perbuatan
persiapan
(voorbereidingshandeling)
&
perbuatan
pelaksanaan
(uitvoeringshandeling)
v
A. Ridwan
Halim, SH ; Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta,
cet.ke-2, 1983, hal.97-98
Ø Bahwa untuk menentukan
perbuatan manakah yang dapat dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan suatu percobaan kejahatan, dalam hal ini ada
2 (dua) ajaran yang dapat dijadikan pedoman, yakni :
1. Ajaran Percobaan Subjektif / Teori Poging
Subjektif, yang dipelopori oleh Van Hamel
ü Harus dilihat apakah perbuatan
seseorang itu sejalan dengan dengan niatnya atau tidak. Kalau perbuatan itu
sejalan dengan niat atau kehendaknya, maka perbuatan inilah yang dimaksud
dengan perbuatan pelaksanaan suatu
percobaan.
Contoh : A
ingin mencuri sepeda di toko B. Menurut ajaran ini, berangkatnya A ke toko B
saja sudah dapat dianggap sebagai perbuatan
pelaksanaan niat jahatnya.
2. Ajaran Percobaan Objektif / Teori Poging
Objektif, yang dipelopori oleh Van Hamel
ü Harus dilihat apakah perbuatan
seseorang itu mengakibatkan hl yang dilarang oleh undang-undang atau tidak.
Kalau sudah mengakibatkan hal yang dilarang undang-undang, maka perbuatan
tersebut barulah dapat dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan.
Contoh : A
ingin mencuri sepeda di Toko B yang sedang tutup. Menurut ajaran ini,
berangkatnya A ke toko B, belum menyebabkan timbulnya akibat yang dilarang
undang-undang, sehingga hal ini belum dapt dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan. Yang baru dapat
dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan ialah perbuatan B sesaat ia mulai
merusak pintu atau jendela toko itu untuk mencari jalan masuk ke dalam.
ü Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah
dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik.
Contoh : A
bermaksud melakukan pencurian di rumah B. Untuk melaksanakan maksudnya itu, A
telah mempersiapkan segala sesuatu peralatan untuk untuk mencuri, kemudian pada
malam hari ia mendatangi rumah B. Sesampai di rumah B, ia mematikan lampu
teras, melepaskan kaca jendela dan baru saja A masuk rumah lewat jendela itu ia
tertangkap.
ü Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah
dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan
akibat yang dilarang oleh Undang-undang tanpa memerlukan perbuatan lain.
Contoh : A
bermaksud membunuh B dengan meledakkan mobil yang dikendarainya dengan dinamit
disuatu tempat yang dilalaui B. A telah mempersiapkan dinamit dan segala
peralatan yang diperlukan dengan rapi dan menunggu disamping schakelar sampai B
lewat di tempat itu. Apabil pada saat menunggu itu, gerak-gerik A dicurigai dan
akhirnya ditangkap, maka menurut Simons (Aliran Obyektif), perbuatan A belum
merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi baru perbuatan persiapan, karena untuk
meledakkan dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu mengontakkan/menekan
schakelarnya.
Ø Bahwa untuk memilih ajaran
manakah diantara kedua ajaran tersebut di atas yang sebaiknya diterapkan dalam
pemecahan suatu kasus, pada garis besarnya dapat digunakan pedoman sebagai
berikut :
§ Kalau delik yang ada pada kasus
itu adalah delik formil (delik yang perbuatannya dilarang oleh
undang-undang), maka sebaiknya pakailah Ajaran Percobaan Objektif / Teori
Poging Objektif.
§ Kalau delik yang ada pada kasus
itu adalah delik materiil (delik yang akibatnya dilarang oleh undang-undang),
maka sebaiknya dipakai Ajaran Percobaan Subjektif / Teori Poging Subjektif.
v Prof. Moeljatno, SH ; Hukum Pidana
Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, Bina Aksara, November 1983, hal.27
dst-nya
Ø …….. maka dalam menentukan
adanya permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan, ada 2 faktor yang
harus diperhatikan, yaitu :
1. sifat
atau inti dari delik percobaan, dan
2. sifat
atau inti dari delik pada umumnya.
Ø Mengingat kedua faktor tersebut,
maka perbuatan pelaksanaan harus
memenuhi 3 syarat, yaitu :
1. secara
obyektif, bahwa apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada
delik /kejahatan yang dituju ; atau dengan kata lain, harus mengandung potensi
untuk mewujudkan delik tersebut ;
2. secara
subektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang
telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan
yang tertentu tadi ;
3. bahwa
apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat
melawan hukum.
