 376, W.9756, sebagaimana yang dimaksudkan di atas itu sendiri berbunyi antara lain sebagai berikut : “Kesengajaan pelaku itu tidak perlu ditujukan pada sifatnya yang melawan hukum. Cukup kiranya jika perbuatannya itu telah dilakukan dengan sengaja dan sifatnya melawan hukum. Kata sambung ‘dan’ membuat unsur ‘dengan sengaja’ dan unsur ‘secara melawan hukum’ berdiri secara berdampingan antara yang satu dengan yang lain, dimana unsur yang disebutkan terakhir itu tidak diliputi oleh unsur yang disebutkan terlebih dahulu”.

ü  Suatu hal yang sangat menarik, yang mungkin bermanfaat bagi para hakim dalam memutuskan suatu perkara ialah ajaran Prof. van Hamel yang mengatakan :

a.   Apabila didalam suatu rumusan tindak pidana itu kata ‘dengan sengaja’ dan kata ‘secara melawan hukum’ disatukan sehingga berbunyi ‘dengan sengaja secara melawan hukum’ atau opzettelijk wederrechtelijk, maka apabila terdakwa mempunyai suatu dwaling atau suatu ‘kesalahpahaman’ tentang ‘sifatnya yang melawan hukum’ dari apa yang ia lakukan, orang harus memandang ‘opzet terdakwa’ sebagai tidak terbukti telah ditujukan pada sifatnya yang melawan hukum dari apa yang ia lakukan ;

b.   Apabila didalam suatu rumusan tindak pidana kata ‘dengan sengaja’ itu ternyata dipisahkan dari kata ‘secara melawan hukum’ oleh sebuah kata sambung ‘dan’, maka dwaling atau ‘kesalahpahaman’ tentang ‘sifatnya yang melawan hukum’ dari apa yang dilakukan oleh terdakwa tidaklah mempunyai pengaruh apa-apa bagi ‘opzet terdakwa’ terhadap sifatnya yang melawan hukum dari perbuatannya.

     *  Seandainya para pembaca yang menjabat sebagai hakim ingin mengikuti ajaran Prof. van Hamel di atas, putusan apakah yang harus diberikan bagi terdakwa yang ternyata mempunyai dwaling tentang ‘sifatnya yang melawan hukum’ dari apa yang ia lakukan, sedang terdakwa tersebut oleh jaksa telah dituntut karena melanggar suatu ketentuan pidana, yang didalam rumusannya memakai kata-kata opzettelijk wederrechtelijk atau ‘dengan sengaja secara melawan hukum’  ? Karena menurut Prof. van Hamel dalam hal yang demikian, ‘opzet terdakwa’ atau tegasnya ‘pengetahuan terdakwa’ terhadap ‘sifatnya yang melawan hukum’ dari perbuatannya harus dipandang sebagai tidak terbukti, sedangkan opzet atau ‘kesengajaan’  tersebut oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan dengan tegas sebagai salah satu unsur dari tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa, maka hakim harus memberikan putusan bebas bagi terdakwa.   

     *  Bagaimana jika pelaku mengira bahwa yang ia lakukan itu tidak bersifat melawan hukum, padahal menurut penilaian hakim perbuatan pelaku itu benar-benar bersifat melawan hukum, apakah kita dapat menerima ajaran Prof. van Hamel yakni untuk menganggap seolah-olah ‘kesengajaan’ pelaku itu sebagai tidak terbukti telah ditujukan pada sifatnya yang ‘melawan hukum’ dari apa yang dilakukan oleh pelaku ? Contohnya : Seseorang telah dengan sengaja merusak sebuah rumah kepunyaan orang lain, yang tanpa seizinya telah dibangun di atas tanahnya, karena orang tersebut ‘mengira’ bahwa perbuatannya itu tidak bersifat melawan hukum ataupun telah ia lakukan justru untuk mempertahankan hak miliknya. Haruskah kita memandang ‘kesengajaan’ pelaku sebagai tidak terbukti ditujukan pada sifatnya yang ‘melawan hukum’ dari perbuatannya merusak rumah orang lain, sehingga ia harus dibebaskan dari pemidanaan ?        

ü  Tentang peristiwa seperti yang dimaksudkan di atas itu, kiranya penting untuk diketahui yakni adanya putusan kasasi Mahkamah Agung RI dalam peristiwa sejenis, yakni putusan kasasi tanggal 15 Maret 1958 No.24 K/Kr/1958 yang berbunyi antara lain bahwa : “Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi bahwa para penuntut kasasi merusak rumah saksi karena rumah itu didirikan di atas tanah mereka tanpa izin mereka, sehingga apa yang mereka lakukan itu adalah justru untuk mempertahankan hak milik tidaklah dapat diterima, karena dalam hal ini seharusnya para penuntut kasasi mengajukan persoalannya kepada alat-alat negara yang berwenang dan tidak merusak sendiri rumah tersebut, sehingga perbuatan mereka itu merupakana kejahatan, seperti yang dimaksudkan dalam pasal 406 KUHP”.

ü  Drs.P.A.F.Lamintang, SH : Walaupun tidak dinyatakannya dengan tegas oleh Mahkamah Agung RI, akan tetapi dari putusan kasasi tersebut di atas orang dapat mengetahui, bahwa ‘ketidaktahuan’ terdakwa tentang sifatnya yang ‘melawan hukum’ dari perbuatannya merusak rumah orang lain itu, bukan merupakan halangan bagi hakim untuk menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP. 
*  Putusan Mahkamah Agung RI No.263 K/Kr/1957 tanggal 1-3-1958 (sebagaimana dikutip oleh K. Wantjik Saleh, SH dalam bukunya : Intisari Yurisprudensi Pidana dan Perdata ; Jakarta : PT. Ichtiar Baru – Vanhoeve ; 1973 ; hal.25).

     *  Kesilafan perihal hukum tidak mengakibatkan menghilangkan pertanggungan jawab kepidanaan dari terdakwa. 

*  Putusan Mahkamah Agung RI No.95 K/Kr/1973 tanggal 19-11-1977 (sebagaimana dikutip oleh R.Soenarto Soerodibroto,SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada ; Ed.5 Cet.10, 2004 ; hal.264-265).

     *  Perbuatan tertuntut kasasi membongkar rumah/bangunan yang disewanya tanpa izin dari pemiliknya, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena tertuntut kasasi sebagai warga kota telah memenuhi instruksi Walikota Surabaya dengan membangun kembali rumah tersebut, walaupun didalam perintah ini tidak terdapat hubungan jenjang jabatan antara atasan dan bawahan sebagaimana termaksud dalam pasal 51 KUHP, melainkan terdapat hubungan hukum publik antara tertuntut kasasi dengan walikota.    

*  Putusan Mahkamah Agung RI No.24 K/Kr/1958 tanggal 15-3-1958 (sebagaimana dikutip oleh R.Soenarto Soerodibroto,SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada ; Ed.5 Cet.10, 2004 ; hal.265).

     *  Bahwa para tertuduh merusak rumah saksi karena rumah itu didirikan di atas tanah mereka tanpa izin mereka sehingga yang mereka lakukan itu adalah justru mempertahankan hak milik, tidak dapat dibenarkan karena dalam hal ini seharusnya para tertuduh mengajukan persoalannya kepada alat-alat negara yang berwenang dan tidak merusak sendiri rumah itu, sehingga perbuatan mereka merupakan kejahatan termaksud dalam pasal 406 KUHP.   

*  Putusan Hoge Raad 21 Desember 1914 (sebagaimana dikutip oleh R.Soenarto Soerodibroto,SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada ; Ed.5 Cet.10, 2004 ; hal.267).

     *  Perbuatan tertuduh merusak rumah, tidak dapat dituntut karena tertuduh adalah istri dari pemilik rumah tersebut.

     *  Kesengajaan pelaku tidak perlu ditujukan terhadap melawan hukumnya perbuatan. Adalah cukup bahwa perbuatannya dilakukan dengan sengaja dan bahwa perbuatan itu adalah melawan hukum.

     *  Kata penghubung “dan” menempatkan pengertian “sengaja” dan “melawan hukum” sejajar. Kata melawan hukum tidak dikuasai oleh kata sengaja.

“ menghancurkan, merusakkan,
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan ”

*  SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya ; Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, hal.676-677,174.

     *  Yang dimaksud dengan menghancurkan adalah membuatnya sama sekali binasa atau musnah, rusak berantakan dan bahkan sudah tidak berwujud lagi ibarat sepeda digilas stoomwals (kendaraan penggilas jalan).    
     *  Yang dimaksud dengan merusak adalah membuat sebagian dari benda itu rusak yang mengakibatkan keseluruhan benda itu tidak dapat dipakai. Biaya perbaikannya akan lebih berat dari pada jika benda itu dibuat tidak terpakai.    

     *  Yang dimaksud dengan membuat tidak dapat dipakai adalah merusak sebagian kecil atau hanya mencopot sebagian kecil dari benda itu, tetapi mengakibatkan benda itu tidak dapat berfungsi secara normal atau tidak berfungsi.

     *  Yang dimaksud dengan menghilangkan adalah membuat barang itu sama sekali tidak ada lagi bukan karena dimusnahkan / dibakar dan lain sebagainya. Dengan perkata lain jika yang menghilangkan itu disuruh mengembalikan, sudah tidak mungkin karena memang sudah tidak ada lagi.    

     *  Selanjutnya perhatikan pula beberapa delik lainnya dimana diatur secara tersendiri atau tersirat tentang  “penghancuran atau perusakan” suatu barang atau binatang, seperti misalnya:
  Pasal 302 : melukai binatang
   Pasal 472 : merusak muatan, perbekalan atau barang-barang kebutuhan di kapal ; dalam hal ini perhatikan juga adanya kemungkinan “force mayeur”.
   Pasal 179 : merusak kuburan.  
   Pasal 417 : merusak barang-barang bukti.  
   pasal-pasal lainnya seperti : 170, 187 s/d 203, 219, 233, 234, 382, 408 s/d 412, 432, 433, 479a dst-nya.  

*  Brigjen.Pol.Drs.HAK.Moch.Anwar,SH (Hukum Pidana Bagian Khusus – KUHP Buku II Jilid I ; Alumni, 1982, Bandung, cet.ketiga, 1982, Hal. 75-76).

     *  menghancurkan adalah perbuatan merusak pada sesuatu benda sedemikian rupa, hingga benda itu tidak dapat diperbaiki lagi. Hancur adalah sama sekali rusak. Misalnya memukul dengan palu, membanting.    

     *  merusakkan adalah suatu perbuatan terhadap sesuatu benda yang tidak menimbulkan akibat yang tidak berat pada benda itu, hanya sebagian dari pada benda itu yang dirusak. Benda masih dapat dipergunakan. Antara menghancurkan dan merusakkan terdapat perbedaan yang graduil saja. 

     *  membuat tidak dapat dipakai adalah perbuatan yang dilakukan terhadap benda, sehingga benda itu tidak dapat dipakai lagi untuk maksud semula. Contoh : sebuah buku yang telah disobek-sobek tidak dapat dipergunakan sebagai buku yang dapat dibaca sebagaimana dibuat untuk keperluan itu. Tetapi meskipun sudah sobek-sobek, masih dapat dijual pada tukang loak atau kertasnya dapat dipergunakan untuk kertas pembungkus.    

     *  menghilangkan adalah perbuatan yang dapat menimbukan akibat, bahwa benda itu, tanpa dirusak atau tanpa dibuat sehingga tak dapat dipergunakan lagi, tidak ada lagi atau tidak dapat ditampilkan lagi. Misalnya : melepas burung, dibakar, dimakan, melemparkan barang di kali atau di laut.    

*  Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH (Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia ; PT.Eresco, Jakarta-Bandung, cet. ke-III, 1980, hal.60)

     *  Sebagai contoh dari menghilangkan dalam pembicaraan di Parlement Belanda disebut melepaskan burung ke angkasa.    

     *  Melemparkan dalam sungai suatu barang, yang kemudian dapat dilkeluarkan lagi oleh lain orang, pernah diputus oleh suatu Pengadilan di Negeri Belanda sebagai tidak merupakan menghilangkan barang. Saya meragukan kebenaran putusan ini, terutama jika barangnya baru beberapa hari kemudian dapat dikeluarkan dari sungai. Barang itu sementara sudah dapat dibilang hilang. Tidak wajar, apabila adanya suatu tindak pidana digantungkan pada hal yang baru kemudian mungkin akan terjadi. Maka sekiranya istilah menghilangkan dapat ditafsirkan sebagai membuat barang tidak kelihatan tanpa kepastian, bahwa barang itu akan muncul lagi.       

*  Prof. Dr. Andi Hamzah, SH (Delik-delik kekerasan dan Delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan ; CV. Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, cet. ke-II, 1999, hal.100).

     *  Perbuatan merusak rumah milik orang lain yang didirikan di atas tanah milik terdakwa, merupakan delik merusak barang orang lain berdasar pasal 406. Jika terdakwa merasa tanah itu miliknya dan orang membangun di atas tanahnya, seharusnya terdakwa melaporkan kepada alat-alat negara yang berwenang mengambil tindakan, tidak boleh terdakwa merusak sendiri, demikian putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Maret 1958, Reg. No.24/Kr/K/1957. Jadi tidak dibenarkan orang main hakim sendiri.  

*  R. Soesilo (KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal ; Politea Bogor, Tahun 1996, hal.279).

     *  membinasakan = menghancurkan (vernielen) atau merusak sama sekali, misalnya membanting gelas, cangkir, tempat bunga, sehingga hancur.     

     *  merusakkan = kurang dari pada membinasakan (beschadigen), misalnya memukul gelas, piring, cangkir, dsb-nya tidak sampai hancur, akan tetapi hanya pecah sedikit retak atau hanya putus pegangannya.  

     *  membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi = disini tindakan itu harus demikian rupa, sehingga barang itu tidak dapat diperbaiki lagi. Melepaskan roda kendaraan dengan mengulir sekrupnya, belum berarti membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, karena dengan jalan memasang kembali roda itu masih dapat dipakai.      

     *  menghilangkan = membuat sehingga barang itu tidak ada lagi, misalnya dibakar sampai habis, dibuang dikali atau laut sehingga hilang.    

*  Drs.P.A.F.Lamintang,SH (Delik-Delik Khusus – Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan ; Sinar Baru, Bandung, cet. pertama, 1989, hal.295 s/d 297).

     *  Merusakkan. Didalam yurispudensi terdapat sebuah arrest Hoge Raad yang berhasil penulis catat yakni arrest Hoge Raad tanggal 3 Desember 1923, NJ 1924 halaman 188 yang antara lain telah memutuskan bahwa : “Maksud untuk membuat jalan masuk baginya sebagai jalan setapak, tidak menutup kemungkinan adanya maksud pelaku untuk merusak penutup halaman orang lain”.

Dari arrest Hoge Raad di atas orang dapat mengetahui bahwa walaupun untuk dapat menyatakan terdakwa terbukti memenuhi unsur opzet yang ditujukan pada perbuatan ‘merusak’ itu seharusnya hakim membuktikan tentang adanya ‘maksud’ atau ‘kehendak’ terdakwa untuk melakukan perbuatan merusak, akan tetapi karena terdakwa ternyata telah menyangkal hal tersebut dan mengatakan bahwa maksudnya hanyalah “untuk mengusahakan jalan masuk baginya sebagai jalan setapak’’, maka dari kenyataan tersebut hakim telah menarik kesimpulannya sendiri, bahwa maksudnya itu sebenarnya tidak menutup kemungkinan tentang adanya maksud pelaku untuk melakukan pengrusakan.     

     *  Membuat sehingga tidak dapat dipakai. Didalam yurispudensi, penulis tidak berhasil menemukan satu pun arrest Hoge Raad atau ptusan kasasi Mahkamah Agung RI yang berkenaan dengan perbuatan ’membuat sehingga tidak dapat dipakai’, akan tetapi dari sejarah terbentuknya pasal ini, orang dapat mengetahui bahwa yang dimaksudkan dengan ‘membuat sehingga tidak dapat dipakai’ itu ialah ‘membuat sehingga tidak dapat dipakai sesuai dengan kegunaannya’.
     *  Menghilangkan. Menurut Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 4 April 1921, NJ.1921 halaman 648, W.10749 : “Kata ‘menghilangkan’ itu harus diartikan secara luas. Termasuk dalam pengertiannya yakni ‘mengambil’, dimana benda yang diambil itu tidak perlu menjadi tidak bertuan atau menjadi tidak dapat ditemukan kembali”.

Suatu arrest Hoge Raad tentang perbuatan ‘menghilangkan’ yang patut untuk diketahui oleh para pembaca ialah arrest Hoge Raad tanggal 1 Mei 1893, W.6344 yang berbunyi antara lain bahwa : “Seorang nakhoda yang telah melemparkan muatan kapalnya ke laut semata-mata dengan maksud untuk dapat berlayar lebih cepat, tidaklah bermaksud untuk mendatangkan kerugian bagi pemilik barang-barang tersebut”.

*  Putusan Mahkamah Agung RI No.136 K/Pid/1986 tanggal 31-10-1987 (sebagaimana dikutip oleh Ali Boediarto, SH dalam bukunya : Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang Hukum Pidana ; Jakarta, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2000, Hal.08).

     *  Bahwa mengenai dakwaan ex pasal 406 KUHP, Mahkamah Agung berpendirian bahwa dakwaan subsidair inipun juga tidak dapat dibuktikan dalam persidangan, karena fakta yang terbukti adalah bahwa gembok pintu yang terkunci itu telah dibuka dengan alat obeng, sehingga bila sekrupnya dipasang lagi keadaan gembok akan kembali baik seperti semula. Dengan adanya fakta ini maka unsur ex pasal 406 KUHP – berupa : “membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi”, tidak terbukti dalam kasus ini. 

*  Putusan Mahkamah Agung No.24 K/Kr/1958 tanggal 15 Maret 1958 (sebagaimana dikutip oleh Drs.P.A.F.Lamintang,SH & C.Djisman Samosir,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, cet. ketiga, 1990, hal.255).

     *  Keberatan yang diajukan dalam memori kasasi, bahwa para penuntut kasasi merusak rumah saksi karena rumah itu didirikan di atas tanah mereka tanpa izin mereka sehingga apa yang mereka lakukan itu adalah justru mempertahankan hak milik, tidaklah dapat diterima, karena didalam hal ini seharusnya para penuntut kasasi mengajukan persoalannya kepada alat-alat negara yang berwenang dan tidak merusak sendiri rumah tersebut, sehingga perbuatan mereka itu merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan didalam pasal 406 KUHP. 

*  Putusan Hoge Raad 4 April 1921, N.J. 1921, 648, W. 10749 (sebagaimana dikutip oleh Drs.P.A.F.Lamintang,SH & C.Djisman Samosir,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, cet. ketiga, 1990, hal.254).

     *  Unsur menghilangkan di dalam pasal ini haruslah ditafsirkan secara luas sehingga termasuk pula ke dalam pengertiannya yaitu perbuatan mengambil, sedang barang itu sendiri tidaklah perlu menjadi tidak ada pemiliknya atau menjadi tidak dapat ditemukan kembali.    

*  Putusan Hoge Raad 18 Mei 1936, 1936 No.776 (sebagaimana dikutip oleh Drs.P.A.F.Lamintang,SH & C.Djisman Samosir,SH dalam bukunya : Hukum Pidana Indonesia ; Sinar Baru, Bandung, cet. ketiga, 1990, hal.254).

     *  Seorang penjaga sepeda yang telah memberikan sebuah sepeda kepada seorang pemungut sampah telah melakukan penggelapan dan ia tidaklah melakukan perbuatan menghilangkan sebagaimana yang dimaksudkan didalam pasal 406 KUHP.    

*  Putusan Hoge Raad 4 April 1921 (KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; R.Soenarto Soerodibroto,SH ; Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada ; Ed.5 Cet.10, 2004 ; Hal.265).

     *  “Menghilangkan” harus diartikan secara luas, termasuk didalamnya “mengambil”. Barang itu perlu hilang atau tidak diketemukan lagi.

*  Putusan Hoge Raad 18 Mei 1936 (sebagaimana dikutip oleh R.Soenarto Soerodibroto,SH dalam bukunya : KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada ; Ed.5 Cet.10, 2004 ; hal.266).

     *  Seorang penjaga sepeda yang menyerahkan sepeda orang lain kepada seorang tukang pengangkut sampah, melakukan penggelapan. Dalam hal ini tidak ada “menghilangkan” dalam arti pasal ini.

“ barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain ”

*  SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya ; Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, hal.677,174).

     *  Baik barang maupun binatang tersebut seluruhnya atau sebagian haruslah kepunyaan seseorang. Ini berarti bahwa sebagian adalah kepunyaan sipelaku itu sendiri.    

*  Brigjen.Pol.Drs.HAK.Moch.Anwar,SH (Hukum Pidana Bagian Khusus – KUHP Buku II Jilid I ; Alumni, 1982, Bandung, cet.ketiga, 1982, hal. 76).

     *  Obyek dari kejahatan ini adalah barang yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain. Kejahatan ini dapat dilakukan terhadap barang bergerak dan juga terhadap barang yang tidak bergerak. Sedangkan obyek dari pencurian, penggelapan dan penipuan hanya merupakan barang yang bergerak. Rumah dan tanah dapat menjadi objek dari penghancuran atau pengrusakan, tetapi tidak dapat menjadi objek pencurian.

*  Drs.P.A.F.Lamintang,SH (Delik-Delik Khusus – Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan ; Sinar Baru, Bandung, cet. pertama, 1989, hal.297).

     *  Menurut Prof. Simons (dalam bukunya : Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, P. Noordhoff N.V., Groningen – Batavia, 1941, hal.121), harus pula dimasukkan kedalam pengertian ‘benda’ tersebut ialah ‘benda-benda yang tidak bergerak’ atau onroerende goederen.

*  R. Soesilo (KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal ; Politea Bogor, Tahun 1996, hal.279).

     *  barang = barang yang terangkat, maupun barang yang tidak terangkat ; binatang tidak masuk disini, karena pada alinea dua ada ketentuannya sendiri mengenai binatang.    

*  R. Soesilo (Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus ; Politea Bogor, Tahun 1894, hal.142).

     *  Barang dalam pasal ini artinya sedikit lain dari pada barang dalam hal pencurian. Di sini barang tidak meliputi binatang, karena dalam ayat (2) dari pasal 406 KUHP itu binatang disebutkan sendiri. Juga tidak hanya meliputi barang-barang yang bergerak saja (roerende goederen), tetapi juga mengenai barang yang tetap (onroerende goederen).

     *  Peristiwa-peristiwa merusak barang orang lain, misalnya :

1.   A marah pada B kemudian untuk melepaskan amarah itu ia memecah-mecah cangkir, piring dan sebagainya milik B.
2.   A marah pada B, untuk melepaskan marahnya itu ia memotongi dan merusak tanaman B, sehingga mat.

3.   A marah pada B, kemudian membunuh atau melukai kuda B.

2 komentar:

  1. Bapak mohon informasinya, kalau seseorang yg tidak berhak diatas tanah kaum atau tanah ulayat yg berlaku diminang kabau, contohnya tanah kaum telah digadaikan oleh orang sumando ,tampa sepengetahuan dari kaum yg berhak atas tanah tersebut

    BalasHapus
  2. PROMO WOW..... ANAPoker

    + Bonus Extra 10% (New Member)
    + Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
    + Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
    + Bonus 20.000 (ALL Members)
    BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
    POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10

    BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON

    Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
    - Minimal Deposit Yang terjangakau
    - WD tanpa Batas

    Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
    WhatsApp | 0852-2255-5128 |

    BalasHapus