Ø Dengan demikian, dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila seseorang
telah melakukan perbuatan :
1. yang
secara obyektif mendekatkan pada suatu kejahatan tertentu ;
2. yang
secara subyektif tidak ada keragu-raguan lagi delik/kejahatan mana yang diniatkan
atau dituju ; dan
3. perbuatan
itu sendiri bersifat melawan hukum.
Ø Untuk menentukan apakah
perbuatannya itu bersifat melawan hukum, maka segi subyektif dan segi obyektif
bersama-sama mempunyai pengaruh timbal balik menurut keadaan tiap-tiap perkara.
Adakalanya perbuatan lahir yang sepintas lalu merupakan perbuatan pelaksanaan
dari suatu kejahatan, tetapi karena jelas tak adanya niat untuk melakukan
kejahatan itu, harus tidak dikualifisir sebagai demikian (maksudnya, tidak
dikualifisir sebagai perbuatan yang melawan hukum).
Misal : Orang yang mengangkut sepeda terkunci orang lain dari tempat
penyimpanan sepeda, tidak melakukan percobaan untuk mencuri, kalau ternyata
bahwa maksudnya mengangkat sepeda itu adalah supaya memberi ruang untuk menarik
sepedanya sendiri.
Sebaliknya, adakalanya juga
bahwa perbuatan lahir yang tampaknya tidak jahat sama sekali, tetapi kaena
jelas didorong oleh niat untuk melakukan kejahatan maka harus ditentukan
sebagai demikian (yaitu melawan hukum).
Misal : Orang yng diwaktu malam mematikan lampu yang masih menyala dimuka
toko, sepints lalu perbuatan ini tidak merupakan perbuatan jahat, tetapi kalau
kemudian ternyata bahwa setelah digeledah dia membawa kikir, alat pemotong kaca
dan lain-lain alat, sedangkan diketahui pula bahwa dia sudah menjadi langganan
hotel prodeo, maka pemadaman lampu tadi merupakan percobaan yang khusus, karena
dengan perbuatan itu ia telah mulai melaksanakan maksudnya untuk masuk kedalam
toko dengan cara merusak.
v R. Soesilo ; Pokok-pokok Hukum Pidana
Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.69-70.
Ø Bahwa letak batas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan dari peristiwa
pidana itu susah untuk dikatakan dengan begitu saja. Pada umumnya dapat
dikatakan, bahwa perbuatan itu sudah boleh dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan, apabila orang
telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana, jika
orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka
perbuatannya itu masih harus dipandang sebagai perbuatan persiapan.
Ø Suatu anasir dari delik
pencurian ialah “mengambil”, jika pencuri sudah mengacungkan tangannya kepada
barang yang akan diambil, itu berarti bahwa ia telah mulai melakukan anasir
“mengambil” tersebut. Dalam hal pencurian dengan pemberatan (pasal 363),
misalnya dengan membongkar, memecah, memanjat, dsb-nya, maka jika orang telah
mulai dengan mengerjakan pembongkaran, pemecahan, pemanjatan, dan sebagainya
itu, perbuatannya sudah boleh dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan, meskipun
ia belum mulai mengacungkan tangannya pada barang yang hendak diambil. Bagi
tiap-tiap peristiwa dan tiap-tiap macam kejahatan harus ditinjau sendiri.
Inilah kewajiban Hakim.
Ø Ambil contoh saja misalnya
kejahatan pembunuhan dengan memakai pisau belati. Dimanakah letak btas
persiapan atau pelaksanaannya ? Jika orang telah berniat akan membunuh, ia
telah mengambil pisau belati dari rumahnya dan dengan pisau itu berjalan menuju
rumah orang yng akan dibunuh, sampai dimuka rumah ketahuan dan ditangkap
polisi. Sudahkah ia mulai melakukan perbuatan pelaksanaan pada pembunuhan ?
Belum, itu persiapan saja. Ia baru dapat dikatakan telah memulai dengan
perbuatan pelaksanaan, bila ia telah menyerang dengan belati itu pada orang
yang akan dibunuhnya.
Ø Dalam hal pembunuhan yang
dilakukan dengan minum racun misalnya, penjahat yang untuk itu membeli
racunnya, mencampur racun itu dengan kopi yang akan disajikan pada orang yang
akan dibunuhnya itu semuanya masih merupakan persiapan-persiapan saja, belum mulai
dengan pelaksanaannya. Akan tetapi jika cangkir yang berisi kopi beracun itu
telah disajikan ditempat dimana calon korban itu biasanya minum kopi, maka
perbuatan itu telah boleh dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan pembunuhan.
v HR 19 Maret 1934, sebagaimana dikutip oleh R.
Soesilo (dalam bukunya : Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan
Delik-delik Khusus, Politea Bogor, 1984, hal.70).
Ø Seorang akan membakar rumah. Ia
telah membuat rumah itu siap untuk dibakar dengan jalan memasang uceng-uceng dalam
rumah itu yang disambung dengan sebuah pistol gas dan kepada penarik pistol ini
diikatkan sebuag tali., sehingga dari luar rumah itu ia tinggal menarik tali
tersebut dan rumah akan terbakar. Dalam keadaan demikian rumah itu ia
tinggalkan untuk menunggu saat, akan tetapi sementara itu perbuatannya tersebut
ketahuan dan ia ditangkap serta dituntut
melakukan percobaan membakar rumah, akan tetapi oleh Pengadilan tidak dihukum,
karena segala perbuatannya itu dipandang masih merupakan persiapan saja, belum
mulai dengan pelaksanaan.
v HR 29 Mei 1951, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi
Yurisprudensi Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta,
Oktober 2004, hal.48).
Ø Tersangka telah berniat untuk
membuat seorang pingsan dan kemudian membunuhnya dengan peraunan gas. Sudah ada
permulaan pelaksanaan melakukan kejahatan pembunuhan ketika ia memasuki rumah
dan kamar tidur orang lain itu, dan kemudian memukulnya dengan sebuah martil yang
dibawanya. Pembunuhan yang direncanakan terdiri dari dua tahap, melakukan
permulaan dari tahap pertama merupakan permulaan pelaksanaan niatnya.
v HR 13 Juli 1928, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi
Yurisprudensi Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta,
Oktober 2004, hal.48).
Ø Suatu perbuatan persiapan yang tidak dapat dihukum dilakukan oleh mereka
yang dengan maksud untuk melaksanakan suatu pencurian menuju kesebuah rumah dan
tidur dalam kamar tidur itu.
v HR 28 April 1890, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi
Yurisprudensi Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta,
Oktober 2004, hal.48).
Ø Suatu perbuatan persiapan yang tidak dapat dihukum dilakukan oleh mereka
yang dengan maksud untuk melakukan penggelapan, berunding mengenai penjualan
barang itu dan menerimanya untuk dijual.
v HR 12 Juli 1950, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi
Yurisprudensi Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta,
Oktober 2004, hal.48).
Ø Suatu perbuatan persiapan yang tidak dapat dihukum dilakukan oleh mereka
yang dengan pelaksanaan suatu pembunuhan yang diniatkan hanya sampai pada
persiapan karena si korban tidak ada di rumah.
v HR 19 November 1917, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi
Yurisprudensi Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta,
Oktober 2004, hal.49).
Ø Termasuk pelaksanaan perbuatan yang dapat dihukum adalah mengikat seekor
sapi pada sebuah pohon dekat tapal batas.
v HR 26 Maret 1917, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi
Yurisprudensi Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta,
Oktober 2004, hal.49).
Ø Termasuk pelaksanaan perbuatan yang dapat dihukum adalah bergerak ke tapal
batas bersama dengan barang-barang yang dilarang untuk dibawa ke luar.
v HR 14 Maret 1921, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi
Yurisprudensi Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta,
Oktober 2004, hal.49).
Ø Termasuk pelaksanaan perbuatan yang dapat dihukum adalah melepaskan baju
seorang gadis dan meraba-raba kegadisannya dengan maksud hendak memperkosanya.
v HR 27 Maret 1939, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta, Oktober 2004,
hal.49).
Ø Termasuk pelaksanaan perbuatan yang dapat dihukum adalah memberikan
keterangan yang berada dalam hubungan yang sedemikian langsungnya dengan maksud
penipuan, sehingga keterangan-keterangan itu membantu pelaksanaannya.
v HR 17 Juni 1889, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi
Yurisprudensi Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta,
Oktober 2004, hal.49).
Ø Tidak terjadi suatu percobaan
sumpah palsu, apabila saksi menrik kembali kesaksiannya secara sukarela,
sebelum pemeriksaan selesai meskipun ia berbuat demikian karena ia dituntut
memberi sumpah palsu.
v HR 12 Januari 1891, sebagaimana dikutip oleh R.
Soenarto Soerodibroto, SH (dalam bukunya : KUHP dan KUHAP dilengkapi
Yurisprudensi Mahkamah Ahung dan Hoge Raad, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta,
Oktober 2004, hal.49).
Ø Perbuatanperbuatan kekerasan
yang perlu dan langsung berhubungan dengan pelaksanaan suatu kejahatan dan
hanya dengan tujuan itu dilakukan, merupakan permulaan pelaksanaan kejahatan.
Penggedoran dan pengrusakan, atau membuka kunci palsu dan naik keatas,
merupakan permulaan pencurian yang dikualifisir.
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |